Arie MP Tamba
jurnalnasional.com
Bagi mereka yang mengakrabi cerita orang-orang Majus, yang dikisahkan sebagai tiga raja dari Timur dan menjadi saksi atas Hari Natal pertama (kelahiran Yesus) di dunia -nama-nama Baltasar, Melkior, dan Kaspar- tentu saja tidak asing. Mereka ini digambarkan sebagai raja-raja dari Asia, Afrika, dan Eropa.
Di Injil Matius, orang-orang ini dianggap terpilih untuk menyambut Sang Juru Selamat. Seperti juga diilustrasikan dalam penelitian, buku cerita, juga film, mereka datang membawa hadiah: emas, mur, dan kemenyan. Soal jumlah, ada tradisi lain menyebutkan empat orang, namun salah seorang tidak sampai ke kandang domba tempat Yesus. Tradisi Suriah mengatakan nama-nama mereka: Larvandad, Hormisdas, dan Gusnasaf. Sementara tradisi Armenia hanya menyebutkan dua nama: Kagba dan Badadilma.
Tapi bagi Rahman Sabur, yang mendirikan Kelompok Teater Payung Hitam (KPH) pada 1982, di Bandung, salah satu dari nama-nama tersebut, yakni: Kaspar (dari Kaspar-nya Peter Handke) – mempunyai “sihir” luar biasa. Kaspar adalah tokoh penuh inspiratif yang dihidupkan lagi oleh teaterawan asal Jerman, Peter Handke. Dan Rahman Sabur, selama belasan tahun ini, telah menyutradarainya sebanyak 20 kali pementasan.
“Kaspar saya kenal sejak prareformasi hingga masa reformasi dan pascareformasi. Tema yang diusungnya saya rasakan selalu terbuka dan relevan dengan situasi sosial-politik Indonesia. Itu sebabnya, saya menjadikan Kaspar sebagai bagian penting dari proses kerja teater saya,” kata Rahman Sabur kepada Jurnal Nasional, Selasa (11/11).
Rahman melanjutkan, ia sebenarnya sudah mengenal Kaspar-nya Peter Handke sejak 1989. Dari teman-teman teaternya, ia lebih banyak mendapatkan tanggapan: Kaspar sebagai naskah, kurang menarik. Tapi Rahman justru tertantang. Ia terus mengeksplorasinya bersama KPH, lima sampai enam jam per hari, selama delapan bulan. Ia memasukkan idiom-idiom sirkus ke dalam penyutradaraannya.
Rahman tercatat sebagai pengarang, dosen, aktor dan sutradara penting Indonesia. Ia lahir pada 12 September 1957 di Bandung, Jawa Barat. Mengajar di almamaternya, jurusan Teater STSI Bandung. Sampai sekarang masih menulis cerita pendek, puisi, dan naskah teater. Ia telah menyutradarai 45 lakon karya sendiri dan karya dramawan dalam dan luar negeri yang dimainkan KPH.
“Kelompok Payung Hitam, merupakan salah satu kelompok teater di Bandung yang potensial setelah STB. KPH merupakan kelompok teater serius yang bekerja dengan persiapan dan tanggung jawab kesenian yang cukup sehat,” kata Jakob Sumardjo, ketika mengulas kiprah KPH di sebuah koran Bandung.
Kreativitas penyutradaraan Rahman, selain diekspresikan bersama KPH, juga dilakukan dengan menyutradarai berbagai pertunjukan produksi Studio Teater STSI Bandung. Pada 1993 ia mengikuti Festival Teater ASEAN di Bangkok, Thailand. Pada 1997 memberikan workshop Kaspar di Perth, Australia.
Pada 1997 Rahman bersama kelompoknya mengikuti kolaborasi Teater Indonesia – Filipina – Jepang, di Sibuya, Jepang. Pada 2003 mengikuti Festival Laokoon/Spring Festival di Hamburg, Jerman. Pada 2005 mengikuti kolaborasi teater di Belanda, bekerja sama dengan Hogeweg dari The Lunatic Theatre, Belanda dan pada 2006 ikut serta dalam Oerol Festival and Therschelling Holland.
Pada 1995, sebagai sutradara sempat lebih memilih memproduksi lakon karangan sendiri. Tapi dalam perkembangannya, KPH kemudian kembali pada lakon Kaspar yang mereka pentaskan pertama kali pada 1994. Kaspar, si manusia terpilih yang mengalami pengayaan dan rekontekstualisasi makna itu, selanjutnya bahkan seperti menjadi paradigma berteater KPH.
Berbagai kalangan kemudian mengenali KPH sebagai kelompok teater yang mengarah ke teater nonverbal, dengan tema-tema sosial-politik. Bersama Kaspar, Rahman dan KPH memaksimalkan bahasa tubuh sebagai alat komunikasi dengan penonton. Para aktor KPH tidak “bekerja” membangun karakterisasi manusia nyata. Mereka bergerak dan hidup di panggung secara konseptual, tanpa dialog verbal sebagaimana teater konvensional.
Ini tidak membuat Kaspar “gagal” ditampilkan sebagai teater. Sebaliknya, Kaspar justru hadir sebagai representasi teater dengan cakrawala bersih dari dialog mubajir. Tubuh-tubuh dengan gestur dan gerak provokatif, jadi medan komunikasi secara segar dan semiotik. KPH mengoperasikan ruang dan waktu pertunjukan secara padat dan maksimal. Seolah menutup komunikasi, tapi menguakkan berbagai peluang pemaknaan.
Kaspar menokohkan seorang Kaspar yang gagu, dewasa tapi berpandangan seperti anak kecil. Ekstremnya, ia hanya bisa mengucapkan satu kalimat. Itu pun hasil belajar dari pengeras suara yang menjejali telinga dan kesadarannya dengan bahasa kekuasaan anonim. Kaspar meronta sebagai kegigihan kemanusiaan untuk membebaskan diri dari kontrol.
Pada 1994 itu, ketika Rahman dan KPH memperkenalkan Kaspar, dunia sosial-politik Indonesia sedang tercekam oleh pemberedelan tiga media nasional: Tempo, Editor, dan Detik. Secara cerdik, Rahman mempersoalkan kasus pembelengguan kebebasan berpikir dan berbicara itu melalui pertunjukan Kaspar. Kaspar pun bergerak sebagai perlambang perlawanan atas ketertindasan.
Uniknya, “Ketika kami mainkan di Tasikmalaya, kami mementaskannya di sebuah ruang bekas pabrik, dan para penonton begitu akrab dengan Kaspar. Sementara, di Hamburg, kami juga memanggungkannya di sebuah gedung teater bekas pabrik. Dan penonton di sana secara antusias berkomentar, ‘banyak Kaspar ya di Indonesia’,” kata Rahman berkisah.
***