SENANDUNG BUKIT PUALAM

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Sedemikian besarnya dan tulusnya kekuatan yang tersimpan pada rambatan yang baik – sedemikian besar dan kokohnya kemapanan yang tampil itu, sehingga daya-rebut dan daya-senggut yang tiba sebagai kepemilikan pribadi. Jikalau manusia menjadi sebagian dari kerahasiaan sendiri, selanjutnya meruntuhkan nafsu-nafsu sebagai ‘kuakan fitri’-nya, maka selanjutnya tiada lagi dapat dibongkotkan, bila kita menjadi sergapan yang benar, kapankah lagi dapat ditukik dan ditohok dari sumbernilai!

Idawati yang setia.
Barangkali, terdapat tolak-tarik yang lebih kencang, tapi pun lebih longgar – manakala kita mau mencoba merabahi kesunyataan ini. Barangkali, terdapat kemungkinan yang lebih dari separuh, yang memberikan satu citra cemerlang. Barangkali pula, terdapat gumam-gumam lebih lebar, sehingga dengan denyutan yang tersamar, sarana penghidupan beranjak tinggi. Kiranya lebih beralasan, jika masyarakat memilih landasan tergampang, sebelum Bandar yang kita pilih itu sudah lebih dulu canggih.

Sekiranya terkembang bendera-bendera lebih gumilar, adakah yang bisa dijadikan sebagai ‘tirta langit’? Alangkah gembira jika segalanya mampu disergap dengan kata bergelimangan? Punahnya renggang-wicara, sirnanya benih-rantunan dan leburnya kefasihan, justru lantaran manusia belum sanggup merembug dirinya.

Idawati yang tabah.
Apa harus kubilang sebagai pelipur terhadap dukamu hari-hari kemarin? Apa harus kukatakan sebagai bandingan terhadap ungkap-nestapa yang membanjir dan pagutan sela-selanya adalah renyainya jantung ini? Tiada cukup belasungkawa buat mematahkan belenggu zaman, sedangkan getaran paling liat, sudah sejak mulakala menjadi rerasan masyarakat alit. Tatkala mau teramat merasa kehilangan, dan membiarkan dirimu dihumbalangkan garis penderitaan yang menyiksa, serta menebarkan kerinyut pada dahi dan parasmu, haruskah ini disangkal?

Tatkala kita mencoba mengatasi penghalang yang terbit pada gapura-gapura serta regol-regol yang menghadang ayunan kakimu, dirimu teragak untuk jumeneng dalam kesenduan, kupikir saatnya telah berakhir. Kehidupan menjadi cumplik lindur tidurmu, seperti itu pulalah aku musti menembangkannya. Gaduhkan rindu, gaduhkan sesuatu yang serasa menyekat rongga-hati, maka dikau bakal menadahinya…!

Idawati yang teguh.
Mungkin masih ada yang belum terbisikkan pada saat kita merengut, berkabut mendung, bahkan juga diancam kediam-dirian selama ini. Perlukah semua itu dilongkangkan? Perlukah semua itu ditelonjongkan, hingga tiada sempat diri kita menjemput serapah? Karena makin luasnya belantara, sebegitu pulalah tambah lebarnya kawasan gemunung yang mengandung penanggungan batin, andaikata dirimu sudah mengucapkan tabah sebagai satu janji, kemudian mencoba pula mengoyak-koyakkan rasa pedih, dapatlah diraih lila-legawa sejati. Maka, seraya memikirkan kembali lompatan ke depan yang bisa sejenak menggugah kreasi, marilah kita bertegak kepala. Dan setara dengan kemampuan untuk menyerap, kita gali gundukan kuna…

“Benar, jika yang kauharapkan tadi sampai,” catatan wicaramu, ketika saran tadi kuajukan. “Benar, jika aku sanggup menguraikan tirai penghalang, untuk menyaksikan fajar lebih berbinar.” Maka aku menjadi terdiam, karena kau benar-benar berusaha tegak. Ida, Ida. Dapatkah kiranya kau mulai kembali ikhwal alhayat yang memedihkan itu dengan satu tarikan lebih lembut, dan bukan sebagai dobrakan semata?” Kau tersenyum, pipimu memerah sehat. “Aku bakal mencoba dengan sekuat-tekad, Syahrul. Ini prasetya kujadikan pegangan hingga ujung perju angan!” Ya, Ida. Aku mengangguk lega. Kukira tiada sambutan lebih berharga daripada keluguan semata.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Leave a Reply

Bahasa »