Muhidin M. Dahlan *
jawapos.com
Bagi para pejalan, hotel mirip stasiun atau pelabuhan yang dikatakan penyair Chairil Anwar sebagai tempat persinggahan yang ”sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan”.
Hotel adalah bagian dari ritus perjalanan di mana tubuh penyinggah termanjakan. Di sini apa saja bisa terjadi. Dari pertemuan bisnis hingga politik (beberapa kali KPK memergoki adegan picisan penyuapan para politisi di lobi atau kamar hotel). Dari pengajian tasawuf untuk kalangan elite hingga pesta striptease yang gila-gilaan. Di dalam hotel, setiap manusia menjadi majikan sesaat. Tubuh dan segala keinginan dilayani dan mendapatkan ”perlindungan” privasi dengan (hanya) sejumlah uang. Hotel pun menjadi penanda status sosial seseorang, sebagaimana kata sastrawan Cicero, ”Jika kau memiliki kebun dan perpustakaan, kau memiliki segala yang kaubutuhkan.”
Tapi hotel juga bisa menjadi sebuah tempat istirah yang melayani dua sekaligus, tubuh dan otak; jika hotel juga perpustakaan (library hotel). Selama ini kampanye aktivis perbukuan bertumpu pada bagaimana menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, mendirikan perpustakaan sebanyak-banyaknya, dan membikin taman bacaan di mana-mana. Kita juga bersyukur sudah ada cafe yang disatukan dengan toko buku dan mall yang ada toko buku di dalamnya.
Tapi yang belum ada adalah hotel yang bersatu dengan perpustakaan. Sebab, selama ini dua gedung ini bukan hanya dipisahkan oleh peruntukannya, tapi juga dipisahkan oleh cara berpikir (modern) kita, dengan pengeculiaan Iwan Simatupang dan John Steinbeck yang melihat hotel sebagai ruang pertapaan mengurus (biografi) diri, eksistensialisme, dan dunia susastra.
Library hotel yang dimaksud di sini bukanlah hotel yang ada ruang perpustakaannya (dengan ruangan khusus). Tapi hotel yang rancang interiornya berpadu dengan buku-buku dan juga pembagian ruangnya.
Bayangkanlah ada sebuah hotel yang setiap lantainya dikelompokkan berdasarkan sistem Dewey Decimal. Ada bidang sosial, bahasa, matematika dan sains, teknologi, seni, sastra, sejarah, pengetahuan umum, filsafat, dan agama. Petunjuk penomorannya pun disesuaikan subkategorinya. Misalnya, lantai delapan atau sastra, kamar-kamarnya dinomori: 800.008 misteri, 800.004 sastra dramatik, 800.003 puisi, dan lain-lain.
Seperti kebanyakan hotel berbintang lain, dekorasi kamarnya mesti dirancang seperti perpustakaan pribadi yang membikin orang betah. Lantainya dilapisi kayu dengan warna kalem sehingga memberikan suasana tenang dan sunyah. Kursi diletakkan di dekat jendela untuk mendapatkan cahaya yang cukup saat membaca. Sebuah rak kecil yang berisi buku-buku sesuai kategori kamar ada di dekatnya. Buku-buku yang disediakan termasuk koleksi-koleksi yang tak umum, langka, penting, dan bukan sekadar buku pengantar tidur sehingga membutuhkan waktu lebih lama dan konsentrasi lebih banyak untuk membacanya.
Di kamar inap yang sama juga terdapat lemari-mini dan televisi berlayar datar dengan koleksi 100 film terbaik yang bisa dipesan di resepsionis. Di dindingnya terdapat rak buku sesuai dengan kategori kamar yang dipesan, seperti puisi, perjalanan, atau erotisme. Hiasan dindingnya berupa kutipan-kutipan buku atau puisi-puisi dari buku-buku penulis terkenal.
Restoran terletak di lantai tersendiri yang dirancang sebagai perpustakaan umum dengan gaya hotel berkelas di mana di sana tersedia aneka makanan dan minuman, koran, majalah, jurnal, dan buku-buku ringan. Dan, pada hari-hari tertentu disediakan wine dan keju di ruang baca.
Jika ada tamu hotel yang berminat pada buku tertentu bisa memesan pada bagian resepsionis atau langsung saja masuk ke toko buku yang terletak tak jauh dari ruang lobi. Pendeknya, hotel jenis ini menyediakan buku, buku, dan buku; mulai dari pintu masuk, lobi, lorong hotel, kamar, toilet, restoran, cafe, hingga fasilitas wisata buku di sekitar hotel.
Adakah hotel yang begini di Indonesia? Cari dicari, tampaknya belum ada. Di New York, USA, ada satu. Terletak di 299 Madison Avenue yang harga sewanya mulai USD 345-525 per hari. Hotel unik ini berdiri di jantung perbukuan. Tak jauh darinya ada perpustakaan umum (NY Public Library) juga beberapa perpustakaan lain yang bertebaran di sekitarnya. Di dekat hotel itu juga ada ratusan toko buku yang menjual buku-buku dengan harga bervariasi, dari yang loakan hingga buku-buku referensi. Ada juga sebuah koloseum buku milik pribadi dengan koleksi unik dan langka yang menyediakan cafe berikut cenderamata bagi pembaca.
Artinya, dalam bisnis perhotelan, ini adalah peluang dengan kategori ”samudera biru”, tanpa satu pun pesaing. Menawarkan alternatif yang tak terpikirkan. Di Indonesia, eksekutif pencinta buku banyak dan segmen pembaca ini belum terlayani dengan baik. Para eksekutif dari kelas menengah ini sampai putus urat leher Anda berseru-seru (dan atau memaki-makinya!) tak bakal mau ke perpustakaan umum (di daerah atau di ibu kota) untuk memperkaya pengetahuannya. Sebab, memang perpustakaan kita dibikin sangat tak menarik, membosankan, dan umumnya jorok.
Saya berpikir, tak perlu mendirikan hotel baru untuk library hotel ini. Cukup memugar beberapa hotel atau bangunan yang berlokasi di jantung kota. Misalnya di Surabaya, Hotel Oranye yang menjadi kawasan paling bersejarah dalam pertempuran 10 November 1945 bisa dimodifikasi menjadi library hotel. Di Jogjakarta, Hotel Mutiara (bangunan dengan desain lama) yang berada di kawasan niaga Malioboro bisa menjadi alternatif yang tepat. Sebab di sepanjang jalan tersibuk itu terdapat juga perpustakaan umum dan tak jauh dari sana terdapat pusat buku.
Di Jakarta, di samping kiri Perpustakaan Nasional ada Hotel Atlantic yang bisa dijadikan percobaan library hotel. Atau di Jalan Veteran, yang merupakan kawasan ”Ring 1” karena di dekat Istana Presiden, terdapat satu-satunya hotel, yakni Hotel Sriwijaya, yang bisa disulap jadi library hotel. Di kota-kota lain tentu masih banyak kawasan yang bisa kita tunjuk, seperti Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar.
Pendirian library hotel ini barangkali menjadi salah satu kampanye diam, tapi efektif, agar kalangan eksekutif (pengusaha, politisi, artis hiburan, dll) yang klimis dan berkantong tebal itu tetap dekat dengan buku. Caranya, ya beri mereka tempat menginap sesaat dan sekaligus menikmati hangatnya dipeluk buku-buku yang sesuai dengan status sosial dan seleranya. Tak hanya itu, library hotel juga menjadi tempat paling nyaman dan mewah bagi para penulis yang sudah berduit untuk menulis novel atau puisi-puisinya.
***
*) Kerani di Indonesia Buku (I:BOEKOE) dan anggota komunitas Kutu Buku Gila (KuBuGil).