PENOLAKAN SAUT SITUMORANG ATAS KHATULISTIWA LITERARY AWARD

During times of universal deceit,
telling the truth becomes a revolutionary act

-George Orwell

Menanggapi beredarnya Long-list Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2008 yang memasukkan buku saya “otobiografi” ([sic] Yogyakarta, November 2007) sebagai salah satu 10 besar kategori Puisi, dengan ini saya nyatakan menolak pengikutsertaan buku saya tersebut. Adapun alasan saya adalah sebagai berikut :

Sejak awal saya menganggap keberadaan KLA tidak layak dan tidak representatif bagi kesusasteraan Indonesia karena dasar dan sistem penilaian karya tidak pernah jelas, inkonsisten, improvisasi, dan tidak profesional.

Beberapa cacat fatal dapat disebutkan:

a. Panitia maupun juri melanggar aturan yang mereka buat sendiri. Contoh: Menangnya buku puisi Goenawan Mohamad, “Sajak-sajak Lengkap”, pada KLA perdana, merupakan pelanggaran terang-terangan atas aturan yang sudah diumumkan panitia sebelumnya bahwa karya kompilasi (yang sudah pernah diterbitkan terdahulu) tidak bisa diikutkan dalam penilaian, dan buku yang diterbitkan oleh Metafor Publishing (milik bos KLA, Richard Oh) juga tidak akan diikutkan dalam penilaian. Kenyataannya, “Sajak-sajak Lengkap” Goenawan Mohamad yang merupakan gabungan puisi lama dan baru dan diterbitkan Metafor Publishing pula, terpilih sebagai pemenang!

Hal ini terulang pada KLA 2005 dimana buku puisi Iman Budhi Santoso, “Matahari-matahari Kecil”, yang berisi 100 puisi pilihan yang merupakan “trademark” karya kompilasi penerbit Grasindo, masuk dalam 5 besar penilaian!

Dan hal ini terjadi lagi pada buku puisi saya, “otobiografi” ([sic] Yogyakarta, November 2007). Buku ini jelas-jelas berisi puisi lengkap saya yang sebagian pernah terbit dalam “saut kecil bicara dengan tuhan” (Bentang Budaya, 2003) dan “catatan subversif” (BukuBaik, 2004)!

b. Panitia dan juri tidak profesional, bekerja asal-asalan dan ngawur. Contoh: Dalam KLA 2005, buku puisi penyair cilik, Abdurahman Faiz (saya lupa judulnya) semula muncul dalam daftar 10 besar, tapi setelah adanya sejumlah protes dan kritik, tiba-tiba nama Abdurahman Faiz dihapus begitu saja, dan segera diganti nama dan buku lain. Terlepas dari protes atau kritik yang ada, layakkah sebuah karya yang sudah dinilai juri kemudian diumumkan kepada publik, lantas ditarik begitu saja tanpa pertanggungjawaban juri dan penjelasan panitia secara publik?!

c. Kriteria buku yang dinilai tidak jelas: apakah buku yang ditulis secara perorangan atau antologi-bersama? KLA 2008 ini, misalnya, memasukkan sebuah antologi-puisi-bersama di posisi 10 besar!

d. Konsep KLA rancu dan amburadul: apakah berupa anugrah (award) atau lomba? Jika penghargaan, mengapa panitia dan juri tidak proaktif mencari buku untuk dinilai, tapi malah secara pasif menunggu penerbit/penulis mengirimkan bukunya kepada panitia, lengkap dengan batas waktu sebagaimana lazimnya syarat sebuah lomba? Padahal, sejauhmana pengumuman KLA dapat diakses para penulis/penerbit yang bertebaran di seluruh Indonesia? Alhasil, hanya mereka yang mengirim yang akan dinilai, yang tidak mengirim akan luput.

Nah, anehnya, buku “otobiografi” TIDAK pernah dikirimkan oleh Penerbit maupun oleh saya sebagai penulisnya kepada Panitia KLA (sebagaimana yang mereka syaratkan) tapi kok bisa muncul di 10 besar?!

e. Kerja penjurian hanyalah upaya untuk membuat legitimasi bahwa Panitia KLA sudah melakukan mekanisme penilaian yang benar, padahal dasar penilaian dan proses penjurian lebih tepat disebut sebagai sebuah skandal! Contoh: Tidak ada pertemuan antar-juri, bahkan di antara mereka tidak saling tahu, serta tidak ada pertanggungjawaban apapun dari juri bagi karya yang terpilih/pemenang!

Contoh lain, seorang calon juri di Yogyakarta mengundurkan diri karena sistem penilaian yang diterapkan Panitia KLA sangat tidak masuk akal. Ia dihubungi sekitar tanggal 25 Agustus 2008 oleh Panitia KLA di Jakarta, yang memintanya menjadi Juri Tahap I dengan honorarium 1 juta rupiah. Anehnya, daftar buku yang akan dinilai sudah ditentukan oleh panitia (mungkin berdasarkan buku yang dikirim penulis/penerbit?), padahal posisi yang ditawarkan adalah Juri Tahap I yang dalam konteks penilaian lebih tinggi posisinya ketimbang panitia. Lha, kok panitia yang menentukan lebih dulu? Gawatnya, hasil penilaian harus sudah sampai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Logikanya, seorang juri tentu mesti baca buku yang dinilainya. Namun dengan waktu yang mepet dan honor 1 juta rupiah, mungkinkah seorang juri dapat membaca atau membeli buku-buku yang hendak dinilainya? Jikapun diasumsikan ada juri yang menyempal, misal mengusulkan buku yang tidak ada dalam daftar,
bukankah suara usulannya itu akan bersifat ”minoritas” belaka, sebab juri lain bisa saja tak mengetahui buku tersebut? Apalagi penilaian berupa tabulasi, penjumlahan angka dari dewan juri, sebagaimana sistem ”Idol” di televisi. Pada akhirnya, itu semua hanyalah semacam fait accompli sebab skenario sebenarnya sudah disiapkan dan juri hanyalah alat legitimasi!

Tak sampai sebulan sejak tanggal 25 Agustus 2008 kita semua tahu Long-list KLA 2008 dikeluarkan, berarti para juri telah sanggup merampungkan tugas membaca dan menilai buku-buku sastra di Indonesia yang terbit kurun waktu satu tahun! Hebat!

Di tengah dekadensi kondisi Sastra Kontemporer Indonesia lantaran merajalelanya para petualang/dilettante sastra dengan politik uangnya, perkoncoan, manipulasi isu-isu kesusasteraan Indonesia atau isu bangsa secara umum di luar negeri atau kepada sponsor baik asing maupun domestik, yang kemudian dilegitimasi dengan ”niat suci demi Sastra” padahal tidak sama sekali –– sebagaimana dengan jelas diperlihatkan pada cara kerja Panitia KLA seperti yang saya elaborasikan di atas, atas bobroknya sistem, moral dan pertanggungjawaban Panitia KLA, sponsor dan juri-jurinya itu, maka dengan ini saya MELARANG KERAS KARYA SAYA “otobiografi” ([sic] Yogyakarta, November 2007) DIIKUTSERTAKAN DALAM KHATULISTIWA LITERARY AWARD!

Kepada kawan-kawan sastrawan Indonesia, marilah kita pikirkan bersama kondisi Sastra kita yang sudah rusak oleh hadiah-hadiah sastra yang tidak jelas maksud-tujuannya seperti KLA dan oleh peristiwa-peristiwa sastra semacam Teater Utan Kayu International Literary Biennale dan Ubud Writers and Readers Festival. Apakah absennya sebuah tradisi Kritik Sastra yang baik dan benar lantas harus membuat Sastrawan Indonesia menjadi tidak kritis! Jangan cuma karena uang dan ambisi untuk ”go international” kita jadi lupa daratan!

Yogyakarta, 20 September 2008

Tertanda,
SAUT SITUMORANG

Ikut mendukung:
Penerbit [sic] Yogyakarta

dari email PUstaka puJAngga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *