Legenda

Sulaiman Tripa
http://www.lampungpost.com/

DIA sendiri yang meminta dirinya dipanggil dengan Legenda saja. Pak Legenda, lengkapnya. Penarik becak yang stand by di persimpangan tugu. Ada atau tidak ada penumpang, ia tetap berdiam di sana.

Biasanya memang selalu ada orang yang menggunakan jasanya dan minta diantar entah ke mana. Jangkauannya bisa mencapai dua atau tiga kilometer.

Becak Pak Legenda dengan mudah dapat dikenali. Di kanan-kiri depan, terpacak bendera merah putih berukuran besar, mungkin 70 x 40 sentimeter. Padahal, mobil mewah sekalipun hanya memakai bendera kecil yang hanya 10 x 7 sentimeter saja. Demikian juga dengan becak-becak lain, hanya memakai bendera berukuran 20 x 15 sentimeter. Itu pun satu lembar. Bukan dua lembar.

Tanda lainnya dari becak Pak Legenda adalah adanya tulisan L-e-g-e-n-d-a dengan huruf besar, di bodi becaknya. Tulisan itu berwarna kuning keemasan. Dari jauh tampak mengilap dan bercahaya.

Tanda terakhir yang paling unik adalah Pak Legenda memakai klakson di becaknya. Klakson itu mirip dengan yang dipakai mobil-mobil besar.

Mengenai klakson, aku pernah terkejut di dalam becak ketika Pak Legenda membunyikannya. Poemmm.

Pak Legenda tidak bisa melihat jantungku yang bertambah cepat sekejap. Soalnya, ia mengayuh becak dari belakang.

Kukenal bunyi klakson waktu pertama naik becak itu. Sekaligus aku baru saja mengenal Pak Legenda. Ketika aku baru datang ke kota ini, aku perlu kamar indekos.

Dari tempat pendaftaran kuliah, aku dikasih tahu seorang satpam untuk datang ke persimpangan tugu dan mencari Pak Legenda yang memiliki becak Legenda. Sebenarnya tak susah mencarinya. Hanya saja aku belum tahu letak persimpangan tugu.

Begitu selesai pendaftaran ulang, aku segera keluar kampus dan mencari persimpangan tugu. Dan sejak dari pintu gerbang, aku bingung karena begitu banyak jalan. Lalu aku putuskan untuk makan soto sapi di depan gerbang kampus.

Dari penjual bakso, aku juga disuruh tanya ke Pak Legenda.
“Di sana,” penjual bakso menunjuk ujung lorong, “Mentok, belok kanan, pasti terlihat tugu.”

Aku singgah ke warung soto bukan karena sekadar ingin bertanya. Aku memang sudah lapar. Waktu menunjukan pukul 09.30 pagi. Bayangkan, dari bangun jam 04.00 untuk salat subuh. Lebih dari lima jam belum makan atau minum apa-apa.

Waktu makan, aku juga punya kepentingan lain. Aku tanyakan kamar indekos. Dan jawabannya adalah Pak Legenda.

“Di mana?”
“Di persimpangan tugu.”
“Di mana itu? Maaf Mbak, aku orang baru.”

Lalu ia menunjuk ke sana.
Aku segera selesaikan makan. Begitu selesai, aku bayar, terus aku ikuti lorong itu hingga ke ujung. Sampai mentok. Lalu aku belok kanan, lewat jalan yang kanan kiri penuh kotak kamar.

Dari jauh, sudah kutemukan tugu mini, yang di atasnya ditancap bambu runcing dengan warna merah putih. Tugu itu persis di tengah bundaran yang juga mini. Mungkin sedan saja tidak bisa melingkari bundaran itu.

Aku terus berjalan hingga benar-benar mendekat. Dengan mudah aku menemukan beca dengan tulisan L-e-g-e-n-d-a.

“Pak Legenda!”
Ia memandang ke arahku, sekilas. Hanya sekilas.
“Yuk, naik!”

Sejenak, aku heran. Ada apa ini, pikirku. Kita tanyakan benarkah ia Pak Legenda, ia langsung bilang: Yuk naik!

“Kamu mau yang seperti apa?” ia membuka pembicaraan. Aku sendiri mendengar dengusan napasnya. Mungkin ketika mulai mendayung, terasa berat. Ia sudah tua. Orangnya kecil. Pakaiannya seperti anak muda.

“Maksud Pak Legenda?” aku belum mengerti apa yang ditanyakannya.
“Kamu untuk apa mencariku?”
“Tadi saya dapat kabar dari sana untuk menanyakan Pak Legenda.”
“Ya, tapi kamu mau yang seperti apa?” potongnya, masih dengan napas yang terengah.
“Saya tak ngerti.”
“Trus mencariku untuk apa?”
“Mau menanyakan rumah. Maksudku kamar sewa.”

Baru aku mengerti pertanyaannya. Padahal, kalau di tempat asal saya selalu ada penjelasan dulu menanyakan sesuatu. Tapi mungkin ia sudah berhadapan dengan banyak pencari kamar, pikirku.

“Mau yang seperti apa?”
“Apa memang ada pilihan?”

Eeit. Bunyi rem. Pak Legenda menghentikan becaknya di depan sebuah rumah besar tiga lantai. Dengan jelas terlihat petak-petak kamarnya, bersusun.

“Semuanya sudah komplit. Kamar mandi di dalam kamar. Cuci baju gratis. Sarapan sudah tersedia. Kamu hanya perlu menyediakan satu juta setengah per bulan. Kamu tidak akan sibuk lagi.”

Aku menarik napas.

Pak Legenda naik lagi ke becaknya, ia mengayuh lagi. Ia seperti sudah tidak perlu penjelasan begitu melihatku menarik napas dalam.

Kami masuk kawasan pinggiran yang kanan kiri jalan ada saluran air yang tidak bersih. Saluran itu hanya digali. Di pinggirnya bertumpuh sampah. Kotoran manusia juga terlihat beberapa tumpuk dari pinggir aliran air got yang tak begitu deras.

Beberapa kali Pak Legenda harus menepikan becaknya karena ada orang yang lewat. Kulihat orang-orang di sana menegurnya. Dengan jelas mereka menyebut nama Pak Legenda. Artinya, ia sudah sering ke sini, pikirku.

Becak Pak Legenda memasuki lorong-lorong kecil dan benar-benar baru pertama ini kulihat. Aku sering membuang pandang karena melihat orang-orang yang buang hajat dipinggir jalan. Tidak peduli orang yang lalu lalang.

Eeit. Bunyi rem becak Pak Legenda.
“Di sini tiga puluh ribu sebulan. Air untuk sekali mandi dalam sehari, tak ada kakus.”
“Jadi kalau buang hajat bagaimana?”
Pak Legenda tidak menjawab. Matanya memandang ke arahku.

Di depan kami melintas pengangkut sampah yang menebar bau yang menyengat. Aku menutup hidung.

Aku memilih naik lagi ke becak.
Pak Legenda kembali memutar becaknya. Ia kembali mengayuh. Ia menelusuri kawasan di sebelahnya. Kawasan ini juga kumuh, dan aku melihat banyak orang yang sedang buang hajat di saluran kecil yang mengalir air ke kampung sebelah.

“Air ini dipakai orang juga, Pak?”
“Ya, untuk semuanya, ya mencuci, ya mandi.”

Aku bisa melihat di dalam saluran mengapung-ngapung kotoran manusia, bahkan bulu-bulu ayam. Pak Legenda mungkin tak memperhatikan aku sedang melihat kanan kiri air yang mengalir.

Pak Legenda terus saja mengayuh becaknya. Beberapa orang memberi kode jari tangan yang dilingkar.

“Apa artinya?” tanyaku.
“Penuh!”
“Bisa penuh juga ya lokasi ini?”
“Apa?”
“Lokasi seperti ini, bisa penuh juga ya?”
“Di sini tiga puluh ribu.”

Becak Pak Legenda mengarah ke Jalan Abduh, lalu melewati Jalan Normal, sampai ke Jalan Sentral.

“Lha, kita ke mana, Pak?”
“Mengantarmu!”

Dalam hati, aku bertanya, kok tahu dia wisma tempatku menginap. Persis. Melewati gedung kesenian, ia belokkan becak ke halaman Wisma Sutra. Di sini aku berdiam untuk dua tiga malam sampai menemukan kamar indekos.

“Tak usah heran. Yang mencariku pasti nginap-nya di sini.”

Aku tak berkata apa-apa. Di sini memang murah. Semalam hanya 30 ribu rupiah, dengan dua ranjang plus kasur yang sepertinya jarang dicuci. Bahkan, sebelum AC dinyalakan, aku mencium bau pesing yang sangat kental. Di sudut-sudut lantai puntung rokok berserakan.

Bagaimana bisa penghuni wisma membuang air kecil di mana-mana, pikirku. Atau ini seperti orang yang sedang berfantasi, melihat pasangannya yang sedang buang air kecil, pikirku lagi.

Entahlah.

“Aku balik, besok kuambil barangmu.”
“Berapa, Pak?”
“Terserah kamu.”
“Kok terserah saya. Bagaimana Bapak bisa makan kalau begitu?”
“Ah, makan itu kan tak ditentukan oleh kata terserah!”
“Bapak tidak makan?”
“Makan juga, tapi kata terserah tak mengurangi jatah makanku.”

Kuambil selembar 50 ribu dan kukasih ke tangannya.
“Kurang lebih, Pak ya, maaf lho!”

Ia memasukkan uang ke sakunya. Tanpa dilihat. Dilirik pun tidak.
Segera ia mengayuh becak, membelah jalan sentral sampai hilang dari pandangan mata. Aku kembali masuk ke kamar wisma yang membuatku tak bisa makan. Aku hampir muntah berkali-kali dengan baunya. Bahkan di dinding bertuliskan kata-kata seronok, bergambar alat-alat kelamin dengan tinta pulpen.

Malam itu, aku benar-benar tidak bisa tidur. Baunya itu, membuatku tak bisa memejamkan mata.

Begitu azan subuh tiba, aku bangun mengambil wudu. Koran yang kubeli sudah kususun di lantai, di atasnya kugelar sajadah.

Tak berapa lama, Pak Legenda menjemputku. Kami membawa semua barang. Ia menghentikan becaknya di depan warung makan. Kami berdua makan, lalu menuju rumah di samping jembatan.

Semua barang dimasukkan ke kamar.
“Inilah kamarmu!”

Dindingnya beton yang sudah mulai terkelupas. Pintunya dari tripleks. Ada satu lemari, satu meja, satu kursi, satu kasur, satu bantal. Kamar persis di depan pintu. Kakus berada di belakang.

Aku memberi 20 ribu untuk Pak Legenda.

“Aku pamit!”
“Ya, Pak, terima kasih ya.”

Aku langsung merebahkan badan di kasur yang sedikit padat. Mataku langsung terpejam. “Kamu harus jaga pintu kamar, jangan lupa menguncinya!”

Tiba-tiba aku terjaga menyaksikan pintu kamar sedang terbuka. Aku mimpi, pikirku, syukurlah. Lalu kulihat barang-barangku sudah tidak ada lagi.

(Banda Aceh)

Leave a Reply

Bahasa ยป