Harian Kompas
Tiga Biola Juan Gris
(1)
Terbaring di atas talam, ia cembung masih
dengan dawai menegang oleh putih-mutih
lembar lagu yang ditindihnya. Dan sebatang pipa
harum tembakau dan mungkin setandan anggur layu
rajin mengapitnya ketika ia begitu ragu pada ungu
dan coklat yang mestilah miliknya. Di pucuk lehernya
hanya lengkung serupa arabeska hitam sehingga
ia tak akan lagi membusung seperti telur kasuari
tapi membubung seperti udara Magribi di ujung jari.
(2)
Sebagian punggungnya perlahan memipih selagi
dawainya menghilang di antara lipatan linen putih
dan kuning yang memiara dua selongsong semu
sampai papan halma di depannya biru seperti pagi
seperti cerminnya yang baka. Ternyatalah ia berdua
kembar Siam yang gemar menyalin latar muka
dengan belakang sampai hijau tubuhnya hanya
seratus pecahan lingkaran dan segitiga pengabdi
coklat mahoni kertas dinding dan urat kayu meja
saat mata sekadar bermain matra dan permata
saat Partita Bach mesti menyela jingga dan jelaga.
(3)
Tenang seperti kertas Jepang, seakan ia membentang
dari tepi ke tengah. Dawainya sekadar gegaris
pengganda celah antara langit menjelang subuh
dan sebotol tinta yang menunggu tangan pelukis
yang telanjur menyuramkan dua pita merah darah.
Sewarna udara, mestinya ia bisa melerai bebongkah
coklat meja dan kelabu pintu yang berebut putih
tapi terhalang sekeping pilar Korintia yang melayang
di antara biru dan hitam yang ingin bergegas pulang.
Sungguh ia terlalu sabar, sehingga semua celah itu
mengubur si pelukis yang telah menjadikannya
segantang, seperti asap dan kalibut. Tak sadar ia
menyerahkan diri kepada tinta Cina seluas laut
yang kini terkunci leher botol yang seperti lehernya.
(2007)
Perenang Buta
Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.
(2007)
Semangka
Seperti kantung hijau berisi darah
berhenti percaya pada tanah,
seperti bawal betina tak bersarung
menggelincir ke ujung tanjung,
seperti periuk penuh kuah kari
penat sudah oleh bara api,
seperti kandungan delapan bulan
siap tersedak ke batang jantan,
(tak seperti jantung pisang raja,
meski rekah dalam hujan buta)?
begitulah lukisanmu jika kau dahaga
terayun antara putih dan jelaga,
memungut si buah dari dasar malam,
raut tanpa daging tempat terperam
sebaris benih seperti kuku harimau,
sedang lidahmu sekadar terpukau.
(2007)
Mawar Terjauh
Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
aku saputangan matahari.
Jika kau dalam gaun merah,
aku bekas tangan di perutmu.
Tapi kau juga genangan darah,
ketika aku urung mencintaimu.
Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah yang memurnikanmu.
Tumpahkanlah tilas semua dara,
sampai jantungmu serimbun bara.
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.
(2007)
Pengantin Remaja
Aku tak bisa menangis, sebab kulitmu coklat manggis. Kau tak lagi mampu melompat, sebab parasku hampir berkarat. Sesungguhnya sejak kanak aku hanya mengenal bayang- bayangmu: sebab aku penjinak binatang, kau peniti tali. (Ingatlah. Ketika aku mengaum tak henti-henti, kau justru tak hendak kembali. Kau penikmat jurang di bawah sana, aku pemuja langit tinggi.) Sampai para peziarah yang tak tahu malu itu menarik kita ke sepucuk jembatan mawar dan berujar, “Lihat, alangkah sepadan dua kembaran ini.” Seutas tali akar padi liar mereka ikatkan ke kakimu dan kakiku. Di bawah tudung Bimasakti aku menghapus mereka satu demi satu, namun menyisakan sesosok belaka dan mengusirnya ke seberang sungai dan menyebutnya Bapa. Kemudian aku berusaha merindukanmu, meski kau berada di pangkuanku seperti telur yang menggeliat dalam sarangnya sendiri. Kau berkata, “Adam, lekaslah menyusu padaku agar kita segera dewasa.” Dadamu berkilatan tapi hanya berisi angin, aku tahu. Mulailah aku memintal linen atau kain lain (aku tak yakin) agar esok kita berani bercermin. Dan pada lidahmu kulekatkan lidahku supaya kita tak lagi dahaga. “Hawa, jangan berjanji mengasihiku,” aku berseru, sambil mengancam Bapa yang terkelebat di pelupuk matamu.
(2007)
Lonceng Gereja
Kaum musuhku menuntun aku menyanyi
seraya memeluk aneka menara tertinggi
tetapi demi jubah Latin bagi orang mati
aku hanya belajar diam seperti lidah api.
(2006)
Apel
Merah seperti tirai merah,
memar seperti payudaramu,
gundah seperti telur Paskah,
sabar seperti langit biru,
ia berbaring di sisi sebatang lilin.
Di ujung makan malam, meja ini
mengecilkan ia, tapi sungguh si belati
kian silau oleh lengkung perutnya.
Mungkin sebentar lagi akan terluka,
ia berdiri di sisi sebatang lilin.
Seakan kusantap gaunmu panjang
untuk membuat ia telanjang.
Seakan kauasah jemariku pada nyala
untuk melindungi daging putihnya,
lebih putih daripada sebatang lilin.
(2006)
Tukang Kebun
Kau memohon ampun pada tetes hujan
setelah menarik akar ke wajah serambi
sedang aku bersekutu dengan biji-bijian
untuk berani mengecup mulut matahari.
(2006).