Puisi-Puisi Binhad Nurrohmat

http://jurnalnasional.com/
Makan Malam Lima Pengarang di Busan

Mereka menyimpan bahasa yang berbeda dalam tubuhnya
dan rasa lapar menyatukan mereka di sebuah meja makan.
Semerbak Asia, Arab, Eropa, Afrika, dan Amerika Selatan
larut bersama denting mangkok, sumpit, dan garpu logam.
Binhad, Ines, Zhamby, Andres Solano, dan Adania Shibli
menyantap hidangan yang sama seakrab lima orang saudara.
Mereka saling bicara dengan kosakata dan tatabahasa asing
yang didapat dari bangku sekolah di negeri masing-masing.
Lidah mereka bermain drama sambil beradu gelas minuman
tanpa bisa menyembunyikan aroma muasal bangsa mereka.

?By the way, Binhad tak makan daging babi
tapi Andres gentar melahap cabe pedas ini.
Apakah ini yang membuat pengarang Asia
sulit menggondol Hadiah Nobel Sastra??

?Listen to me my dear all friends.
Hadiah Nobel terlalu murah harganya
dibanding emas dan lada kami yang pernah dijarah orang Eropa.
Hadiah sastra dunia tak bakal bisa melunasi hutang mereka.?

Tubuh mereka melingkari meja makan dengan kelakar riang
hingga lupa paspor yang tersembunyi dalam saku celananya.
Mereka menguasai meja makan dengan gairah penaklukan
dan menikmati kunyahan dengan perasaan paling merdeka.
Masa silam mengalir dalam darah mereka yang harum anggur
membuat kata kerap sulit dipercaya malam itu tapi menghibur.
Tak ada dentuman bom atau meja perundingan yang tegang
ketika membincang ukuran payudara dan percintaan penyair.
Hasrat mereka tak mengenal batas politik, ras, dan kebudayaan
seintim jabat tangan mereka yang hangat dan menyenangkan.

?Dear all authors, love across the universe.
Neruda pernah bercinta dengan perempuan asing di Batavia.
Barangkali itu jadi sumber ilham menulis sajak-sajaknya
sehingga dia bisa menerima Hadiah Nobel Sastra.?

?That?s a good idea, man.
Malam ini kita bersama para perempuan pengarang
yang bukan sekadar perempuan asing yang suka boros belanja.
Apakah kita melampaui Neruda setelah bercinta dengan mereka??

Segala yang dingin menjadi hangat dalam girang kebersamaan
dan bahasa dalam tubuh mereka terasa bangkit namun tertahan.
Mata mereka tampak merahasiakan sesuatu yang ingin dikatakan
serapat perasaan yang indah diucapkan dalam saat-saat yang lain.
Penyair dari Asia tampak asyik menulis sesuatu di selembar tisu
— barangkali puisi atau surat cinta untuk salah satu dari mereka.
Lalu sajian penutup datang dengan aroma yang sulit terlupakan
dan seketika merangsang kelenjar mereka sesedap gelora ilham.
Ketika sisa kerakusan tubuh mereka terserak di atas meja makan
mereka bercanda tentang Amerika yang suka mengirim senapan.

Sharapova

Rambutmu yang pirang menyihir kata-kataku seketika girang
dan sekujurku yang telentang malas di ranjang terbangkitkan.
Bukan lantaran ancaman runcing anggar dan bidikan senapan
tiada cintaku bagimu sekasmaran Pushkin kepada istri orang.
Dalam tiap aroma vodka dan kaviar segar yang mendebarkan
kupancangkan pal tapal batas perasaan yang membahayakan.
Hasratku padamu terlunaskan lewat puisi pujangga negerimu
dan kau jadi jantung mimpi yang memompa darah kenyataan.
Atas nama cinta dan untuk penindasan di pengasingan Siberia
kukirim pendar sajakku dari bara Selatan yang hangat tropika.

?Ingin kuteriakkan padamu gairahku terbakar bukan untukmu
supaya aku jadi musuhmu yang menyala sepanjang hidupmu.?

Peluh membasahi bugar bahumu yang terbakar kobar matahari
membangunkan mimpi yang lama tidur dalam ketiak umurku.
Aku terkesima tanpa ingin mengingat asin keringat percintaan
selain membaca lagi roman perang dari desa Yasnaya Polyana.
Aroma tubuhmu lembut menyelusup ke relung angin kemarau
membujuk sekujur angan-angan yang tergeletak mati di Gulag.
Binatang hasrat merontakan pendaman impian dalam aortaku
dan liar menerkam tiupan gusar musim dingin di luar Kremlin.
Aku bukan jelmaan Rasputin dari pedalaman negeri kepulauan
atau bedil tentara Bolshevik yang mengakhiri Nikolai Gumilev.

?Ingin kucakar pundakku dengan kukumu yang merah jambu
supaya aku tak mengerti kau tak rela menerima ketakutanku.?

Sekujur lenganmu yang hangat dan kukuh menyambut dunia
menciptakan kejadian yang tak terduga dan memerangahkan.
Kau sungguh mengerti atau sama sekali tak pernah menduga
peristiwa cuma tiruan cinta yang lahir di luar pagar wasangka.
Jelaga Chernobyl tak mencemarkan kemurnianmu yang sahaja
menghisap siuran waktu ke lekuk sekujurmu yang segar susu.
Kutatap masa depan mengalir di lorong ototmu yang kebiruan
di balik kulitmu yang tak pernah bisa berdusta pada gairahmu.
Aku sering bercermin di situ serta kepayang menatap wajahku
yang begitu brengsek dan sakral dalam selimut kata-kata binal.

?Kauusap keberanianku yang gentar pada sorot mata kenyataan
seteguh kibasan lenganmu menyongsong takdir di depanmu.?

Senyumanmu yang riang menerima kemenangan dan kekalahan
membuatmu selalu hadir menjadi tubuh dan gelora yang hidup.
Kau tak ingin ragu pada peristiwa yang pergi serta menemuimu
setiap waktu dan mengendap dalam tubuhmu yang tanpa pintu.
Sepatumu berkejaran di atas bumi renta yang panas bersamamu
memburu dan menghadang nasib yang berlesatan dalam angin.
Kaulihat tubuhmu sesudah bercinta dan menemukan mata sajak
menguntit binar kebajikan yang tak henti dinistakan kepalsuan.
Di Gorky Park nafasmu menghangatkan udara Rusia yang beku
dan mencibir kelebat hantu Lenin dan Trotsky yang mengerikan.

?Kau menampikku menipu waktu yang terlumur kegamangan
seperti tubuh manusia terselangkupi maknanya dalam dusta.?

Pinggangmu begitu sempurna merahasiakan rengkuhan mesra
yang dulu penuh debar menjamahkan cinta dan menguasaimu.
Ingin kupelukkan sajakku di situ dan aku tahu itu tak bijaksana
karena kehangatanmu bakal menerima tanpa lagi melepasnya.
Kebebasan ingin kuberikan dan kudapatkan tanpa menyentuh
apapun yang akan membuatku tak pernah bisa melupakannya.
Aku tak kuasa perkasa menghadapimu dengan keseluruhanku
maka ada yang kutelanjangi serta kusimpan dalam sekujurku.
Aku bukan Karl Marx yang hendak membakar impian proletar
dan berterus-terang memijarkan kembali harapan yang pudar.

?Ingin selalu kubilang padamu perasaanku menjadi mata belati
yang kusemayamkan dalam sarungnya dan kusimpan di saku.?

Deburan jantungmu menggetarkan tembok perbatasan hayalan
mendesakku merasakan teduh matamu menyala dan berkobar.
Telinga kata-kataku mendengar hamburan kemarahan cintamu
melabrak sajak yang bergejolak menahanmu di sebentang jarak.
Di Lapangan Merah ada jejak revolusi yang berisik di masa lalu
yang hiruknya tak tersingkir oleh kesibukanku memikirkanmu.
Tapi aku cuma sebatas mengingat ingatan yang kuingin darimu
dan telah kucukupkan semua itu dengan seluruh keteguhanku.
Aku tak ingin ragu saat bangkit keraguanku akan kupadamkan
serta kukaramkan bersama bangkai kapal selam di Laut Hitam.

?Aku telah bersalah padamu demi keyakinan yang kuhunuskan
dan kutujahkan ke dadaku bila tatapanmu menggoyahkanku.?

Leave a Reply

Bahasa ยป