00.
Sastra adalah dunia yang serba mungkin; apapun bisa jadi mungkin (probability), termasuk di dalamnya, yang mustahil pun bisa saja menjadi mungkin. Jadi, dalam keser-bamungkinan atau kemustahilan itu, berbagai peristiwa yang mungkin dan yang mustahil, bisa saja terjadi sekali-sekali, gonta-ganti atauserempak secara tumpang-tindih. Oleh karena itu, salah satu kekhasan karya sastra (fiksi) yang sering dimanfaatkan untuk mem-bedakannya dengan karya nonfiksi adalah adanya kebolehjadian (plausibility) itu. Itulah sastra! Ia bisa menampilkan dunia yang realistik dan masuk akal secara meyakinkan. Na-mun, ia juga dapat menampilkan hal yang sebaliknya. Di sana, mungkin ada dunia jung-kir-balik, irasional, dan amburadul. Semua boleh saja terjadi, dan itu sah! Tidak ada rumus yang pasti yang berlaku universal. Selalu saja ada yang khas, unik, dan nyeleneh. Selalu ada saja kekhasan individual, meskipun ciri atau sifat-sifatnya, mungkin berlaku universal yang terkait dengan konteksnya yang meruang dan mewaktu.
Sumber keserbamungkinan dan kebolehjadian itu, tentu saja jatuh pada permainan imajinasi. Penjelajahannya yang tidak dapat terikat apapun, membuka peluang baginya untuk menerobos ruang dan waktu. Ia bisa saja secara leluasa mengacak-acak masa lalu, masa kini atau masa datang. Ia juga bisa saja menclak-menclok dan bertengger di tempat dan ruang mana pun. Berbagai peristiwa yang mestinya hadir dalam rangkaian waktu yang teratur, sangat mungkin mendadak jadi semrawut dan jumpalitan. Itulah sastra! Sebuah dunia yang sangat ditentukan oleh kehendak imajinasi. Akibatnya, jangat kaget, jika akal sehat dan logika formal, jadi ikut berantakan dan mubazir.
Jika kemudian penjelajahan imajinatif itu terkesan terbata-bata, jumpalitan, atau ngalor-ngidul dan semrawut, persoalannya terletak pada sarana ekspresinya yang sangat terbatas dan tidak dapat mewakili secara sempurna kegelisahan pikiran dan perasaan se-seorang. Bahasa sebagai sarana ekspresi, ternyata tidak mampu mengungkapkan keliaran imajinasi. Inilah yang terjadi dalam dua antologi cerpen karya Joni Ariadinata: Kali Mati (Yayasan Bentang Budaya, 1999) dan Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), meskipun persoalan tersebut dalam antologi yang disebut terakhirtidak hadir secara sig-nifikan. Mari kita periksa!
01
Antologi Kali Mati memuat 15 cerpen dan semuanya mengungkapkan gambaran, betapa keliaran imajinasi yang coba diekspresikan lewat bahasa, nyaris membuat kita ikut jumpalitan. Memang ada logika formal yang hendak diselusupkan latar cerita dan ung-kapan para tokoh yang digambarkannya, tetapi kemudian logika formal itu menjadi mu-bazir, lantaran imajinasi memang tidak tunduk pada logika. Akibatnya, tata bahasa, urut-an sintaksis, kosa kata baku, juga benar-benar dibuat berantakan!
Inilah antologi cerpen yang paling kurang ajar dalam memperlakukan bahasa. Tidak cuma itu, majas atau gaya bahasa yang selama ini kita kenal dalam buku-buku pe-lajaran, ikut dibuat kocar-kacir dan ngawur. Tetapi justru dengan cara itu pula, Joni se-sungguhnya hendak memotret problem sosial kita yang memang serba ngawur dan am-buradul. Sebuah potret acakadul yang banyak kita jumpai dalam kehidupan para gelan-dangan, orang-orang gendeng, sableng, dan gemblung. Itulah tema yang mendominasi antologi cerpen ini.
Secara tematis, Joni bukanlah orang pertama yang mengangkat kehidupan dunia kere. Muhammad Ali dalam Gerhana mengangkat kere perkotaan dalam berhadapan de-ngan keserakahan orang-orang kaya. Jika tidak, Ali membalurinya dengan akhir yang tra-gis. Ahmad Tohari dalam Senyum Karyamin mengangkat wong cilik pedesaan. Meskipun keduanya memperlihatkan cara bertutur yang berbeda, keberpihakan pada wong cilik tampak jelas melatari sikap kepengarangan keduanya.
Dalam konteks itu, sikap kepengarangan Joni tidak wujud dalam bentuk berpihak, melainkan dalam amuk terhadap nasib yang terus dikungkungi kesengsaraan abadi, keke-rean, dan tragikal yang lengket menempel gelandangan dan dunia hitam kaum marjinal yang ternistakan. Lalu bahasa macam apa yang diperlukan untuk mengungkapkan dunia yang seperti itu? Pentingkah logika untuk menjelaskannya? Di sinilah bahasa manusia tak mampu mewadahi lompatan-lompatan pikiran; logika gagal merumuskan realitas. Akibat-nya, dapat dipahami jika yang muncul kemudian adalah pembebasan sintaksis dan pembe-lotan atas kosa kata baku, karena memang kehidupan gelandangan tidak mengenal tata bahasa. Tetapi justru dengan cara itu, Joni berhasil memanfaatkannya dalam bentuk baha-sa visual, serangkaian kesemrawutan berbahasa dan onomatope.
Kata-kata atau ungkapan seperti: gerompyang kuali, gerbang besi gemeronjang, gelepok sampah, keciprak lumpur comberan, nempiling, prak! ebrekewek mantra dukun, bledek: jedak! jedak! atau suara “ah..rrrhkg” adalah beberapa contoh bagaimana Joni secara kreatif begitu leluasa memanfaatan onomatope. Perhatikan juga beberapa kesemra–wutan kalimat atau bahasa yang digunakan Joni: “…kardus atap plastik: 1 x 2 meter cocok buat ‘kerja’ satu pasang, yang kadang-kadang kaki lelaki mencolot keluar, tentu. Jika sedang dinas. Dinding kardus bergoyang-goyang kemerosak, bunyi napas….” (Rumah Bidadari, hlm. 20). Atau perhatikan juga kalimat-kalimat aneh berikut ini: “…Tobat. Berita menerabas seperti bledek: jedak! jedak! … lutut-lutut gemeletar; ketar-ketir. … Otak-otak meledak pohon batu tanah debu ranting sampah tumpah tembok batok mengutuk ambruk; menunjuk; teriak; pekak: …” (Anjing,hlm. 135).
***
Pilihan tema dan gaya yang diambil Joni, memang memberi peluang baginya un-tuk mengumbar imajinasinya secara liar dan bebas. Juga membuka kemungkinan kebe-basan berkreasinya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dengan cara itu pula sesung-guhnya, ia dapat sekaligus membangun potret hitam duniagelandangannya tanpa beban, yang dalam beberapa cerpennya, kadang kala justru mengesankan ekspresi kreatifnya menyerupai puisi. Perhatikan kutipan berikut:
Panas menggigit jendela. Bunga matahari krowak ditendang angin, seperti li-sus. Seekor cecurut ruangan meninggalkan bau. Dentang pagar dan suara pengemis masih mengumpat. Ada layangan jatuh. Jam sebelas, anak-anak ribut melempar jambu di halaman. Gedebuk batu-bata. Sial. (Sampah Tuhan, hlm. 60).
“Lima belas ribu. Ayam kampung. Sengaja kusimpan buat malam-malam. Hoh-hoh-hoh, kau berani Sarju?” Mata palsu lentik mengerjap. Sarju menenggak. Rambut memerah keriting Madonna. Lipstik, ya Tuhan, melenting pirus batu akik: “Kau bera-ni?” Kerocok ember “pencuci itu” di kamar sebentar saja; kosrak lap; Lala keluar; se-nyum munafik dan empat kuli pletay-pletoy; hahah-heheh; babi-babi jontor berebut menggayut Sandra; masuk kamar menambal sepersekian senti daki di seprei nyaris me-leleh semacam nanah buat sekarat putar-putar menuntaskan mata yang mencolot-colot melotot. (Nekrofagus, hlm. 79).
***
Perlu diingat bahwa ekspresi apapun yang tertuang dalam teks, perlu dicurigai punya makna. Siasat untuk mengecoh pembaca mesti ditempatkan dalam kerangka inter-pretasi. Oleh karena itu pula, setiap tanda apapun, mesti punya kontribusi bagi bangunan teks itu sendiri. Ia mesti menjadi bagian integral dalam keterkaitannya dengan unsur lain dalam sebuah wacana. Tanpa adanya sinyal yang memperlihatkan keterkaitan itu, mung-kin patutlah kita menyebutnya sekadar main-main. Inilah yang terjadi pada cerpen “Dardanela” (hlm. 105–114).
Sembilan alinea pertama cerpen itu, ditulis dalam ejaan van Ophuijsen. Tetapi aneh, logatnya sama dengan bahasa Indonesia sekarang. Memang tidak ada hubungannya dengan soal logika. Meski begitu, sastra juga tidak terlepas dari persoalan wawasan. Jadi, jika ia hendak menggambarkan masa lalu (sebelum Indonesia merdeka), ia mestinya juga memantulkan potret zamannya. Jika tidak demikian, apa maknanya ejaan van Ophuijsen digunakan di sana, apabila ia tidak mendukung dan tak berkaitan dengan makna yang hendak disampaikan wacana bersangkutan, kecualiuntuk sekadar “main-main” jika tidak mau dikatakan bertingkah?
Persoalannya sangat berbeda dengan pilihan tema dan gaya yang digunakannya. Dalam perjalanan cerpen Indonesia, tema dan gaya dalam antologi ini, sungguh khas, meskipun sebelum itu, dengan gaya dan ragam yang agak berbeda, Arifin C. Noer, per-nah pula menggarapnya. Oleh karena itu, kehadiran antologi ini bolehlah dikatakan meru-pakan sumbangan penting dalam memperkaya khazanah cerpen Indonesia.
Gaya bahasa (style) memang sering kali berurusan dengan tema, atau sebaliknya, tema terpaksa mesti disaranai oleh style. Tidak sedikit karya sastra yang jatuh pada ku-bangan, hanya lantaran tidak memperhatikan persoalan “remeh-temeh” seperti itu. Bahwa Joni telah memilih tema dunia “gila” niscaya itu merupakan pilihan yang tidak main-main. Kita pun tentu saja amat menghargai pilihannya. Namun, persoalannya lain jika lalu ia membelot pada tema yang menjadi pilihannya itu. Maka, musibah pun terjadilah.
Cerpen “Sampah Tuhan” (hlm. 66–78) yang mengangkat sepak terjang dan per-debatan estetik seorang pelukis denganProfesor Babir, misalnya, justru terkesan nyinyir dan sok tahu, manakala persoalannya menyentuh dunia yang sesungguhnya asing bagi pengarangnya sendiri. Betul ada eksploitasi wong kere di sana. Namun, penderitaannya justru tidak begitu menonjol, lantaran persoalannya lebih banyak menyorot pada sepak terjang pelukis dan profesor tadi. Boleh jadi, gregetnya akan sangat lain, jika kehidupan tokoh Siti Sapi yang diplintir dan digali secara maksimal, sebagaimana yang dilakukan-nya dalam cerpen-cerpen lainnya.
Kasus yang sama juga terjadi pada cerpen “Jelatang Bundar” (hlm. 88–97). Lompatan-lompatan pikiran para tokohnya yang modar-mandir dari masa kini ke masa lalu yang pada awalnya cukup meyakinkan –lantaran kesemrawutannya, seolah-olah jadi mubazir manakala ada latar kehidupan mewah menimpalinya. Akibatnya, penataan peristiwa yang dialami para tokohnya, jadi terasa hambar. Kedua kasus inilah yang juga terjadi pada diri Ahmad Tohari dalam Bekisar Merah, ketika tokoh Lasi harus memasuki kehidupan yang serba mewah.
Satu cerpen lagi, ”Indonesia” hadir dengan beberapa hingar dan tentu saja itu agak mengganggu. Tokoh Karti yang gemblung dengan latar kehidupan jalanan, pada awalnya cukup memukau. Tetapi ujaran-ujarannya yang tidak berantakan dan ngawur, malah jadi menimbulkan pertanyaan. Adakah wong gemblung menyadari dirinya gem-blung, sehingga ujarannya harus digemblung-gemblungkan? Dalam konteks ini, Joni agaknya perlu menyimak Naguib Mahfouz, Lu Xun (Catatan Harian Seorang Gila), Iwan Simatupang (Lebih Hitam dari Hitam) atau Ahmad Tohari (Wangon Jatilawang).
***
Terlepas dari persoalan-persoalan itu, secara keseluruhan antologi Kali Mati sungguh memberi banyak janji. Ia hadir dengan kekhasannya tentang gembel dan orang-orang tergusur di perkotaan. Sebuah potret gelap orang-orang marjinal jadi terasa lebih gelap. Tema ini menjadi begitu menojol lantaran gaya bahasa dan kosa kata yang digunakannya terkesan begitu semrawut, sebagaimana kesemrawutan kehidupan mereka yang serba amburadul. Dan ini didukung oleh kemarahan dan kesumatnya pada nasib busuk orang-orang marjinal yang terus-menerus dililit kubangan “comberan”. Maka sempurnalah penderitaan mereka.
02
Dengan gaya bahasa yang tidak jauh berbeda, antologi Kastil Angin Menderu menampilkan 17 cerpen. Meski antologi ini diterbitkan dalam tahun yang berbeda (Kali Mati, 1999 dan Kastil Angin Menderu, 2000), berdasarkan kolofon yang terdapat dalam kedua antologi itu, dapat kita simpulkan bahwa kedua antologi cerpen itu ditulis Joni dalam kurun waktu yang sama: 1994–1998. Oleh karena itu, jika kolofon itu dapat kita jadikan sebagai pegangan untuk mencermati perkembangan kepengarangannya, maka Kastil Angin Menderu bukan merupakan karya yang dihasilkan pasca-Kali Mati. Kedua antologi ini sezaman, yaitu ditulis antara tahun 1994–1998.
Jika Kali Mati terbit lebih awal, maka praanggapan yang dapat kita kemukakan adalah bahwa Kali Mati sangat mungkin merupakan cerpen-cerpen pilihan; sisanya ke-mudian dikumpulkan kembali dan lahirlah Kastil Angin Menderu. Praanggapan ini tentu saja dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama, secara kualitatif cerpen-cerpen dalam Kali Mati terasa lebih kompak de-ngan pusat perhatian manusia gelandangan. Dengan tokoh-tokoh yang sebagian besar juga berasal dari masyarakat golongan itu, maka keberpihakan pengarang terhadap to-koh-tokohnya dapat lebih fokus, meski mereka ditampilkan dengan segala kenistaannya. Keberpihakan pengarang terhadap wong cilik dalam Kastil Angin Menderu, justru terasa ngegelambyar, kurang fokus lantaran tampilnya tokoh-tokoh dengan profesi yang lebih beragam, seperti sopir, atlet, prajurit atau pejabat korup.
Kedua, dalam Kastil Angin Menderu, tampilnya tokoh-tokoh dengan berbagai profesi ini juga, pada gilirannya membawa konsekuensi pada tema cerita yang juga beragam. Malah, empat cerpen di antaranya (Hikayat Lembing Mujur, Jing, Montase, dan Delapan Terdakwa) lebih dekat pada tema-tema mistik. Dalam Kali Mati, nafas mistik ini justru sama sekali tidak kelihatan.
Ketiga, meskipun secara tematis Kastil Angin Menderu, lebih beragam, usaha pengarang untuk lebih menghitamkan kehidupan kaum marjinal, masih memperlihatkan pembelaannya kepada kaum papa itu, meski dalam potret yang lebih gelap. Dengan demi-kian, pengarang masih konsisten memihak golongan kere, sebagaimana yang tampak dalam antologi Kali Mati.
Keempat, tampilnya berbagai tokoh dengan profesi yang beragam itu juga dalam Kastil Angin Menderu, memaksa pengarang –dalam beberapa cerpen– memasuki dunia yang sesungguhnya kurang begitu dipahaminya benar, karena barangkali juga itu sesuatu yang sebenarnya memang asing. Beberapa peristiwa dalam sejumlah cerpen dalam Kastil Angin Menderu, seperti Serial Komik, Delapan Terdakwa, Keluarga Mudrika, atau Republik Antonio, terkesan sebagai lompatan-lompatan pikiran yang tak jelas ke arah mana sesungguhnya lompatan pikiran itu hendak menclok. Kasus yang juga terjadi dalam Sampah Tuhan dalam antologi Kali Mati.
Kelima, meski ada sejumlah perbedaan itu, baik Kali Mati, maupun Kastil Angin Menderu, masih memperlihatkan potensi pengarangnya dalam hal gaya bahasa (style). Justru dalam hal itulah, Joni sudah punya kekhasannya sendiri yang berbeda dengan cerpenis seangkatannya. Ia telah memiliki kekuatan yang katakanlah menjadi trademark-nya sendiri. Lalu apa yang menjadi kekuatannya itu?
***
Ciri yang menonjol dari dua antologi karya Joni Ariadinata ini adalah ‘hancurnya’ tatabahasa baku bahasa Indonesia! Tata kalimat dan urutan sintaksis, benar-benar dibuat berantakan. Demikian juga, kosa kata yang baku, dalam beberapa hal, seolah-olah dibuat mubazir. Akibatnya, selain rangkaian kalimat dalam setiap deskripsi latar, terkesan patah-patah, terbata-bata, dan acak-acakan, juga majas ia gunakan sekenanya. Tetapi justru dengan begitu, imajinasi Joni tampak begitu liar, serudukan, dan terkesan menyimpan kesumat yang luar biasa pada kehidupan kaum comberan. Dalam hal ini, Joni agaknya sengaja tak mengindahkan tata krama, justru untuk mengangkat potret dunia kaum marjinal yang lebih gelap dari gelap. Sememangnya, sastra tidak berurusan dengan sopan santun, etika atau tata krama,tetapi berurusan dengan estetika. Jadi, persoalan yang dihadapi dalam dunia sastra macam yang diangkat Joni adalah sejauh mana semua unsur, termasuk di dalamnya rangkaian kalimat yang patah-patah itu, mendukung nilai estetik.
Meskipun demikian, potret yang diangkat Joni bukanlah dalam bentuk yang semacam dengan realisme yang bertumpu pada detail. Potret yang dibangun Joni adalah sebuah kolase yang di dalamnya, pembaca boleh melengkapinya sendiri. Dengan begitu, kekacauan kalimat itu, justru untuk memperlihatkan, betapa realitas yang sesungguhnya berada dalam lempengan-lempengan peristiwa yang dalam satu saat tertentu, sangat mungkin ia sama sekali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.
Dalam satu peristiwa, di saat dan waktu tertentu, sangat mungkin pula kita berada di dalamnya atau di luar itu yang memiliki realitasnya sendiri. Realitas jadinya laksana tempelan-tempelan peristiwa, dan ketika ia dirumuskan dalam ekspresi bahasa, ia jadi onggokan-onggokan kata; rangkaian kalimat yang seolah-olah patah-patah. Perhatikan beberapa kutipan di bawah ini:
Sopir Oding, pengemudi Genio metalik bagus, sepertinya memang bego dan dungu. Jelas bukan jagoan apalagi pahlawan. Umum. Akhir-akhir fikiran jadi melotot buntu: betul-betul yakin. Tobat dan sungguh. Tatapan mereka itu: kaki-kaki meleng-gang, warung pinggir jalan, pemakan soto lahap cukup melongok bengong, kios kelon-tong melompong, asing; tak ada otak berhak bergerak. Apalagi membantu… Lalu lintas kembali jadi macet. Klakson-klakson menjerit bising. Kepul asap, suara knalpot. Kota-kota keparat, sopir mini bus memaki berat: “Brengsek! Ngapain lu? Minggir!”
Sial. Kepalang tanggung tubuh korban akhirnya diseret, dipaksa. Sopir Oding tak tega. Masuk mobil kaki ditekuk, bluk! Rapat pintu dibanting. Lega. (Gergajul, hlm. 13–14)
Perhatikan juga kutipan berikut ini:
“Ya!” keras semakin pasti. Mengangguk-angguk. Kemudian tepuk tangan. Ge-muruh. Berjingkrak. Beres. Langit lapang terang awan biru laut putih paha perawan kota; Gusti Markus di rumah nyekakar berniat zina dengan sepuluh pelacur bermain homo. Suntuk semalam lagi dan lagi. Glk! Glk! Glk! (Serial Komik, hlm. 50)
Kelupasan daging, bernanah. Busuk dan mengerang. Betapa sesak. Barda me-nyimpan amarah mata lewat kaca ruang operasi, –Marni, kenapa, mungkinkah bisa ja-di begitu? Bibir cantik istrinya mengeriut. Dinding-dinding menyempit hempasan jatuh kekosongan dada mengumpat, mengutuk, dan meledak: “Kenapa? Kenapa?” menge-luh. Langit pucat. … (Kastil Angin Menderu, hlm. 89).
Pengacauan pola-pola kalimat seperti itulah yang agaknya menjadi kekhasan Joni. Lalu apa maknanya bagi pembaca jika pembaca dibuat bingung? Di sinilah Joni tidak sekadar hendak menyiasati pembaca, tetapi juga mengajaknya ikut terlibat memainkan imajinasinya. Dalam konteks ini, teks jadi tidak sekadar alat untuk memotret penggalan-penggalan realitas dalam dunia yang hendak digambarkan tokoh-tokohnya, melainkan juga sebagai salah satu sarana untuk mengganggu pembaca agar ia juga memainkan imajinasinya. Pembaca diajak terlibat dalam pertemuan imajinasi yang tersurat dalam teks dan imajinasi pembaca yang entah sedang berada di mana ketika ia berhadapan dengan teks bersangkuan. Teks yang patah-patah itu, justru menjadi lahan yang mesti diisi sendiri sesuai dengan permainan imajinasi pembacanya.
Dalam konteks perjalanan khazanah sastra Indonesia, apa yang dilakukan Joni sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Budi Darma –khasnya dalam Rafilus– dan Putu Wijaya –dalam Telegram dan Pol– telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam peman-faatan pola sebagaimana yang kini digunakan Joni. Tentu saja masing-masingnya dengan kekhasannya sendiri. Jadi, jika karya Joni ini dianggap amburadul, persoalannya terletak pada bagaimana kita menempatkan karya-karya sejenis itu pada kotaknya sendiri. Oleh karena itu, ketika kita mencoba memahami karya Joni lewat logika formal, mencoba mencari rangkaian kalimat lewat aturan tata bahasa, menilainya lewat ejaan dan kosa kata yang baku, dan mengkaitkannya dengan sopan santun dan etika, kedua antologi karya Joni ini akan benar-benar teraniaya, tersiksa, dan tercampakkan!
Yang akan kita jumpai adalah pencampuradukan antara bahasa tulis dan bahasa lisan yang coba mengangkat realitas sosial kaum marjinal. Cara berpikir mereka memang kadang kala mengungkapkan apa yang terlihat yang lalu diwujudkan secara spontan. Itu-lah sebabnya, ekspresinya lewat bahasa sering kali terbata-bata, semrawut, dan tumpang tindih. Tambahan pula, derasnya lompatan-lompatan pikiran yang tak terikat oleh ruang dan waktu, menggiringnya pada dunia yang jungkir-balik. Akibatnya, ketertiban urutan peristiwa dan logika formal, tidak berlaku di sana.
Demikian juga, dalam kehidupan kaum marjinal yang sebenarnya, mereka sangat mungkin tidak mengenal aturan tata bahasa dan kosa kata baku. Mereka sekadar dapat berkomunikasi satu dengan lainnya, tanpa harus dibebani oleh aturan sintaksis atau apa pun, sebab itu hanya ada di dalam laci anak-anak sekolahan. Termasuk di dalamnya per-soalan yang menyangkut tata krama, sopan-santun, dan etika. Dan demi kepentingan estetika, kebolehjadian dan keserbamungkinan, dibolehkan dan sah-sah saja. Demi esteti-ka pula, kedua antologi karya Joni Ariadinata pun, berhak pula memanfaatkan keboleh-jadian dan keserbamungkinan. Jadi, apapun yang ada di dalam kedua antologi itupun, sah-sah saja adanya.
***
03
Mencermati kesungguhan Joni dalam menggarap tema-tema kehidupan kaum marjinal dan usahanya untuk membelot dari konvensi, justru telah menempatkan kedua karya itu sebagai trademark-nya. Dan Joni telah berhasil mengumumkan trademark-nya sendiri. Jika tema dan gaya ini konsisten digarap terus secara serius, niscaya dari tangan-nya, kita tinggal menunggu lahirnya karya yang lebih cerdas yang mengungkap kemiskin-an gembel Indonesia yang tidak ada duanya. Kali Mati dan Kastil Angin Menderu, sung-guh telah memperlihatkan kecerdasannya sebagai sebuah monumen!
Sebaliknya, jika Joni mencoba melebarkan tema pada dunia yang sesungguhnya tidak digaulinya dan asing, maka ia akan terjerumus pada kenyinyiran yang hasilnya cen-derung artifisial atau bahkan mentah, sebagaimana, misalnya, yang terjadi pada salah satu cerpennya yang berjudul Republik Antonio. Oleh karena itu, tidak dapat lain, Joni mesti setia pada pengalamannya sendiri, pada kegelisahannya dalam mengangkat dunia kaum marjinal yang memang diakrabinya.
Bersamaan dengan itu, jangan pula dilupakan, bahwa kecerdasan seorang sastra-wan sangat bergantung pula pada wawasan. Tanpa pengetahuan, tanpa sentuhan intelek-tualitas, dan jika sekadar mengandalkan bakal alam, maka ia tinggal menunggu hari kema-tiannya saja. Dalam sejarah sastra di negara manapun, tidak ada seorang pun sastrawan besar yang hanya mengandalkan bakat alam. Soalnya sederhana saja. Yang membesarkan seorang sastrawan tidak lain adalah wawasan pengetahuannya dalam menggali dan me-maknai berbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Nah, kiranya begitu!
*) Makalah Diskusi “Pembahasan Cerpen-Cerpen Joni Ariadinata” Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 28 Juli 2000, Pukul 14.00.
**) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).