Foto Ibu

Ratih Kumala
cetak.kompas.com

Sudah kupikir masak-masak; jika aku kelak membuat tato, maka tato itu adalah wajah ibuku. Akan kuukir di kulit punggungku, lebih tepatnya lagi di bagian tengah punggung agar tak kelihatan jika aku memakai baju berpunggung agak rendah, atau kaos yang terlalu tinggi potongan pinggangnya, atau baju renang. Aku tak ingin ibuku melihatnya. Tentu ia akan mengamuk jika tahu aku membuat tato, meskipun itu tato wajahnya. Aku bisa membayangkan ibuku akan berkhotbah; orang yang ada gambar di kulit, shalatnya tidak akan diterima, lalu akan masuk neraka. Sayangnya aku tak percaya neraka itu ada, seperti pesimisnya aku akan keberadaan surga. Yang aku percaya adalah reinkarnasi. Tapi ibuku percaya, dan aku tak mau mengecewakannya. Cita-cita ibuku adalah: kami sekeluarga—Ibu, aku, kedua adikku, dan bapakku— masuk surga bersama-sama. Sedang cita-citaku adalah: di kehidupan yang akan datang, aku ingin dilahirkan sebagai ibu dari ibuku agar aku bisa membalas kasih sayangnya di kehidupan yang sekarang.

Ibu pernah muda. Itulah kesimpulan yang kutarik ketika kami membuka-buka kembali album foto lama keluarga. Ia pernah menjadi gadis yang baru berkembang. Meski sekarang Ibu melarangku memakai celana pendek (terutama jika bepergian), toh kutemukan selembar foto Ibu sedang bergaya mengenakan celana pendek yang sekarang populer dengan sebuatan ”hot pants”. Ketika itu, usianya sekitar 13 tahun. Tipikal foto zaman itu, bagian tepinya dipotong dengan cara yang khas, seperti diukir. Kenapa foto-foto sekarang tidak dipotong demikian, ya? Aku tak pernah mendengar cerita Ibu punya pacar ketika berusia ABG (anak baru gede). Aku ingat ketika duduk di bangku SMP, Ibu marah-marah padaku saat seorang teman laki-lakiku mulai rutin menelepon ke rumah. Tentu saja, temanku itu naksir aku. Meski tidak naksir dia, aku tetap menerima teleponnya baik-baik. Ibu mulai rajin angkat telepon. Jika itu ditujukan untukku, Ibu kerap berkata bahwa aku sedang tidur atau sedang belajar. Jika pun disampaikan padaku, Ibu akan menginterogasinya terlebih dahulu. Ibu mulai menghapal suara teman-temanku.

”Ini foto waktu aku sudah lulus kuliah dan mau cari kerja,” komentar Ibu pada selembar foto hitam putih. Di foto itu, rambut Ibu kelihatan tinggi oleh sebab mengenakan wig. Menurut Ibu, pas foto zaman sekarang terlalu kaku. Semua melihat ke arah kamera. Jika kau terlalu menunduk, jidatmu yang lebar akan terlihat semakin jembar. Sedang jika terlalu mendongak, maka bibirmu kelihatan tambah maju. Belum lagi baju yang harus berkerah, semakin menambah kesan kaku. Ibu berfoto demikian baru ketika akan menikah. KUA mengharuskan foto model kaku begitu. Lalu setelah menikah, disusul pas foto kaku lainnya yang sengaja diambil secara massal berbarengan dengan ibu-ibu Dharma Wanita kelompoknya. Tentu saja latar yang dipergunakan berwarna merah, dengan seragam Dharma Wanita berkelir pink keungu-unguan.

”Zaman dulu, semua pas foto lamaran kerja berupa ’profil’ yang kupingnya harus kelihatan dan difoto menyamping,” jelas Ibu. Memang kelihatan lebih anggun.

”Zaman sekarang, kalau aku melamar kerja dengan foto model begitu, pasti tidak diterima. Bisa-bisa disangka genit pula kirim foto model gitu,” ujarku.

Ibu ingin aku menjadi pegawai negeri, ”Lebih bagus lagi kalau bisa kerja di bank!” ujar Ibu ketika aku baru lulus kuliah. Sejujurnya, aku tak tertarik bekerja di bank meski ada uang pensiun. Bapakku bekerja di bank. Dulu, ibuku sering bilang, ”Siapa tahu nanti bapakmu bisa memasukkanmu ke bank ini atau ke bank itu.”

Suatu hari aku mengantarkan Ibu pergi ke bank untuk mengambil uang (ketika itu ATM belum trend), teller-nya cantik-cantik dengan make-up tebal, seragam necis, ruang kerja ber-AC. Nasabah bergantian dilayani. Tiba-tiba aku melihat mereka mirip robot yang sudah diprogram; caranya memberi salam, melayani, tersenyum, sampai mengucapkan terima kasih. Aku keluar bank dan mendapati diriku muntah-muntah demi melihat itu semua. Sejak itulah aku bersumpah tak mau kerja di bank. Tapi Ibu punya cerita lain lagi soal bank:

”Waktu aku kecil,” Ibu memulai ceritanya, ”Kakekmu itu kerjanya pedagang. Kalau lagi ramai, kami sekeluarga jadi kaya. Tapi kalau lagi sepi, kami bisa kelaparan. Suatu hari, ketika kami sedang kelaparan, aku melihat ada pegawai bank yang makan bakso yang mangkal di depan kantornya. Mereka bisa mengambil sendiri bakso yang mau dibeli. Sejak itu, cita-citaku ingin kerja di bank atau punya suami pegawai bank.” Dan, ternyata Tuhan mengabulkan doa-doa ibuku (ngomong-ngomong cerita ini kerap diulang-ulang dituturkan padaku).

Kami membuka-buka kembali album foto yang berserakan. Aneh, begitu banyak gambar Ibu, tetapi kesemua seolah hanya bercerita tentang satu cerita. Jika dipikir-pikir, ibuku itu sebetulnya hobi difoto. Ada banyak gambar dengan kostum yang berbeda-beda. Entah itu sedang duduk di depan kaca, sambil memegang bunga, mengenakan pashmina, duduk di bangku taman, berdiri di dekat sebuah mobil (yang zaman itu) mewah, dan lain-lain. Aku jadi geli sendiri. Bahkan aku pun tidak se-banci-kamera itu. Terakhir aku niat difoto dengan mimik cantik dan pakaian anggun adalah setelah Ibu berhasil memasukkanku untuk kursus pengembangan kepribadian. Menurut Ibu, anak gadis satu-satunya ini terlalu tomboy, kursus itu dianggapnya mampu menyelamatkan masa depanku.

Foto pernikahan Ibu yang dicetak besar hanya ada satu, yaitu ketika difoto bersama orangtua dan mertuanya (kakek dan nenekku). Ibu dan bapakku berpakaian adat Jawa, lengkap dengan paes dan blangkonnya. Mereka menikah dengan pakaian adat Yogyakarta. Konde Ibu kempis. Mungkin zaman itu belum musim pengantin dihairspray. Di foto ini, Ibu dan bapakku kelihatan serius dan agak tegang.

”Dulu sebelum bapakmu, pacar Ibu pilot.” Kuingat Ibu pernah bercerita demikian. Dulu…, dulu sekali, waktu aku masih SD. Lalu aku membayangkan punya bapak yang bisa menerbangkan pesawat. Pasti keren.

”Kok tidak menikah sama yang itu saja, Bu?” tanyaku waktu itu.

”Dia meninggal, pesawatnya kecelakaan,” ujar Ibu. Seraya gambar pesawat di kepalaku terlihat njebluk ke tanah. ”Lagi pula, kalau Ibu menikah sama dia, kamu tidak bakalan lahir,” sambung Ibu.

Aku tak pernah menanyakan lagi pada Ibu tentang pacarnya yang dulu. Yang kutahu kemudian, Ibu cukup bahagia hidup dengan bapakku. Ada aku dan adik-adikku yang meramaikan hidup mereka. Aku tak pernah membaca kesusahan di wajah Ibu, tak pula membaca kegirangan yang teramat sangat. Hidup ibuku berjalan seperti seharusnya kehidupan seorang perempuan; sekolah, menikah satu kali, membesarkan anak, mengurus rumah, menjahit, menanam bunga, sementara suaminya bekerja.

Gagal menikah dengan pilot, cintanya tertambat pada seorang pegawai bank. Baginya, kerja di bank berarti kemapanan; ada gaji tetap, ada tunjangan untuk keluarga, ada uang pensiun. Singkatnya, kehidupan terjamin.

Ibuku selalu bilang bahwa seorang istri membawa rezeki sendiri-sendiri bagi suaminya. Setelah menikah dengan Ibu, karier bapakku terbukti menanjak. Mereka memulai hidup dari nol. Hingga kemudian bisa beli tanah, beli mobil, bikin rumah yang bagus. Konon, sampai-sampai kakekku ketika berkunjung ke rumah baru mereka bergumam begini, ”Masya’allah…, anakku bisa bikin rumah sebesar ini!” Tapi aku lalu menemukan kenyataan lain; teman sekolahku, bapaknya kerja jadi tukang becak. Jelas-jelas itu bukan karier yang menanjak. Aku bertanya-tanya, apa dulunya sebelum orangtua temanku menikah, bapaknya itu pengangguran? Sehingga jadi tukang becak saja berarti sudah merupakan kenaikan pangkat. Hingga suatu hari aku membuka-buka sebuah majalah tua, sebuah artikel menarik perhatianku; ’Letak Tahi Lalat dan Artinya’. Aku menemukan satu rahasia! Ibuku punya semacam tahi lalat di ujung jemarinya, tepatnya di salah satu jari manis tangannya. Konon, perempuan dengan tahi lalat di posisi ini, membawa rezeki untuk suaminya! Tiba-tiba aku jatuh kasihan, ibunya temanku pasti tidak punya tahi lalat di ujung jarinya….

Kubandingkan foto-fotoku dengan foto-foto ibuku. Ada gambar aku cemberut, tertawa keras-keras, bergaya ala rapper, sampai foto aku menangis gara-gara rebutan bantal kesayangan dengan adikku. Foto-foto Ibu, tak ada satu pun yang berekspresi berlebihan. Wajahnya selalu dengan senyum tertahan yang tak genap menjadi sunggingan. Ibu bahkan sangat jarang memperlihatkan geliginya di foto. Mimiknya selalu tenang. Ia tahu sudut mana dari wajahnya yang paling apik ketika difoto. Rambutnya pun tak pernah tak rapi. Berbeda denganku, yang bersisir pun malas. Bahkan ada fotoku yang baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan. (Taruhan, ibuku pasti tak akan mau difoto ketika bangun tidur). Ibu selalu menganggapku terlalu emosional, mungkin Ibu benar. Buktinya, lihat saja foto-fotoku. Mulai dari menutup pintu yang menurutnya terlalu keras (aku selalu menganggap ini bukan salahku, melainkan salah pintunya yang susah dibuka-tutup), berjalan dengan langkah yang terlalu tergesa, hingga memencet mesin ketik dengan keras sehingga menimbulkan bunyi berisik (dan menurutku ini pun salah mesin ketiknya yang terlalu keras untuk dipencet). Ketika aku marah akan suatu hal yang mengesalkan, ibuku mengingatkan bahwa berdoa lebih baik ketika sedang merasa teraniaya. Sebab Tuhan akan menjamin doamu terkabul. Tentu ini lebih baik ketimbang marah-marah tak jelas juntrungannya. Ketika aku sedang senang dan tertawa cekikian dengan teman-teman pun, Ibu tak alpa mengingatkan, ”Jangan terlalu girang!” Sebab bisa saja setan lewat dan mengubah segala kesenangan jadi musibah.

Aku tak pernah mengingat Ibu menangis, tidak sebelum kejadian itu; ketika foto seorang anak ditemukan di dalam dompet Bapak. Ketika itu, aku sudah tahu…, dan Ibu pun sebetulnya tahu…, tapi tak ada dari kami yang berani mengutarakannya. Toh Ibu masih berusaha berpikiran baik perihal kemungkinan-kemungkinan foto seorang anak yang ketinggalan dan dipungut bapakku di pinggir jalan. Ia tak menanyakan langsung pada Bapak. Hingga detik ia tak mampu lagi menahannya; aku bersembunyi di ruang sebelah sambil memasang kuping lebar-lebar. Ibu menangis sambil membanting pot kembang plastik yang tak pecah. Bapak mengaku; foto itu adalah anak Bapak dari perempuan lain. Sementara setelah kejadian itu aku mengeluarkan segala sumpah serapah kebun binatangku pada Bapak, sedang ibuku cuma bilang, ”Bapakmu…, aroma surga pun tak akan pernah diciumnya!” Itu kalimat paling kasar yang pernah diucapkannya. Ibuku terdiam lagi ketika pembantu kami mengelap air dan menyelamatkan nyawa tanaman hias yang tumpah dari pot kembang.

Ibuku, seperti foto-fotonya, tahu sisi mana yang paling apik yang harus diperlihatkan kepada orang lain. Kepadaku. Meski itu berarti ia harus menahan diri. Aku tahu Bu, sesekali kau ingin girang menari. Maka, izinkanlah jarum bertinta itu bermain di kulitku, kau boleh berdansa di punggunggku.
***

https://cerpenkompas.wordpress.com/2008/06/01/foto-ibu/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *