Teguh Winarsho A.S.
lampungpost.com
SETIAP malam perempuan itu menangis di tengah lapangan. Ia menangis ketika orang-orang sudah lelap tidur. Ketika kampung telah menjadi begitu senyap seperti liang kubur. Suara tangis perempuan itu terdengar keras, melengking, seperti leher angsa digorok. Seperti denyit roda kereta api saat berhenti mendadak. Pekak, ngilu, menyayat, menggetarkan tubuh, membuat hatimu teriris-iris. Perempuan itu terus menangis hingga subuh datang bersama kabut. Bersama embun dan daun gugur. Lalu, sebelum matahari benar-benar rekah perempuan itu tiba-tiba lenyap.
Air mata yang tumpah dari mata perempuan itu membuat tanah tempatnya berdiri becek, basah. Seperti habis gerimis atau hujan. Bahkan, kadang tampak genangan air seperti kolam. Entah berapa banyak air mata yang tumpah setiap kali perempuan itu menangis. Lama-lama tanah tergerus kian dalam. Mungkin saat menangis perempuan itu terus menjejak-jejakkan kakinya membuat lubang. Meski panas terik, tapi tanah itu tetap basah. Sebab, malamnya perempuan itu kembali datang menangis. Membuat tanah itu semakin basah dan berlubang. Kian dalam.
Tak ada yang tahu di mana perempuan itu tinggal. Orang-orang kampung tak ada yang mengenalinya. Tak ada yang mengaku pernah menjadi teman, kerabat, tetangga atau saudara. Perempuan itu seperti siluman yang bisa muncul dari balik gelap. Dari balik rimbun pohon dan semak. Dari balik tembok atau kaca. Belum pernah ada orang yang bisa mengintai kedatangannya. Meski menunggu berjam-jam dan mata terus melotot, mereka selalu kecewa mendapati perempuan itu tiba-tiba telah berdiri di tengah lapangan dan mulai menangis. Menangis dengan suara keras, melengking, seperti leher angsa digorok.
Bukan sekali dua kali orang-orang kampung berusaha mengusir perempuan itu. Tapi, usaha yang mereka lakukan selalu gagal. Dari cara halus sampai kasar. Dari merayu memberi makan, pakaian, perhiasan imitasi hingga menggertak dan melotot. Perempuan itu tetap berdiri kokoh di tengah lapangan dan terus menangis. Ia, bahkan juga tak beranjak pergi selangkah pun ketika anak-anak muda mulai menakut-nakutinya dengan ular, tikus, dan anjing. Orang-orang kampung mulai kehabisan akal. Tapi, membiarkan perempuan itu terus menangis sama saja dengan menyiksa diri sendiri.
Lalu, kabar itu mulai berkembang dari mulut ke mulut. Entah mulut siapa yang pertama kali meniupkannya. Begini kisahnya:
Perempuan itu bernama Lara. Ia patah hati ditinggal pergi kekasihnya. Seorang laki-laki kaya yang hampir setiap malam menjemputnya mengajak jalan-jalan. Tentu, Lara telah memberikan segalanya pada laki-laki itu. Ia mencintai laki-laki itu melebihi apa pun di dunia ini. Cintanya tulus dan suci. Tapi, suatu hari diam-diam laki-laki itu juga mengajak jalan perempuan lain di malam-malam lain. Perempuan itu bernama Sati. Awalnya Lara tak tahu. Ia hanya merasa heran laki-laki itu mulai jarang datang ke rumah mengajak jalan-jalan.
Tapi, rasa heran itu hanya ia pendam sendiri. Ia tak mau menceritakan pada orangtuanya. Apalagi ia tahu sejak awal kedua orangtuanya tak setuju ia berpacaran dengan laki-laki kaya itu. Ia juga tak mau mengatakan pada laki-laki kaya itu takut menyakiti hatinya. Ia tak mau membuat laki-laki kaya itu marah sehingga justru pergi meninggalkan dirinya. Ia mencintai laki-laki kaya itu melebihi apa pun di dunia ini. Ia mau melakukan apa saja agar selalu bisa bersama dengan laki-laki kaya itu.
Tapi, laki-laki kaya itu semakin hari semakin intim dengan Sati. Mereka sering pergi jalan-jalan. Bahkan, kadang menginap di suatu tempat selama beberapa hari. Sati sangat mencintai laki-laki kaya itu. Di matanya laki-laki kaya itu sangat sempurna. Ia sering tersanjung saat laki-laki kaya itu datang membawa bunga ke rumahnya. Juga saat memberi kejutan-kejutan kecil, kado atau ciuman. Sati tak mau kehilangan laki-laki kaya itu.
Suatu hari Lara memergoki laki-laki kaya itu tengah bermesraan dengan Sati. Lara marah. Murka. Histeris. Tapi sedikit pun laki-laki kaya itu tak tersulut amarah Lara. Laki-laki itu tetap tenang.
“Kenapa kamu marah-marah? Apa maksudmu?” tanya laki-laki kaya itu datar.
“Kamu jahat! Kamu kejam!” ucap Lara jijik menuding-nuding wajah laki-laki kaya itu.
“Jahat? Aku tak memukulmu.”
“Kamu mengkhianati cintaku!”
“Kita belum terikat pernikahan. Aku bebas menentukan pilihanku sendiri.”
“Setelah semua yang kamu lakukan padaku?!”
“Apakah aku pernah memaksa kamu melakukan sesuatu?!”
“Tapi kamu mengkhianatiku. Aku benci kamu!” Berkata begitu Lara kemudian pergi.
Lara sangat mencintai laki-laki kaya itu. Cintanya tulus dan suci. Ia mau melakukan apa saja agar bisa selalu bersama laki-laki kaya itu. Setelah kejadian itu, Lara suka menangis di kamarnya. Tapi, karena takut ketahuan orangtuanya, Lara kemudian pergi mencari tempat yang aman untuk menangis. Dan, di tengah lapangan itulah Lara menangis setiap malam. Lara berharap jika laki-laki kaya itu melintas di jalan dekat lapangan, laki-laki kaya itu akan segera tahu bahwa dirinya menangis karena tak mau kehilangan dia. Tapi, laki-laki kaya itu tak pernah lewat di jalan dekat lapangan. Laki-laki kaya itu lebih suka mencari jalan lain meski harus memutar dan jaraknya semakin jauh.
Tapi, ah, ternyata ada versi cerita lain lagi yang juga beredar dari mulut ke mulut. Entah, mulut siapa yang pertama kali meniupkan. Begini kisahnya:
Laki-laki kaya itu sangat mencintai Lara. Bahkan, ketika Lara ketahuan hamil tiga bulan, laki-laki kaya itu bermaksud menikahi Lara. Tapi, orangtua laki-laki kaya tak mau merestui pernikahan itu seandainya laki-laki kaya itu tetap nekat menikah dengan Lara. Orangtua laki-laki kaya juga tak mau menganggapnya sebagai anak. Laki-laki kaya sedih dan marah. Ia sangat mencintai Lara.
Lara lebih sedih lagi. Ia tak menduga jika hubungannya dengan laki-laki kaya itu akan mendapat tantangan sebesar itu. Dulu ia berpikir laki-laki kaya itu akan melakukan segala cara untuk bisa menikahinya. Ia berpikir, laki-laki kaya itu akan melakukan apa saja demi cintanya dan demi janin di perutnya. Tapi, laki-laki kaya itu tiba-tiba justru menghilang, tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya.
Hingga suatu hari Lara memergoki laki-laki kaya itu tengah bermesraan dengan Sati. Lara marah. Murka. Tapi, laki-laki kaya itu tak terpancing kemarahan Lara.
“Lara, aku bisa apa? Kedua orangtuaku tak merestui hubungan kita.”
“Setelah semua yang kamu lakukan padaku?”
“Kita melakukannya atas dasar cinta. Pernahkah aku memaksamu?”
“Kamu jahat! Kamu kejam!”
“Aku tidak kejam. Aku hanya harus memilih.”
“Kenapa kamu tak memilih aku?!”
“Kedua orangtuaku tak merestui hubungan kita.”
“Kamu pengecut! Kamu mengkhianati cintaku!”
Sejak itu Lara menangis di tengah lapangan. Lara menunggu laki-laki kaya itu lewat di jalan dekat lapangan. Lara dendam dengan laki-laki kaya itu. Ia ingin membunuh laki-laki kaya itu. Tapi, laki-laki kaya itu tak pernah lewat di jalan dekat lapangan. Laki-laki kaya itu memilih memutar mencari jalan lain meski jaraknya berlipat. Laki-laki kaya itu takut bertemu dengan Lara.
Tapi, ah, rupanya lagi-lagi ada cerita versi lain yang beredar dari mulut ke mulut. Entah, mulut siapa yang pertama kali meniupkannya. Begini kisahnya:
Begitu tahu Lara hamil, laki-laki kaya itu suka marah-marah. Memukul dan membentak. Suatu hari laki-laki kaya itu memaksa Lara menggugurkan kandungannya. Awalnya Lara menolak. Tapi laki-laki kaya itu kemudian mengancam akan memutuskan hubungan asmara seandainya Lara tetap tak mau menggugurkan kandungan. Akhirnya demi laki-laki kaya itu, demi cintanya yang tulus dan suci dan pada laki-laki kaya itu, Lara bersedia menggugurkan kandungannya.
Tapi, beberapa hari kemudian laki-laki kaya itu tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Lara kesal, marah, merasa dikhianati. Lara kehilangan bayinya dan juga laki-laki kaya itu. Padahal, ia telah melakukan segalanya demi cintanya pada laki-laki kaya itu. Lara tak tahu ke mana harus mencari laki-laki kaya itu.
Suatu hari Lara memergoki laki-laki kaya itu tengah asyik bermesraan dengan Sati. Lara marah besar, tapi ia tak bisa berkata-kata. Lidahnya terasa kelu, mulutnya susah dibuka. Lara hanya mematung seperti batu.
“Aku sudah tak mencintaimu lagi. Jangan ganggu aku!” kata laki-laki kaya itu wajahnya merah menahan amarah.
Sambil menangis terisak Lara pergi meninggalkan laki-laki kaya itu. Tapi ia tak pulang ke rumah. Ia pergi ke tengah lapangan melanjutkan tangisnya setiap malam. Ia berharap laki-laki kaya itu lewat di jalan dekat lapangan lalu merasa iba. Ia berharap laki-laki kaya itu mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia sangat mencintai laki-laki kaya itu. Cintanya tulus, putih dan suci. Tapi laki-laki kaya itu tak pernah lewat. Laki-laki kaya itu memilih jalan lain meski jaraknya berlipat.
Setiap malam Lara menangis di tengah lapangan. Suara tangisnya terdengar keras, melengking seperti leher angsa digorok. Seperti denyit roda kereta api saat berhenti mendadak. Pekak, ngilu, menyanyat, menggetarkan tubuh, membuat hatimu teriris-iris. Entah sudah berapa banyak air matanya yang tumpah. Tanah tempatnya berdiri sampai basah dan berlubang. Semakin lama lubang itu semakin besar seperti sumur. Lalu, bertambah lebih besar lagi serupa kolam. Bertambah besar lagi. Besar lagi. Hingga suatu kali tiba-tiba berubah menjadi telaga. Airnya jernih hingga ikan-ikan yang berenang di dalamnya bisa terlihat.
***
Kini, sudah hampir lima jam aku duduk di tepi telaga itu. Keindahan telaga selalu membuatku ingin datang dan datang lagi. Apalagi di usiaku yang sudah tua ini, kukira aku memang harus banyak melihat hal-hal indah yang ada di dunia ini. Uangku yang banyak tak akan habis hanya untuk pergi jalan-jalan, apalagi ke telaga yang tak terlalu jauh ini.
Menatap air telaga yang memantul jernih di bawah sana, aku jadi selalu ingat cerita orang-orang kampung tentang asal muasal telaga itu. Benarkah semua cerita-cerita itu? Sebagai orang yang sedikit-sedikit bisa mengarang, kadang aku heran dengan orang-orang kampung yang suka sembarangan mengarang cerita tanpa tahu peristiwa yang sebenarnya. Ah, orang-orang kampung, demi uang lima ribu atau sepuluh ribu, tega mengarang cerita yang kadang tak masuk akal dan hanya membual pada para pengunjung telaga.
Aku masih takjub menatap air telaga yang jernih ketika tiba-tiba kudengar suara perempuan yang sudah sangat kuhapal.
“Hai, kakek tua! Kucari kau ke mana-mana dan selalu kutemukan di sini! Apakah kau masih ingat perempuan itu?”
Itu adalah suara Sati, istriku.
Depok, 2005