Beni Setia *
cetak.kompas.com
Struktur kumpulan puisi terakhir Acep Zamzam Noor, Menjadi Penyair Lagi, (Pustaka Azan, 2007), dibangun dua fondasi: “Ada yang Belum Kuucapkan” (AyBK), yang terdiri dari 53 sajak, dan “Menjadi Penyair Lagi” (MPL), yang terdiri dari 38 sajak. Bukanlah satu kebetulan bila kumpulan itu diawali dengan sajak “Setelah Mencintaimu” (dari AyBK) dan diakhiri sajak “Di Malioboro” (dari MPL) yang memang diletakkan di pengujung.
Memang ada dua sajak yang mengawali sajak “Setelah Mencintaimu”. Namun, sajak “Preluda” memang dihadirkan untuk mengartikulasikan kehadiran sebuah sajak sebagai ikon dari sebuah peristiwa yang telah lewat. Asilum untuk menurunkan beban kekinian, retreat, dan bagaimana semua itu ditinjau sebagai liku hidup yang menjadi harta batin, dengan segala suka dan duka yang selesai. Adapun sajak “Lagu Berdua” merupakan proklamasi estetis penulisan kreatif puisi Acep Zamzam Noor.
Ada dua fenomena dalam sajak itu. Fenomena riil pada tiga bait pertama, dan fenomena puitis haiku dalam tiga bait selanjutnya. Kesejajaran teks yang tak beda jauh antara yang ingin diungkapkan, yang ditandai, dan yang mengungkapkannya, sang penanda, merujuk pada pengakuan (kata pengantar) sang penyair kalau ketika itu (April 2007, sebelum kumpulan itu terbit), ia kembali ke pola ungkapan sederhana.
Ungkapan sederhana-sehingga apa yang terkandung dalam teks puisi gampang ditebak-berkaitan dengan intensitas pengalaman, kepekatan empati memaknai kejadian, dan kejernihan perumusan peristiwa yang mengusung diksi yang memiliki gigil bat?n khas puisi lirisjauh dari benturan kejadian yang mendorong rumusan naratif bersifat berita, balada, dan puisi protes sebagaimana yang diisyaratkan dalam sajak “Menjadi Penyair Lagi”. Substansi pola dan metode kreasi sederhana Acep Zamzam Noor ini, dengan jernih ditangkap Mikihiro Moriyama, dan diungkapkannya dalam pengantar yang simbolik memotret suasana pastoral dan guyub insan pedesaan Singaparna, Tasikmalaya. Manifestasi mencintai
Dalam kerangka itu, kita bisa menandai pentingnya kehadiran sajak “Setelah Mencintaimu”, yang bertumpu pada peristiwa perpisahan sepasang kekasih di Stasiun Tugu, Yogyakarta, setelah terjalin saling pengertian. Sebuah perpisahan yang bersifat wajib agar sang penyair yang dikodratkan untuk selalu mencari terra incognita bisa mencari wanita lain. Si anonim yang harus dikenalinya, dan yang akan melahirkan pengalaman mencintai yang tak kesampaian, mencintai yang kesampaian, mencintai yang ditolak, mencintai yang dicampahkan, dan seterusnya. Yang melahirkan lentikan pengalaman otentik yang berasal dari diskursus alamiah dengan yang berkualitas terra incognita.
Satu kreativitas yang bermula dari ingin mengalami yang baru di antara hal-hal yang biasa terjadi dan ada di sekitar kita, tetapi tampil otentik sebagai yang dirasuki dan merasuki batin si bersangkutan sebagai diskursus fenomenologis yang menggetarkan-dalam terminologi Acep Zamzam Noor-membuat bulu kuduk berdiri. Konsepsi dasar yang rumit ini bisa kita jabarkan dengan merujuk satu tulisan rama Sindhunata, tentang pola kreasi seorang Martopangrawit, yang teramat tergantung pada eksistensi pengalaman romantis otentik pracipta, sehingga kita tak bisa membedakan apakah ia Cassanova yang pangrawit atau pangrawit yang playboy (“Martopangrawit, Empu Gending: Perasaan adalah Pangkal Utama dalam Menggubah”, dalam Cikar Bobrok, Penerbit Kanisius dan Bentara Budaya, cetakan VI/2002, halaman 51-57).
Sementara itu, sajak “Di Malioboro” kembali menempatkan sang penyair di Stasiun Tugu. Bedanya, dulu ia naik kereta api untuk pergi ke barat, tetapi kini ia turun dari kereta api yang beranjak ke timur. Sebuah siklus telah genap. Ia kembali menemui kekasih dan mengukuhkan kenyataan-semuanya telah selesai. Telah menjadi berita pada majalah lama, menjadi satu episode catatan sejarah di kata pengantar, Acep Zamzam Noor mengakuinya sebagai, “yang mengingatkan saya pada sejumlah tempat dan peristiwa…sejumlah nama.” Sebuah ziarah puitis yang berperan sebagai ekspresi kesetiaan (sajak “Mei”) atau isyarat ketuaan (sajak “Remang”), yang menandai teramat banyak kepiluan hubungan pria dan wanita.
Goenawan Mohamad berpuisi untuk (atau tentang) mengabadikan sesuatu yang kelak (pasti) retak. Sapardi Djoko Damono (dalam satu sajaknya) merumuskan keikhlasan pengorbanan dan penghancuran (eksistensi) sebagai manifestasi mencintai. Acep Zamzam Noor berpuisi tentang mengekalkan luka sambil mengenangkan yang terindah dari percintaan yang harus buyar meski tidak gagal. Penghukuman diri
Sajak “Menjadi Penyair Lagi”-dengan pembacaan pola sajak “Lagu Berdua”-sebenarnya mengungkap (1) kenangan satu peristiwa percintaan dan (2) rumusan reflektif atas kenangan kuat yang bertumpu pada saat menziarahinya pada masa kini. Ini merupakan teks puisi karena merujuk pada yang ditandai pada masa lalu sehingga (3) hakikat puisi adalah kehadiran (penghadiran) diksi otentik yang memproyeksikan pengalaman masa lalu yang traumatik, tetapi disaring sehingga tidak sekadar lanturan. Maka, bagi Acep Zamzam Noor, bencana alam, peristiwa sosial, dan seterusnya hanya fatamorgana, narasi ilusi lancung tanpa otentisitas pengalaman aku lirik.
Meski sosok Acep Zamzam Noor sebagai manusia dan penyair baur, ia tetap bisa dingin akademik, obyektif memisahkan kebauran itu dan sigap analisis mengerat-ngerat perasaan dan batinnya sendiri, agresif memisahkan aku-manusia, yang mencari terra incognita di mana pun dan kapan pun, dari aku-penyair yang terlena. Peneguhan yang mampu menyebabkan aku-penyair bangkit, dan terjadilah proses penghukuman (diri) yang agresif dan luka-luka itu langsung diempati sehingga pengalaman otentik tersuling.
Sebuah proses penyiksaan diri yang membangkitkan harga diri seperti yang dilakukan seorang samurai yang ber-seppuku dengan pisau pendeknya. Seperti yang diungkapkan Mikihiro Moriyama, “…tidak langsung diekspresikan, tetapi ditahan dan dikiaskan.” Tidaklah mengherankan, kumpulan puisi yang mengerat-ngerat diri ini, setelah dengan amat sadar ia terlebih dahulu mengeluyurkan itu, bisa memenangi KLA 2007 di bidang puisi.
Sebuah anugerah bagi satu pola kreasi yang berpangkal dari pengembaraan dan ditutup dengan upaya dingin agresif menghukum diri secara empatik.
***
*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.