Hudan Nur *
SAYA percaya dengan Iyut Fitra bahwa semakin banyak menulis puisi maka akan terasa semakin sulit. Timbul ketakutan terjadinya pengulangan-pengulangan, entah itu diksi, gaya dan tema. Sehingga semakin tinggi usia penyair maka puisinya akan semakin sedikit, tidak sebanyak di awal-awal kepenyairan yang masih cair dan mencari. Akibatnya produktifitas menjadi terhambat. Karenanya, boleh jadi Iberamsyah Barbary (IB) yang sebelumnya membukukan sajak-sajak situasinya yang privat ke dalam Serumpun Ayat-Ayat Tuhan juga mengalami keterbatasan produksi, di samping kesempatan untuk memuja kata-kata yang minus.
Dalam Asmaul Husna, buku sajak kedua IB ini ada semacam perayaan batiniah yang sepi, menyibak ke jurang kontemplasi diri. Sehingga ada jarak yang mengurai antara Manusia dan Tuhannya. IB berusaha untuk menggapai lebih dalam jurang yang selama ini ia temukan untuk menggali dan terus menggali kejauhan pemaknaan akan dirinya dan Tuhannya lewat sifat yang ternyata sama-sama seimbang.
IB relatif berhasil menguak makna nama-nama Tuhan dalam agamanya, yakni Islam menjadi pembuktian atas keseimbangan yang tak hanya ada di alam semesta dan pelakunya tetapi persamaan secara balance dengan penciptanya. Ada warning dalam sajaknya antara lain; ketika Tuhan Maha Merendahkan (Al Khafid) tetapi pembaca diingatkan bahwa Ia juga Maha Meninggikan (Ar Rafi’), kadang Tuhan bisa Memuliakan (Al Muiz) tetapi jangan lupa Ia juga bisa Menghinakan (Al Mudzill). Yang lebih mengerikan adalah bahwa Tuhan itu Maha Penghukum (Al Muntaqim) tetapi Ia juga Maha Pengampun (Al ‘Afuw).
Bisa dilihat dalam penggalan sajaknya, Asmaul Husna halaman 22:
…
…
Terpuruklah dalam, kehinaan membelam
Jiwa sesak menyimpan malu
Cermin pecah terserak tajam, menusuk dalam
Martabat, runtuh silsilah yang dibanggakan selalu
Hilanglah mahkota di tangan yang tergenggam
…
Kalau sudah terpuruk jiwa memudar
Panjatlah tiang, iman yang telah ditancapkan didataran tinggi
Teriak keras-keras, didengar orang sekitar
Sampai hina melebur, menyentuh kaki
Yakinlah akan keberadaan Kasih Sayang-Nya
Mengangkat tinggi teriak yang sumbang
Ketengah pertarungan kembali
Jelas sekali dalam sajak Yang Merendahkan ini IB menyampaikan gugu dan duka sungkawa bagi manusia yang hina akan dihinakan, sehina-hinanya tak hanya oleh alam tapi juga Tuhannya. Akan tetapi di epilog sajaknya IB juga menyatakan kalau Tuhan juga akan meninggikannya. Seakan dalam sajak-sajaknya ini IB mengajak kita untuk sama-sama masuk ke jurang kontemplasi yang ia jalani, setidaknya memberitahu kepada pembaca bahwa ketika ada malam ada siang, sisi baik dan buruk, bagian kiri dan kanan, atas dan bawah begitu juga Tuhan dengan nama-namaNya. Begitu juga dengan sajaknya Yang Maha Menghukum halaman 81:
…
…
…
Jangan sampai kita terhukum
Ditinggalkan cinta yang bertabura rindu dendam
Jaga rumah dengan hamparan permadani hijau yang ranum
Terangi lorong-lorong, kalbu selalu benderang dengan nyala
Nyanyikan dengan suasana, dengan lagu-lagu rindu yang memelas
Nyala hukum-Nya sangat tegas
Gelora cinta-Nya sangat luas
Pengampunan tidak mengenal batas
Karena Dia Maha Pengampun
Di setiap ending sajaknya sebagian besar yang berpasangan secara sifat keseimbangan IB menjelaskan makna nama Tuhan selanjutnya. Maka antar satu sajak dengan yang lainnya kalau dipadukan akan menyatu menjadi irama lalu berubah lagu, seperti kesatuan tubuh yang utuh. Dan benar saja, bila analogi Asmaul Husna adalah manusia maka mesti ada tangan kanan dan tangan kiri, sepasang mata, setangkup bibir, dan seluruhnya adalah pasangan untuk menyeimbangkan begitu pula dengan kumpulan sajak IB ini.
Hanya saja belum ditemukan perbedaan sajak-sajak IB secara substansi dari kurun waktu puluhan tahun silam baik di kumpulan sajak Serumpun Ayat-Ayat Tuhan dan Asmaul Husna. Ketika sajak menjadi penanda dan pemisah sejarah maka genre menjadi tempat sensibilitas yang murni, dalam artian tidak terpengaruh secara sosial. Sensibilitas ini bisa berubah menjadi transedental sesuatu triwikrama. Ada tiga triwikrama kategori sajak di dunia ini dalam garisan besar yakni; sajak kritik yang memaki-maki, sajak cinta (universal) yang terelukan dan sajak religi yang mendayu-dayu.
Sangat disayangkan secara ambivalensi simbolik Kumpulan Sajak Asmaul Husna ini belum ketat menyuguhkan struktur organisasi sajak yang kuat. Bahkan ketika prolog sajaknya di putar ke tengah, atau epilognya di bawa ke tengah paragrap, atau menggabungkan epilog dan prolog di penghujung sajak, niscaya sekali bisa dilakukan. Dan nampaknya tidak merubah pemaknaan sama sekali.
Barangkali sajak-sajak IB tersebut adalah hasil pengaruh historis dari epigon penyairnya pada era tahun 70-an. Maka ini akan sah-sah saja. Saya jadi ingat puisi-puisi cinta Pablo Neruda yang katanya “Kita mesti saling cinta ketika yang lain hancur, berantakan semua.” Nerudalah si penyair subur yang merambah aneka bentuk dan tema. Ia menerima Hadiah Nobel untuk puisi dan hadiah perdamaian Stalin. Ia komunis yang istiqomah dan romantis. Suatu hari, Junta militer Chili, Jendral Pinochet, menjarah rumahnya. “carilah – hanya ada satu benda berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Dan kelak seperti Neruda, IB juga wariskan petitihnya lewat sajak-sajak bertriwikrama Tuhannya, yang tentu saja bertendensi warning!
Sekali lagi saya juga percaya dengan Binhad Nurrohmat dan Adin bahwa perpuisian di Indonesia hari ini makin dilegitimasi oleh sesama Penyair melalui antologi, festival, maupun forum. Sehingga kritikus dan pembaca tak lagi ambil bagian. Realitas ini membuat perkoncoan antar penyair menjadi “seni” tersendiri di luar lisensia puitika. Banyak sekali perayaan di era ini, selebrasi sastra dari tahun ke tahun terakhir semakin menjamur. Sesungguhnya selebrasi tanpa tindak lanjut akan menjadi hal yang hambar, karena dunia sastra tidaklah sesederhana karya dimuat atau tidak dimuat, dianggap penyair atau tidak, dianggap sastrawan atau bukan.
Sastra Indonesia hari ini mempunyai problematika yang rumit, gawat, dan memprihatinkan. Celakanya tidak semua orang tahu dan ingin tahu. Sangat dinantikan kehadiran penyair-penyair yang tidak hanya memikirkan dirinya sebagai penyair, namun juga mampu membuka mata dan bersikap terhadap persoalan dunia kesusastraan di Indonesia. Mudah-mudahan dengan kehadiran buku Asmaul Husna, yang bermandikan peringatan-peringatan religi ini dapat berarti untuk resepsi masyarakat, tidak hanya masyarakat sastra. []
*) Pustakawan Rumah Buku Zeusagi.