Ida Ahdiah
http://www.jawapos.com/
Ibu minta saya membeli bahan kebaya sutra, warna hijau labu siam, di Toko Delhi, langganan nenek. Bahannya polos, tidak boleh ada sulaman sedikit pun. Tanpa ditanya, ibu bercerita jika sudah menyiapkan sulaman yang akan dibuat penyulam langganannya. Di bagian depan kebaya, ia ingin memberi sulaman bunga kenanga kuning muda. Di sepanjang ujung kebaya dan seputar pergelangan tangan akan disulam daun kenanga hijau tua.
”Minta pada Tuan Rahul kualitas kainnya nomor satu dengan harga langganan,” pesan ibu.
Toko tekstil itu milik keturunan India. Tokonya yang kecil dipenuhi gulungan-gulungan kain yang ditata menurut kualitas dan harga. Alat ukurnya menggunakan kayu yang sudah tua, kehitam-hitaman. Selalu ada dupa yang mengepul di dekat meja kasir. Terakhir kali saya ke toko itu bersama nenek semasa ia masih ada.
Seumur hidup, setiap hari nenek mengenakan kebaya. Koleksinya selemari. Bahannya dari katun yang sederhana, beludru, brokat, paris, dan sutra. Setelah menikah, seumur hidupnya, setiap hari ibu juga mengenakan kebaya. Ibu tak keberatan mengenakan kebaya warisan nenek, yang masih bagus karena terpelihara dan dipakai sesekali saja.
Ibu juga seorang penjahit kebaya di kota kabupaten. Pelanggannya istri-istri pejabat kebupaten, anggota DPR, kepala polisi, pemilik hotel, pegawai Pertamina, dan para calon pengantin. Namun, sepanjang karirnya, ibu tak pernah meminta saya secara khusus membeli kain di Toko Delhi.
”Kebaya untuk siapa, Bu?” tanya saya di telepon.
”Untuk pengantin.”
”Mengapa bukan warna putih?”
”Siapa yang mengharuskan kebaya pengantin putih…”
”Tidak pesan kainnya sekalian.”
”Kain sidamuktinya sudah ada.”
”Selendangnya?”
”Aduh, hampir lupa. Tolong belikan juga kain menerawang warna hijau tua. Nanti tinggal diberi sulaman bunga kenanga…”
Semua pesanan ibu itu saya antar pada satu Minggu yang panas. Ibu menyambut saya dengan gembira. Segera ia membuka belanjaan dan mengaku senang, barang yang saya beli sesuai dengan pesanannya. Berulang-ulang ibu memuji kehalusan sutra Tuan Rahul.
”Saroh akan menikah ya, Bu?” tanya saya.
Saroh menemani ibu sehari-hari. Dia sudah kami anggap keluarga sendiri. Ibu sekolahkan dia dari SD hingga lulus sekolah menjahit. Kini Saroh menjadi asisten ibu.
Ibu menggeleng.
”Ada yang pesan kebaya pengantin khusus warna hijau?”
Lama ibu terdiam hingga akhirnya saya terhenyak mendengar ibu berkata, ”Ibu yang akan menikah…”
”Ibu bercanda, kan?”
Namun, saya melihat mata ibu berbinar-binar. Wajah almarhum bapak melintas. Saya gemetar.
Sepeninggal bapak, saya tak pernah mendengar ibu menjalin hubungan dengan lelaki. Waktunya habis untuk mencari uang, untuk sekolah saya dan Ade, adik saya. Kesibukan tak mengurangi kesegaran dan kesehatannya. Di usianya yang 56 tahun, ibu masih tampak ayu dan berwibawa dibalut kain kebaya.
Beberapa kali saya mencandai ibu untuk menikah lagi. Tapi, ibu selalu menjawab, ”Tidak pernah terpikir. Entah kalau nanti…”
Saya diam-diam bahagia mendengar jawabannya. Kini, tiba-tiba tanpa meminta persetujuan dua putrinya, ibu akan menikah. Siapa gerangan lelaki istimewa itu?
”Ibu mengenalnya sejak kamu dan Ade belum lahir,” sambung ibu menambah keterkejutan saya.
”Namanya Udin. Dia seorang bupati. Istrinya meninggal tiga tahun lalu,” ucap ibu lirih.
Nama itu pernah saya dengar dari Bi Uti, adik ibu! Tentu Udin putra tukang becak yang ibu maksud.
***
Bapak adalah guru SMP. Ia meninggal saat saya kelas 3 SMP dan Ade kelas 1 SMP. Pensiunan bapak tak seberapa. Syukur, sejak menikah, ibu menerima jahitan khusus kebaya. Saat itu, hanya ada satu penjahit kebaya di kota, yaitu Encik, istri juragan becak Berdikari. Orang harus menjahitkan jauh-jauh hari sebelum hari H karena panjang antreannya. Salah satu pelanggan Encik adalah nenek. Kebaya pengantin ibu juga buatan Encik.
Ibu belajar menjahit kebaya kepada Encik. Awalnya, keinginan ibu belajar menjahit ditentang keluarga. Sebab, menurut rencana, selulus SMA, ibu akan dinikahkan dengan bapak, putra teman kakek, keturunan keluarga wedana. Ibu berjanji mau menikah setelah belajar menjahit kebaya. Alasannya agar bisa menjahitkan kebaya nenek.
Bi Uti kesal karena harus menunda pernikahannya. Ia tak boleh, dianggap tabu, mendahului ibu menikah. ”Sejak dulu, ibumu itu memang suka cari perkara,” kata Bi Uti suatu saat.
Alasan ibu belajar menjahit, kata Bi Uti, agar bisa bertemu Udin. Pemuda sekelas yang sigap, anak tukang becak. Udin adalah pacar ibu. Selulus SMA, Udin mengambil kursus montir. Sore ia bekerja di bengkel becak Berdikari. Malam hari kadang mengayuh becak menggantikan ayahnya. Cita-cita Udin bukan jadi tukang becak. Cita-citanya sekolah lagi, jadi pegawai negeri, agar bisa menikahi ibu.
”Udin diajari berselera oleh ibumu,” cerita Bi Uti, kali lain, sambil terkekeh-kekeh.
”Maksud Bibi?”
”Diajari menyukai bunga.”
”Bunga apa?”
”Bunga kenanga. Dulu di desa banyak sekali pohon kenanga. Kami suka memetik bunganya. Kami selipkan di baju atau buku untuk pengharum. Udin pernah memberi ibumu satu baskom kenanga.”
”Romantis.”
”Nekat, Udin itu,” Bi Uti tertawa. ”Dia datang ke rumah, melamar ibumu. Keruan saja ditolak mentah-mentah.”
”Ibu bagaimana?”
”Kakek melarang ibumu belajar menjahit lagi. Tiga bulan kemudian, ibumu dinikahkan.”
”Dengan bapak?”
Bi Uti mengangguk dan berkata, ”Ibumu menghilang di malam pertama. Esoknya baru ketahuan kalau dia tidur di kolong ranjang pengantin, ha ha ha…”
Saya pikir itu hanya cerita rekaan Bi Uti belaka. Saya pun tak pernah menanyakan perihal Udin kepada ibu. Apalagi, setahu saya, ibu selalu bertutur dan bersikap baik pada bapak yang pendiam.
Pagi ibu menyiapkan teh manis dan nasi goreng. Jika bapak pulang mengajar, ibu menghentikan pekerjaannya menjahit, menyiapkan bapak makan siang dan menemaninya. Pernah saya melihat ibu menyiangi duri ikan emas untuk bapak. Ibu juga menemani bapak duduk memeriksa hasil pekerjaan murid-muridnya sambil mendengarkan radio BBC London. Sementara ibu menyelesaikan kebaya yang perlu dijahit tangan.
Rutinitas itu tak berubah, kendati sebagai penjahit ibu makin sibuk. Encik melimpahkan sebagian pelanggannya ke ibu hingga ibu mampu menggaji dua orang penjahit. Kesibukannya menjadi-jadi waktu Encik pindah ke Singkawang, menemani orang tuanya yang sudah sepuh.
Sebelum bapak meninggal, sudah berdiri bangunan baru di samping rumah utama. Bangunan itu digunakan untuk kegiatan jahit-menjahit. Bapak mengantar ibu membeli mesin jahit baru dan mesin obras.
Tak pernah bapak berkata kasar. Tak pernah ibu mengeluh. Ketika bapak meninggal, ibu menanam bunga kamboja di samping makamnya. Ibu wanti-wanti kepada saya, paling tidak, berziarah setahun sekali ke makam bapak.
”Bapak itu orangnya sabar, saleh, dan tidak banyak menuntut,” kata ibu sambil menyeka air mata, sepulang dari pemakaman.
Lalu, saya dan Ade menikah, berkeluarga, tinggal berjauhan. Saya tak perlu khawatir karena ibu tak pernah sendirian. Sepanjang siang ibu ditemani empat orang penjahit. Malam ibu ditemani Saroh.
Mungkinkah selama ini ibu kesepian? Mungkinkah diam-diam ibu masih memendam cinta pertamanya? Mungkinkah… bermacam dugaan membuat saya sakit kepala.
***
Seminggu menjelang pernikahan ibu, Bi Uti datang ke rumah saya.
”Kamu harus gagalkan pernikahan ibumu,” katanya tiba-tiba.
Saya terkejut mendengarnya. Menuruti kata hati, saya pun ingin pernikahan ibu tidak terjadi. Tapi, saya tak mau menjadi egois dengan menentangnya. Ibu telah memberi saya kebebasan dalam menentukan cita-cita dan menentukan calon suami.
Saya tatap adik ibu yang tampak lebih tua dari usianya ini. Ia mengenakan kebaya dan kain yang warnanya pudar. Wajahnya tak dipoles make-up sedikit pun. Padahal, dulu bibi selalu tampil wah dengan make-up lengkap. Perhiasan emasnya memenuhi pergelangan, leher, jari, dan telinganya. Tapi, itu tak ada lagi sejak usaha suaminya, Mang Latif, pedagang beras, bangkrut. Tiga tahun lalu, Mang Latif pamit bekerja ke Korea. Sejak setahun lalu, tidak ada lagi kabar beritanya.
Atas bantuan ibu, Bi Uti berjualan makanan di SD dekat rumah. Putranya yang terakhir masih kuliah, membutuhkan biaya banyak. Ibu turun tangan membiayai. Kepada saya, Bi Uti pernah mengatakan menyesal tak menyelesaikan SMA karena ingin cepat menikah dengan bandar beras yang kaya raya. ”Tidak seperti ibumu yang punya keahlian, bisa bantu-bantu mencari uang,” katanya.
Setelah lama terdiam, menganggap usul Bi Uti mengada-ada, saya angkat bicara. ”Ibu dan Pak Bupati saling mencintai. Bi Uti sendiri yang cerita kalau kisah cinta mereka begitu dalam.”
”Ibumu mencintai bapakmu dengan tulus,” sela Bi Uti.
”Tapi, ibu masih suka bunga kenanga,” kata saya emosi.
”Sebelum kenal Udin, ibumu sudah menyukai kenanga. Jangan menduga yang tidak-tidak pada ibumu.”
Saya menghela napas. ”Bupati itu cinta pertama ibu. Cinta yang tak lekang oleh waktu,” ungkap saya.
”Kebetulan mereka bertemu lagi. Kebetulan keduanya sendirian,” sambung saya.
”Saya tak ingin mengecewakan ibu. Saya ingin ibu bahagia di masa tuanya. Saya dan Ade berusaha ikhlas…”
Bi Uti menyodorkan koran ke saya. ”Sudahlah, baca ini! Kau akan bersyukur bisa menggagalkan pernikahan ibumu.”
Berita di koran itu membuat saya terkejut campur gembira. Tapi, saya tak ingin terlampau bersemangat. Bisa saja ibu tak memercayai berita itu. Ibu mungkin ikhlas menerima apa pun yang dialami calon suaminya. Bukankah cinta kadang membutatulikan? Membayangkan itu, saya menggigil. Saya harus menyampaikan berita ini pada ibu. Keputusan selanjutnya terserah ibu.
”Ayo, kita harus menyampaikannya pada ibumu.” Bi Uti menarik lengan saya.
Saya menerima ajakan Bi Uti. Saya tabahkan hati seandainya ibu tetap menikah dengan Udin. Menahan malu. Jadi omongan orang!
Ibu sedang duduk di kursi goyang ketika saya dan Bi Uti tiba. Ia tengah merapikan jahitan kebaya sutra warna hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.
Ketika melihat kami tiba, ibu berkata, ”Kebaya ini harus selesai besok. Kalian lihat, bagus sekali, ya.” Ibu membentangkan kebaya itu.
Saya membayangkan ibu mengenakan kebaya itu. Lalu, bupati duduk di sampingnya, bukan bapak. Lengan Bi Uti mendorong bahu saya, meminta saya segera mengatakannya pada ibu.
”Seorang calon pengantin melihat kebaya ini. Ia menyukainya.”
Saya hendak menyodorkan koran ketika mendengar ibu bicara, ”Ibu bilang padanya, kebaya ini memang cocok untuknya. Ibu baru selesai mengecilkannya. Dia akan mengambilnya besok pagi. Dia mau membelinya dengan harga yang pantas.” Ibu menatap saya dan Bi Uti dengan mata nanar dan senyum getir.
Saya tidak tahan lagi. Saya buang koran yang dari tadi saya pegang. Saya berlari memeluk ibu.
Ibu mengusap-usap rambut saya. ”Ibu sudah tahu. Udin tertangkap tangan menerima uang miliaran dari pengusaha yang ingin meratakan tanah, tempat ayahmu dikubur. Di tanah itu akan dibangun hotel. Nak, Ibu tak akan menikah dengannya…”
Bi Uti menghela napas lega, tersenyum tipis.
Kemudian, ibu berdiri mematut-matut kebaya itu ke tubuhnya. Membawa kebaya ke atas meja dan melipatnya pelan-pelan dengan kepala menunduk. Saya melihat air mata ibu menimpa kebaya pengantin hijau labu siam bersulam bunga kenanga itu.
Biarlah hanya ibu yang tahu untuk bapak atau Udin-kah air mata itu. ***
Cote Vertu – VP Mas, 2007-2008