korantempo.com
Yang Mendayung
Aku terlalu tua untuk mengejar ke mana arah impianmu kau dayung. Balapan ini harus diakhiri. Panji di pulau-pulau biarlah untukmu. Dan untukku selingkar cambuk yang akan aku cambukkan ke tubuh sendiri. Tubuh yang begitu luka karena terlalu percaya, jika dirimu selalu dekat dengan darah dan nganga.
Di mataku yang rabun, aku melihat kau melambai seperti karang yang menguap. Lalu melebar seperti papan-tarung yang meluas. Apa kau juga akan memenjarakan aku dengan jarak yang tak berdepa ini? Ataukah kau memang cuma ingin menjadikan aku semacam laron yang terbang sendirian di keluasan yang kelam? Yang lebam?
Semua yang aku punya pun seperti patung. Dan juga seperti ombak yang pecah, semburatlah semua yang ada. Dan seperti kepingan perak, semua semburatan itu pun tampak bersinaran. Bersinaran di sepanjang padang laut. Di sepanjang sayap-sayap burung yang bangkit dari mimpi seorang kelasi yang terlalu terkenang.
Pada yang telah melengketi kelambu ranjangnya. Yang membuat setiap kerahasiaannya menyeruak. Seperti seruakan dari kekelabuan yang tak terukur. Tempat aku selalu menanamkan bunga-bunga di dedasaran. Yang bersemi dengan warna-warna tak pernah terpejam. Warna-warna dirimu! Warna-warna yang meluncur dan tenggelam!
Ya, ya, aku terlalu tua untuk meneruskan balapan ini! Dan kini, yang terbaik yang aku pilih adalah meringkuk di kelukaan. Dan sesekali pikiran pun terulur: “Jauh ke ketinggian sana. Jauh ke luas-luas lautan yang baru. Yang tak pernah kau tahu, betapa cambuk akan terus aku cambukkan ke tubuh sendiri. Dan eranganku pun menjelma lorong.”
Seperti lorong yang akan mengantar setiap yang aku berikan padamu, untuk senantiasa berkata: “Aku selalu berusaha pada ketak-terdugaan. Dan aku selalu mengajakmu untuk mempercayai tentang kehilangan yang begitu indah. Dan setiap yang tiba dengan pahit garam, kita tatap dengan gumpalan-gumpalan cahaya!”
Aku terlalu tua untuk mengejar ke mana arah impianmu kau dayung!
(Gresik, 2006)
Kepada Cinta
“Jika aku datang, maka aku luka!” Begitu katamu padaku. Dan aku, yang semalaman menunggu di ruangan, seperti tak lelah-lelahnya menguping risik. Ada harap, kau akan mengendap, mengintip dan memasukkan suratmu lewat sela-sela pintu. Surat yang berwarna ungu. Surat yang aromanya seperti keringat para penziarah sehabis memanjati pepohonan dan menuruninya. Hanya untuk selembar daun yang kabarnya “pernah dirajah oleh orang suci yang punya hati dari gundukan sinar yang licin.”
Dan di dermaga sana, aku dengar ada yang meributkan pasar yang terbakar. Juga sebuah masjid yang runtuh hanya karena goyah yang menyeberang. Dan juga mayat tujuh potong yang tak diketahui, siapakah dia dan apa pula jenis kelaminnya? Jam di dinding pun terus menggelinding. Lewat jarum pendeknya, aku tahu: “Ternyata tak ada siapa pun yang melukai hatimu. Dan tak ada siapa pun yang meremehkanmu.”
“Lalu, mengapa, mengapa, mengapa kau tak datang?” Udara pun terasa tersingkap. Seekor ular mendesis di balik meja. Dan dengan pelan, seperti meloloskan seragamnya, ular itu pun meloloskan kulitnya. Ada lendir, serbuk sisik dan remah-remah darah tertabur. Dan ada juga bayanganku yang tiba-tiba merunduk, mencium bibir ular itu. Seterusnya, sekian racun lidah ular itu pun membekas di mulutku. Seperti sebuah tato yang demikian indah dan menggemaskan.
Dan sejak itu, aku tahu, kau memang tak mau datang. Tak mau menyelipkan surat. Dan tak mau mengendap dan mengintip. Sampai suatu ketika, seperti ular, aku pun meloloskan seragamku, meloloskan kulitku. Dan bibirku yang bertato pun dicium oleh sebentuk bayangan yang muncul dari rengatan tembok: “Aku akan mengganti dia yang tak datang lagi. Dan aku akan selalu menemani umurmu sepanjang-panjangnya,” bisik bayangan itu.
“Lalu, kini lupakah aku padamu? Ah, selalu saja, aku merasa selalu ada yang hilang di luaran!”
(Gresik, 2006)