Tentang Begawan Ilmu Persimpangan Jalan

http://www.tempo.co.id/
Judul: 75 Tahun M. Alwi Dahlan: Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Juni 2008
Tebal: xvi + 713 halaman
Peresensi: Oktamandjaya Wiguna

Lembar demi lembar buku Communication and Human Behavior karya Brent D. Ruben itu dibolak-balik. Pembacanya tengah mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan seorang dosen yang sedari tadi mencecar satu per satu mahasiswa yang ada di kelas pengantar ilmu komunikasi tersebut.

Sekeras apa pun usaha mencoba menjawab, argumen para mahasiswa biasanya dengan mudah dipatahkan sang dosen. Dialah Profesor Muhammad Alwi Dahlan, PhD. Semua mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia akan memulai kuliahnya di jurusan itu dari kelasnya, termasuk juga saya yang mengikuti kuliah itu pada pertengahan tahun 1999.

Saat pertama masuk, saya langsung mengenalinya sebagai Menteri Penerangan pada kabinet terakhir Presiden Soeharto sebelum lengser. Setelahnya, mahasiswa komunikasi mengenalnya sebagai dosen yang keras dan setiap akhir kuliah selalu menugaskan review buku untuk dibawa pekan depan.

Tapi, melihat seorang Alwi Dahlan hanya sebagai mantan menteri dan dosen seperti itu, boleh dibilang kelewat mengecilkan sosoknya. Itu yang saya rasakan saat melihat lembaran-lembaran riwayat hidup pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 15 Mei 1933, ini yang dikerjakan sekelompok mahasiswa yang diminta membantu penyusunan biografi Alwi.

Pada daftar itu tertulis Alwi menulis skenario dan lirik musik peralihan antarbabak film Harimau Tjampa (1953). Film ini kemudian dianugerahi penghargaan musik terbaik dari Festival Film Asia dan memenangi kategori skenario terbaik Festival Film Indonesia I. Kemenakan tokoh film Indonesia, Usmar Ismail, yang selalu berkemeja lengan panjang dan berkacamata besar ini juga tercatat sebagai penulis cerita pendek dan penulis buku cerita anak.

Rencana awal, buku ini ditulis untuk memperingati ulang tahun Alwi ke-70, tapi batal lantaran Alwi tak jadi pensiun tahun itu. Buku itu baru rampung tahun ini dan dengan judul 75 Tahun M. Alwi Dahlan: Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia.

Sebanyak 62 rekan sejawat dan kenalan menyumbang tulisan. Di jajaran penulis ada wartawan senior Rosihan Anwar, penyair Taufik Ismail, praktisi kehumasan Wisaksono Noeradi, dan mantan menteri yang kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Emil Salim.

Tulisan-tulisan lepas mereka dibagi ke dalam 12 bab mengikuti masing-masing dunia yang pernah ditelusuri oleh Alwi, dari kehidupan pribadi hingga politik dan pemerintahan. Satu per satu menceritakan Alwi yang mereka kenal, dari kehidupan pribadinya, aktivitasnya di pers mahasiswa, hingga ceritanya menjadi pejabat pemerintah. Diceritakan pula bagaimana Alwi menjadi perintis bisnis konsultan komunikasi dan belakangan menjadi salah satu pendiri Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia.

Ada begitu banyak bidang yang dimasuki Alwi, yang dengan tepat menggambarkan sosok manusia yang bergelut dengan ilmu komunikasi. Alwi sendiri mengistilahkan ilmu komunikasi sebagai ilmu persimpangan jalan karena ranah kajiannya bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu.

Tema sentral buku tetap pada peran murid langsung dari bapak ilmu komunikasi Wilbur Schramm ini sebagai akademisi yang mereformasi kurikulum ilmu komunikasi di perguruan tinggi. Profesor yang berkeras bahwa komunikasi intrapersonal atau komunikasi dengan diri sendiri tidak sah secara ilmiah ini memulai karier mengajarnya sebagai tenaga pengajar luar biasa di Universitas Indonesia pada 1969. Hingga ia ikut mendirikan Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi pada 1984.

Meski buku ini bercerita banyak soal sepak terjang Alwi, menyebutnya sekadar biografi guru besar ilmu komunikasi itu agaknya terlalu mengecilkan arti buku ini. Dari berbagai tulisan yang ada, bisa ditelusuri perkembangan dunia komunikasi di Indonesia bahkan sejarah Indonesia umumnya.

Pada Bab Komunikasi Manusia dengan Lingkungannya, ada kisah pendirian kementerian lingkungan hidup ketika menterinya harus kursus kilat soal problema lingkungan hidup dari berbagai pakar lingkungan. Cerita ini juga membuka sejarah kampanye kesadaran lingkungan hidup hingga pembuatan penghargaan Kalpataru dan Adipura.

Menarik juga menelusuri pusingnya Golkar menghadapi pemilihan umum 1981 di Riau setelah kalah di daerah ini dari pesaingnya pada Pemilu 1977. Alwi masuk sebagai konsultan politik bagi Emil Salim, yang menjadi juru kampanye di daerah itu.

Riset dan strategi politik yang dirancang Alwi dalam meraih konstituen terbilang modern untuk masa itu. Strategi kampanye komunikasi yang berbeda di tiap daerah untuk Emil tersebut membuat ciptaan para konsultan politik masa kini terlihat tak lebih canggih ketimbang buatan Alwi 28 tahun lalu.

Latar belakang para penulis yang multidisipliner itulah yang membuat buku ini kaya informasi dan warna. Namun, dari sekian banyak penulis tersebut terselip mereka yang tak terlalu dekat dengan Alwi dan tak mengenal baik karya dan pemikirannya, sehingga kelihatan asyik sendiri menguraikan pemikirannya yang akhirnya terlalu jauh untuk dikaitkan dengan sosok Alwi.

Beberapa tulisan juga mengulang-ulang cerita yang sama atau meminjam istilah yang biasa didengungkan Alwi: redundancy. Ini sebenarnya bisa diatasi dalam proses penyuntingan.

Yang kurang dari buku ini barangkali pemikiran dan sudut pandang Alwi, yang tampaknya enggan menulis soal dirinya sendiri. Tapi mungkin begitulah Alwi. Bahkan dalam kuliah pun ia tak pernah keceplosan bercerita soal pengalaman hidupnya.

Namun, diamnya Alwi, termasuk untuk buku tentang dirinya ini, sebenarnya sudah bercerita banyak soal kepribadiannya. Seperti kata aksioma ilmu komunikasi, we cannot not communicate, manusia tak bisa tak berkomunikasi. Jadi, sekalipun seseorang diam, ia tetap mengkomunikasikan sesuatu kepada sekelilingnya. Mereka yang menangkap pesan itu selama bertahun-tahun kini mengomunikasikannya kembali lewat buku ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *