Cikal Bakal #1

Muhammad Yasir

Di bantaran Sungai Kapuas, perahu menderit-derit kesakitan dan terus beradu memecah keheningan pagi di kanal Proyek Lahan Gambut milik diktator Soeharto. Tidak ada petugas pos atau jurnalis yang memiliki keberanian untuk mengabarkan atau menulis berita tentang bagaimana orang-orang dalam perahu itu menangis, karena ditindas hingga ke sum-sum tulang mereka. Dan, di antara mereka Talekung Punei adalah seorang tua yang mau-tidak-mau menjadi nelayan.

Dia adalah bagian dari Suku Dayak Ngaju yang tidak berdaya ketika Tuan Gubernur membuka pintu selebar-lebarnya untuk proyek pangan di masa mengerikan seperti sekarang ini. Tahun lalu, setidaknya, puluhan ribu lahan dibuka, ladang-ladang dialihfungsikan, dan Talekung mengubah identitas dirinya menjadi petani Jawa atau belajar dengan para transmigran yang menyedihkan bagaimana membuat irigasi.

Sebagai Katolik yang tidak taat, Talekung tidak mempercayai bahwa persoalan yang terjadi adalah kuasa Tuhan. Tidak. Sama sekali tidak. Talekung Punei tidak memiliki waktu untuk mengisahkan pesakitannya kepada Bapak. Baginya, persoalan ini adalah persoalan yang kompleks dimana hukum, undang-undang, dan kekuasaan bersekongkol untuk membuat dia habis.

Di Balai Pelatihan Pertanian, pada suatu hari. Talekung menghadiri acara bantuan sosial yang dilakukan Dinas Pertanian di tempat itu. Kepala Dinas melalui stafnya menyebut daftar nama para peladang yang berhak mendapat bantuan bibit dari pemerintah. Giliran nama Talekung yang dipanggil, dia tak menggubris.

Pada panggilan ketiga, si staf menghampiri Talekung setelah para peladang lain memberitahu bahwa di sanalah Talekung duduk. Tidak ada perdebatan. Si staf mengambil kartu tanda penerima bantuan itu dari tangan Talekung. Tidak ada perlawanan. Di akhir acara, si staf menyuruh para peladang menyetorkan uang lima puluh ribu rupiah sebagai jaminan.

Para peladang menolak. Mereka menghampiri si staf dan melemparkan kartu tanda penerima bantuan itu ke wajahnya. Sontak, anjing-anjing yang menjaga ketertiban menggonggongi para peladang. Para peladang hambur kakar, lari tunggang-langgang. Talekung Punei dan para peladang, sesungguhnya masuk dalam teror krisis pangan pemerintah.

Mereka melawan, tetapi kalah. Dan, orang-orang diam dan menganggap ini proyek pangan ini bukan sebagai masalah. Demikianlah.

Surabaya, 2021

One Reply to “Cikal Bakal #1”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *