Miranda
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
JEMPUTLAH aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas, malam Sabtu Pahing nanti. Pakailah kemeja hitam kesukaanku yang telah ternoda bekas bibirku. Bawa saputangan polosmu di saku, tapi jangan selipkan telepon selulermu. Malam itu saja, aku ingin memilikimu sendirian. Bersisir yang benar, sebab aku suka mengacaknya, nanti. Tak perlu khawatir, aku selalu membawa sirkam di dalam tasku. Kamu bisa merapikan rambutmu kapan saja.
Kalau kamu datang nanti, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Bu Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.
***
Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Menggigil dan sendirian. Dua belas batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang kedua belas, aku tahu, kau tak muncul malam itu. Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang tamu. Setelah teman-temanku bersijingkat menyelinap masuk kamar dan menari dengan mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu pondokanku.
Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga, di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita akan bertukar pesan. Atau sajak. Sejak kita bertemu dan menjadi pendosa ?begitu kamu menyebut kita?kamu tak pernah alpa. Surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam kardus pakaianku. Sebab rahasia adalah rahasia. Kotak sepatu itu sudah hampir bun?cah?, kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu; sebab sesekali aku tahu kamu masih datang. Ketika aku tak ada.
Ah, kamu tentu belum lupa, Kaci. Ke restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu, kamu biasa membawaku. Aku tahu, aku tak sepantasnya besar kepala, sebab kebanyakan laki-laki hanya ingin mengumbar nafsu, bukan cinta, tetapi aku telah telanjur memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat kencan. Pada pertemuan kita yang ketiga belas. Sebab kamu, Kaci, berbeda dari penambat yang lain. Aku tahu, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Tetapi hatiku. Janjiku.
Tapi kenapa kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah itu, Kaci? Marahkah kamu? Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk mencintai? Kaci, apakah perempuan seperti aku tidak boleh menikah dengan orang yang dicintainya? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu susut; tidak, tepatnya lenyap sama sekali. Pesanmu berhenti menyapaku. Kotak sepatu tua itu urung membengkah. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski ia tahu, dengan wajah yang dipoles natural pun aku tetap primadona Pesanggrahan.
Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Kamu ingat, aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapak dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita?
Maka, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara, Kaci. Setelah itu kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Setelah itu, sedikit orang mungkin datang dan mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.
***
PADA malam yang telah dijanjikan, semua sudah siap. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, Kaci akan datang. Siang-siang tadi, aku bangun lebih awal dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.
?Bu, nanti malam Ibu sama Suryani bisa bantu saya, kan?? cemas mestilah terselip dalam ucapanku, sebab Bu Kus tertawa menggoda sebelum menjawab pertanyaanku.
?Ya bisalah, Dar. Gak usah khawatir. Ya paling nunggu sebentar, kalo Sur pas ada tamu. Tapi apa kamu yakin, dia pasti datang??
Aku mengangguk. Tak ada ragu. Sudah kubeberkan rencanaku pada Bu Kus, teman Mama Tien, sejak lama. Sejak aku memutuskan untuk mencintaimu, Kaci. Ya. Perempuan itu paham, sebab dulu ia sama sepertiku. Ia bukan Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu aku berani bercerita.
?Yang nanti jemput Pak Ma?ruf dari Kalisat siapa, Dar?? pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu mengusikku.
Napasku tercekat ?bukan karena aku lupa mengatur rencana itu? tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantungku. Entah kenapa. Barangkali sebab kedatangan Pak Ma?ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku dengan Kaci, yang membuatku begitu gelisah.
?Sudah Bu,? aku mengangguk, ?Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.?
Setelah mencabut sebatang rokok dari pak milik Suryani yang tergeletak di meja dan menyulutnya, aku berpamitan. Jam dua belas lewat, tengah hari.
?Sur masih tidur, Bu??
Bu Kus mengangguk.
?Kemarin dia melek sampai pukul 04.00.?
?Ya sudah. Salam aja ya.?
Induk semang yang kukunjungi itu melambai. Sejenak, kurasa wajahku merona waktu membalas lambaiannya.
Hangat masih terus tertinggal di pipiku ketika aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel Inna. Aku menggigil. Dingin menyusup dari hutan-hutan pinus yang jauh, seolah memanggilku untuk pulang. Ya. Semua sudah siap, Kaci. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.
Pukul sebelas kurang lima belas, dengan wajah berias dan tas cokelat tak seberapa besar tercangklong di pundak, aku menyelinap lewat pintu belakang, setelah mencium pipi Mama Tien dan berpamitan. Perempuan itu sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tujuh-delapan orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus. Tapi toh ia mengizinkanku pergi, setelah aku berjanji akan membawakannya upeti esok pagi. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam yang kubeli dari Mama Tien seharga Rp 250.000 dalam tas. Menurutku, gaun yang harus kucicil lima kali itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin.
Pukul sebelas tepat aku sudah menunggu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama, kubayangkan apa yang nanti akan terjadi.
Kaci akan menjemputku, dengan sedan 80-an, yang tak bisa dibilang bagus tapi kusukai aroma kabinnya. Setelah itu, aku mengajaknya mampir di toko Pak Sokeh untuk membeli beberapa macam penganan dan minuman. Bukankah malam ini harus dirayakan? Lagipula, pada pukul sekian, Taryo biasanya sedang menunggu ojekan di depan Gang Sono, aku bisa sekalian menjawilnya untuk meminta dia menjemput Pak Ma?ruf.
Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang pada malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, aku mungkin akan meminta Kaci membawaku ke Hotel Surya. Makan jagung bakar dan seseruputan angsle panas. Sebab Restoran Miraza sebentar lagi tutup, dan kebersamaan kami terlampau indah untuk terputus. Kami bisa menunggu di depan Toko Arjuna, dan merokok sambil mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu nggak kangen sama aku? Dan ia akan tersenyum tipis, seraya meremas jariku. Itu isyaratnya kalau sedang ingin menciumku, meski tentu saja kami tidak bisa berciuman di depan umum. Aku minta izin dulu sama orangtuaku, mungkin itu jawabannya; aku tahu ia sedang bercanda sebab ia selalu seperti itu. Tentu saja dia tidak serius.
Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti melihat mobil Kaci, tapi kalau toh benar ia pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Ia mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.
Pada pukul satu, kami akan berkumpul di Gang Bakwan. Di kamar hangat yang telah kupesan dan kubayar lunas. Aku dan Kaci, Bu Kus, Pak Ma?ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, lalu sebentar membaiki riasan yang luntur disapu angin malam. Sementara Bu Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinanku, lengkap dengan buku nikah asli-tapi-palsu yang akan dikirim kemudian.
Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Kamu tentu tidak memerlukan alasan, sebab penjaja cinta seperti aku juga berhak bersuami. Jangan cemas kena penyakit kelamin, sebab aku selalu disiplin meminta para penambat bersarung karet, dan dua kali seminggu pergi suntik ke Puskesmas Pandaan. Kamu juga tak perlu takut, sebab aku tak akan banyak menuntut seperti lazimnya isteri-isteri yang lain. Tentu saja hati kecilku berharap kamu akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, dan kita bisa tinggal di rumah kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi aku tahu itu terlalu muluk-muluk. Aku bukan penganut agama sinetron, yang percaya bahwa keajaiban bisa terjadi berulang kali dalam hidup. Aku tak akan melarangmu menikah lagi dengan perempuan baik-baik, kalau orangtuamu menghendaki demikian. Aku bisa kembali ke Tretes, dan akan baik-baik saja di sini. Tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana, dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Sesekali, kalau kamu merindukanku, kamu boleh datang, dan kita akan punya anak. Sekali lagi, kamu tak perlu khawatir, sebab aku tak akan membawa anak itu datang ke hadapan keluargamu untuk meminta bagian waris. Memiliki darah dagingmu saja sudah cukup buatku. Itu janjiku yang bisa kamu pegang baik-baik.
Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.
***
KALI ini, pada batang kesebelas, aku berhenti. Sebab jika rokok kedua belas selesai diisap, aku harus pergi. Kaci, aku belum ingin pergi. Aku tak percaya kamu tega membiarkanku. Bukankah kamu tidak seperti penambat yang lain?
Tapi ini sudah pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur. Aku mesti merokok untuk menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar. Kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Kaci, aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri membayangkan kamu kecelakaan, atau mati tiba-tiba kena angin duduk. Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam minggu.
Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan. Lebih-lebih, tanpa kamu.
***
DEKAT pukul tiga pagi. Jalanan sepi. Kubuang gaun pengantinku jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Kusulut batang rokok kedua belas sembari tersengal. Malam ini kuputuskan untuk tidak pulang. Sebuah kamar menunggu di Gang Bakwan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi.
Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah Pak Sokeh. Berangkulan, berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.
?Darsih!? si perempuan memanggilku.
Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis.
?Hei. lemu, Sye??
Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki.
Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.
Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.
Kubuang puntung rokok kedua belas yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.