Theresia Purbandini
http://jurnalnasional.com/
Saat ini teater bukan lagi genre kesenian yang tidak terjangkau masyarakat, karena beban-beban estetik. Demikian juga dengan Kelompok Teater Payung Hitam dari Bandung, yang berkali-kali mementaskan Kaspar. Sebuah pementasan yang keseluruhannya memaksimalkan gestur tubuh aktor sebagai satu-satunya medium komunikasi dengan penonton.
Aktor-aktor Payung Hitam tidak berusaha membangun identifikasi watak yang jelas. Pertunjukan jadi miskin dialog, sekaligus jadi penunjuk adanya konvensi baru pertunjukan teater yang dibawakan secara kontemporer.
Menurut Arie F Batubara, pengamat teater yang mengikuti perkembangan Payung Hitam sejak awal: hal itu adalah bagian dari kecenderungan teater di Indonesia sekitar pertengahan 1990-an, yang mulai bergeser ke bentuk-bentuk teater eksperimental dibanding tahun 1980-an, yang masih terpaku pada naskah.
Kelompok ini menurut Arie, menjadi kelompok pertama dalam perjalanan sejarah teater Indonesia yang mengejar artistik dengan menggunakan multimedia, tanpa kehilangan makna sebagai sebuah kelompok yang memperhitungkan visi, misi, dan nilai. “Payung Hitam lebih mengungkapkan sisi ekperimennya melalui beberapa pertunjukan, seperti menggebuk-gebuk tong, yang tentu saja tak lazim bila mengacu pada teks yang sudah jadi,” ungkapnya menyontohkan.
Eskploratif tema melalui gerak jadi kekhasan Payung Hitam yang membuatnya menjadi ikon teater baru di Bandung. Hal ini disepakati oleh Jakob Soemardjo, kritikus sastra yang juga mengamati perkembangan teater di Indonesia. “Selama kurun waktu 30 tahun Teater Payung Hitam akhirnya mewujudkan pentingnya elemen gerak tubuh dibanding kekayaan dialog. Dengan mengangkat tema-tema protes sosial untuk menunjukkan kepedulian,” tutur Jakob.
Teater Payung Hitam Bandung pimpinan Rahman Sabur menurut Arie banyak mempertanyakan takdir hidup, serbuan kapitalisme, serta eksistensi diri di tengah galau situasi Indonesia, pertentangan Barat-Timur, kapitalisme-sosialisme, miskin-kaya, majikan-buruh, seperti juga Arjuna dan Karna yang menukil perangai baik dan buruk manusia.
Tema Daerah
“Payung hitam juga mengangkat tema-tema daerah, atau semangat lokalitas Jawa Barat. Hal ini tidak dilakukan semua kelompok teater. Banyak dari mereka mengandalkan naskah sebagai struktur cerita untuk memenuhi kebutuhan ekspresi mereka,” nilai Arie.
Salah satu putra Bandung yang melahirkan karya-karya yang juga dipentaskan Teater Payung Hitam adalah Saini KM, yang merupakan salah satu penulis produktif yang tergabung dalam Studi Klub Teater Bandung. Payung Hitam memilih karya Saini bukan karena mereka satu daerah. Sebab, menurut Arie, bila diprosentasekan, teater di Bandung lebih banyak mengacu pada naskah asing ketimbang naskah lokal demi alasan lebih mengakomodir kebutuhan berekspresi mereka.
Menurut Arie, pilihan itu karena Payung Hitam sedang mengeksplorasi sebuah bentuk kesadaran kreatif, yang akhirnya muncul sebagai tren teater Bandung bahkan Indonesia. “Perjalanan Payung Hitam, saya amati, kemudian mengandalkan olah kreatif dengan unsur gerak tubuh ketimbang kekuatan verbal melalui dialog.”
Teater Payung Hitam selanjutnya menempatkan unsur pencapaian artistik sebagai bagian terpenting dalam sebuah pentas. Hal ini dicapai dengan dukungan kekuatan tubuh aktor yang menjadi sumbu utama setiap pementasan, dengan menghadirkan olah gerak tubuh yang kadang tak lazim. “Aktor Payung Hitam sangat terlatih, bisa dilihat dari gerak tubuh yang amat lentur, bahkan melebihi seorang penari,” kata Jakob.
Tapi pandangan lain juga disampaikan oleh Arie perihal para aktor Payung Hitam ini di atas panggung. “Meskipun secara perspektif teater, mereka boleh jadi mengalami perkembangan secara sosial; tapi saya malah rindu dengan bentuk awal pementasan Payung Hitam yang betul-betul menggarap penokohan sesuai naskah.”
Merindukan Naskah
Jakob pun mendukung. “Bukannya tidak bisa menikmati bentuk teater Payung Hitam yang sekarang. Tapi ada pengalaman artistik tertentu yang didapatkan penonton, ketika melihat naskah yang sudah dikenal dipentaskan di atas panggung.”
Siklus kembali ke masa purba bentuk teater, menurut Jakob, hanya sebatas pada olah gerak dan tubuh tanpa kekayaan kata-kata adalah perkembangan Teater Payung Hitam dewasa ini. Imaji-imaji yang dibangun di atas panggung sangat ditentukan oleh kemampuan sang aktor mengemban berbagai visi dari sebuah perannya yang tidak berkarakter pada satu garis naskah.
“Interpretasi terhadap pristiwa di atas panggung bisa dimaknai oleh pengetahuan si penonton. Tapi ia juga bisa menolak menafsirkannya. Sebab, olah gerak tubuh di panggung juga merupakan misteri dengan daya tarik yang tak mudah atau tak harus diungkap,” kata Jakob.
Adegan demi adegan penuh dengan permainan layar, hingga menghasilkan efek artistik yang memukau tanpa kehilangan kendali terhadap ide dalam tiap pementasan yang dihadirkan Rahman, menjadi unsur pelengkap dalam pementasannya. “Payung Hitam bisa dianggap teater miskin, dila dibandingkan dengan teater realis seperti Koma. Hanya menggunakan sarung sebagai simbol, dengan kesederhanaan, dapat mengantarkan ekspresinya bukan pada kesempurnaan wujud fisik, tapi pada optimalisasi eksplorasi,” ungkap Arie.