Grathia Pitaloka
jurnalnasional.com
Perkembangan sastra Indonesia mutakhir, diramaikan oleh semakin maraknya sastra cyber.
Dunia sastra kerap kali ditempatkan sebagai sesuatu yang sakral dan hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu. Menulis sastra diibaratkan seperti seorang empu yang tengah menempa keris sakti mandra guna, tidak sederhana dan melewati ritus-ritus khusus.
Namun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seketika menggunting pandangan itu. Kehadiran internet yang semakin semarak dalam sepuluh tahun terakhir telah menciptakan sebuah fenomena baru berupa sastra cyber.
Coba saja telusuri dengan mesin pengunduh Google, dengan mudah ditemukan segala macam hal yang berkaitan dengan sastra, entah itu berupa puisi, cerpen atau esai. Fenomena sastra cyber juga semakin diperkuat dengan hadirnya situs-situs yang memberikan wadah untuk berekspresi secara cuma-cuma seperti Blogspot, WordPress, Friendster, dan Facebook.
Dan dalam waktu seketika dunia cyber pun melunturkan tembok anggapan bahwa sastra hanya milik orang-orang yang telah dibaptis sebagai sastrawan. Sastra pun menjelma dalam wujud yang lebih cair dan membumi. Maka tak heran dalam waktu singkat banyak orang dengan berbagai macam latar belakang, berbondong-bondong ambil andil, mulai dari mahasiswa, karyawan hingga pembantu rumah tangga.
Perkembangan sastra cyber yang begitu pesat melumat sekat-sekat batas. Tidak ada kasta, semuanya berada dalam satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah. “Seseorang dengan mudah dapat mengakses penulis favoritnya dan bukan tidak mungkin penulis itu juga akan mampir ke blog dia,” kata cerpenis Eka Kurniawan kepada Jurnal Nasional, Rabu (4/2).
Eka mengatakan, kebebasan dan kesetaraan yang ditawarkan dunia cyber dapat menumbuhkan kepercayaan diri seseorang untuk menulis. Tentu saja hal tersebut ikut merangsang terciptanya budaya menulis di Indonesia.
Ruang Terbuka
Tentu sastra cyber bukan semata-mata memindahkan tulisan sastra di koran atau majalah ke media cyber. Dunia cyber memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh media lain seperti bunyi atau gerak. “Kelebihan-kelebihan itu yang kemudian harus dipertajam untuk membedakan sastra cyber dengan sastra lainnya,” kata Eka.
Eksperimen bentuk penulisan sastra di dunia cyber pernah dilakukan oleh Eka di blog pribadinya www.ekakurniawan.com. Dengan menggunakan program khusus Eka membuat puisi Chairil Anwar berubah bentuk setiap kali hurufnya diklik. “Tentu saja bentuk tersebut tidak dapat dipindahkan ke majalah atau buku,” ujar penulis yang telah menelurkan lima buah buku ini.
Eka menuturkan, salah satu kelebihan sastra cyber adalah memangkas jarak antara penulis dan pembaca. Di media cetak sebuah karya harus melewati tahapan panjang seperti editor dan publisher, maka pada media cyber karya dapat langsung menyapa pembacanya.
Hubungan interaktif seperti ini yang kemudian membuat sastra cyber terasa lebih “hidup” dibanding sastra koran atau majalah. Bila untuk sastra cetak seorang penulis harus menunggu dalam hitungan bulan atau minggu supaya karyanya mendapat respons, maka pada sastra cyber penulis hanya perlu menunggu dalam hitungan detik.
Penyair sekaligus penggiat sastra cyber Saut Situmorang mengatakan, dialog interaktif merupakan sesuatu yang positif bagi perkembangan sastra Indonesia. Masukan-masukan yang didapat dari dialog tersebut dapat menjadi cikal bakal lahirnya bentuk baru. “Dari sanalah sastra cyber dapat memperkaya khazanah sastra Tanah Air,” kata penulis kumpulan sajak saut kecil bicara dengan Tuhan ini.
Selain melahirkan variasi baru, dialog interaktif sekaligus menjadi filter untuk menyaring kualitas tulisan. Harus diakui kemudahan yang diberikan oleh media cyber menghasilkan banyak karya dengan berbagai tingkat kualitas dari yang pantas diacungi jempol hingga yang hanya berupa “sampah”.
Penyair Medy Loekito mengatakan, bila pada media cetak sebuah karya disaring oleh seorang redaktur, maka pada dunia cyber pembaca dari berbagai pelosok dunia akan menjadi redaktur yang menilai kualitas sebuah karya. “Redaktur di dunia cyber terkadang lebih kejam dibanding dengan redaktur di media massa. Mereka tidak segan-segan melontarkan cacian apabila karya tersebut dianggap tidak berkualitas,” kata penulis antologi puisi Jakarta, Senja Hari ini.
Lebih lanjut Medy menuturkan, seperti di media lain dalam dunia cyber juga terdapat seleksi alam di mana hanya karya berkualitas yang dapat bertahan, sementara sisanya akan terbuang begitu saja. “Persaingan di dunia cyber itu tidak mudah karena setiap saat orang bisa memuji maupun memaki. Sehingga tetap saja hanya orang-orang memiliki kualitas yang bisa eksis,” tutur perempuan yang pernah meluncurkan antologi puisi digital, Cyberpuitika.
Secara logika maupun estetika sastra cyber memang berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai.
Logika dalam dunia cyber menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. “Di dunia cyber pembaca benar-benar memiliki kekuatan mutlak untuk memilih dan menilai,” kata Eka.
Tidak hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia, maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.
Lebih jauh maraknya tulisan sastra di internet juga memberikan dampak positif bagi otonomi konten dan mengurangi ketergantungan terhadap konten berbahasa asing. “Ini merupakan sesuatu yang penting mengingat rata-rata tips atau review di dunia cyber masih menggunakan bahasa asing,” ujar Eka.
Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresi. “Kelebihan yang dimiliki oleh dunia cyber memanjakan para penggunanya,” kata Medy.
Belum Tergantikan
Namun demikian, Eka masih melihat penggunaan cyber sebagai media baru sastra belum maksimal. Menurut Eka, pendapatnya bersandar pada masih minimnya jumlah penulis yang aktif di dunia cyber dan konten di cyber yang tidak jauh berbeda dengan media cetak.
Berkaca pada perkembangan dunia cyber di Amerika yang begitu pesat, sastra cyber di Tanah Air tertinggal jauh. Di negeri Paman Sam tersebut seorang koki bisa menulis tips cara memasak makanan atau seorang desainer yang menulis tips cara berpakaian di blog. “Di Indonesia blog masih digunakan sebagai catatan personal, belum banyak yang melibatkan profesi atau pengetahuan yang dimiliki,” ujar penulis novel Cantik Itu Luka ini.
Ketertinggalan itu tak lepas dari faktor penguasaan tehnologi di Indonesia yang masih rendah. Jaringan internet belum menjangkau seluruh pelosok negeri, bahkan komputer pun menjadi peranti yang belum dikuasai oleh semua elemen masyarakat. “Masih ada beberapa kalangan yang menganggap internet dan komputer sebagai sesuatu yang belum membumi,” tutur Medy.
Oleh sebab itu, Medy berpendapat, maraknya keberadaan sastra cyber dalam satu dekade belakangan belum dapat menggeser keberadaan sastra cetak yang telah ratusan tahun lebih awal. “Ada beberapa kendala teknis yang harus disingkirkan terlebih dulu,” ujar Medy.
Sementara itu Saut melihat bahwa kehadiran sastra cyber bukan untuk membunuh sastra cetak, tetapi memberikan ruang yang lebih luas dan bebas untuk berekspresi. “Dunia cyber menciptakan wadah dan bentuk baru,” kata esais yang tinggal di Yogyakarta ini.
Keterbatasan ruang untuk menggelontorkan ekspresi di media cetak memang menjadi fenomena tersendiri. Untuk koran misalnya, setiap minggu hanya ada satu cerpen dan beberapa puisi yang dapat dimuat. Tentu saja untuk dapat dimuat dan diapresiasi seorang penulis harus menunggu dalam waktu lama.
Belum lagi hambatan senioritas, di mana penulis yang sudah terkenal akan memiliki kesempatan lebih besar untuk dimuat dibandingkan penulis baru. “Bisa saja lantaran saking banyaknya karya yang masuk para redaktur tidak lagi menyeleksi karya berdasarkan kualitas, tetapi berdasarkan nama besar,” ujar Saut.
Hal yang sama juga dihadapi ketika ingin menerbitkan karya berupa buku. Para penerbit lebih memilih karya-karya populer yang akan lebih banyak dibeli oleh masyarakat umum, sedangkan karya sastra yang kualitasnya bagus jarang ditoleh karena sepi pembeli.
Sementara di dunia cyber seseorang bebas menciptakan ruang sendiri untuk menampung karya-karyanya. Biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih murah dan tidak mencekek leher. Para penggiat sastra cyber cukup merogoh biaya sewa komputer di warnet sebesar Rp5.000/ jam.
Tetapi tentu tak bijak rasanya bila hanya memandang sastra cyber sebagai pelarian dari keterbatasan ruang di media cetak. “Saya lebih setuju jika sastra cyber dilihat dari sudut lain, karena cyber dan cetak merupakan dua media yang berbeda,” ujar Eka.
Eka juga tidak sepakat bila maraknya sastra di dunia cyber hanya dipandang sebagai euphoria sesaat. Ia yakin bahwa teknologi cyber akan terus berkembang dan melahirkan bentuk-bentuk baru. “Antara lain jurnalisme warga yang bertutur mengenai cerita sehari-hari, tulisan seperti ini mungkin tidak tertampung di media cetak seperti koran atau majalah,” kata Eka.
***