Diani Savitri Yahyono
http://www.lampungpost.com/
SIANG itu pekarangan seperti terpanggang. Tiap pucuk daun merunduk layu. Seembusan pun angin tidak berlalu.
Iswari duduk bertekuk kaki di bawah pohon beringin muda di sisi rumah. Kedua tungkai tersembunyi di hamparan rok terusan berhias bunga merah muda. Naung daun yang rimbun di dahan yang tambun menyungkupi diri lesunya dengan sedikit kesejukan.
Kota kecil ini begitu panas terasa di saat kemarau. Terutama sejak hutan damar dan jati yang mengelilinginya dibuka untuk kehadiran pabrik-pabrik gula. Tak pelak, peluh menitik sedari tadi tidak henti, merambat lambat pada leher jenjang Iswari. Ia tidak peduli. Ia hanya seka peluh sesekali dengan kacu bahan mori warna kuning pasi.
Hati dan pikirannya terpusat pada surat yang digenggam lembut kedua tangannya. Temannya bersepeda hampir satu jam perjalanan dari kota lain untuk mengantarkannya.
Aku tahu ini tidak lagi pantas, mengingat kondisimu, kata teman itu, seorang kawan organisasi pergerakan pemudi yang dulu diikutinya, memberi pendahuluan. Tapi aku tidak berhak memutus tali hubungan kalian. Kau harus putuskan akan kau buka atau tidak amplop surat itu, demikian si kawan melanjutkan.
Pada detik itu juga, Iswari tahu ia harus buka. Dan isinya seperti menunggu jawab segera.
Adik terkasih, salam di awal menggetarkan jiwa. Kakak sedang di kotamu.
Ah, Kakak Syahrial.
Laki-laki dari tanah seberang yang hijrah ke Pulau Jawa saat banyak kaum muda tergerak untuk menyusun kekuatan melawan pendudukan. Di tahun-tahun akhir pendudukan Belanda, beberapa gerakan nasional menjadi sigap galang kerja sama, demi mengamati adanya ancaman terletusnya perang negara-negara Pasifik. Pemerintah pendudukan menjadi semakin curiga. Tindakan kian keras kemudian dikenakan pada pemuda pergerakan.
Gerakan politik yang sesungguhnya kian mengakar, lalu mengendur. Meski, tak hilang akal kekuatan pemuda seperti mencari bentuknya sendiri, berubah ujud dengan menggeliatnya perjuangan ekonomi. Beberapa wadah dan tokoh pergerakan mengerahkan upaya demi menguatkan ekonomi rakyat. Seperti juga halnya dengan Kakak. Kakak terlibat dalam gerakan pendayaan karet di Leuwiliang, suatu tanah sejuk di Bogor.
Aku merindukanmu, tulis lelaki itu lagi seperti pilu. Desir angin di antara tegak karet melukai hatiku seperti sembilu.
Dan hatiku, bisik hati Iswari sendu. Pandangnya kabur terbayang air mata saat mengangkat pandang dari tulisan yang bergurat kokoh dan tajam milik Kakak, ke bangunan semen dan batu di hadapannya. Nanap ia mengawasi kekokohannya.
Rumah itu ibarat segala hal tentang Mas Satriyo.
Tegak tidak tergoyahkan, seperti kehidupan yang diciptakan Satriyo. Bentuk dan tiap sudutnya terasa formal, sekaligus banal. Seperti sikap Satriyo terhadap hampir setiap orang yang dikenalnya. Termasuk Iswari.
Rumah itu diperoleh karena jabatan Satriyo sebagai asisten wedana. Halamannya luas, saat sore diisi oleh mobil pribadi yang bawa kembali pemiliknya dari kantor wedana.
Dan betapa ia membenci semua kemapanan itu!
Di mata bening Iswari, sepertinya rumah Satriyo dan segala isinya berbanding terbalik dengan sekitar mereka. Di kota mereka, kalau tidak di setiap penjuru bangsa, sepertinya seluruh warga sudah makan nasi campur jagung. Itu pun cuma dua, kalau tidak satu, kali sehari. Begitu banyak rakyat sudah berbaju karung goni, yang seperti mencakari kulit. Pada saat yang sama, semua pemilikan yang bisa dianggap berlebih, diserahkan pada penguasa saat ini, “saudara tua” bangsanya.
Tapi, suami hasil perjodohan orang tuanya yang baru menikahinya, Raden Mas Satriyo, adalah pejabat pemerintahan pendudukan yang terpercaya seperti ayahnya. Nyatanya, Mas Satriyo-nya tetap dapat jaminan atas kehidupan yang lebih baik dari saudara sebangsanya.
Karenanya, Iswari tidak mampu juga mencintainya. Terutama siang itu.
Iswari berdiri. Tangannya mengepal, surat di genggaman penguat hati. Dirinya sudah bulat niat.
Akan ditinggalkannya rumah kokoh ini. Biarlah Satriyo menikmati kemapanan ini sendiri. Iswari bertekad akan hadapi lagi segala ketidakpastian zaman ini. Sendiri. Kembali ke rumah orang tuanya. Mungkin kembali terjun ke gerakan pemuda dan pemudi. Dan bila langkah nanti menyatukannya lagi dengan Kak Syahrial, maka berarti jelas dengan siapa ia sebenarnya berjodoh.
Belum jauh Iswari melangkah dari tudung teduh beringin muda, sesuatu menghentikan langkahnya. Gemuruh suara dari arah jalan mencekat hatinya.
Kepul debu dahului hampiri jalan di luar pagar batu rumah. Lalu menerobos pekarangan. Sebuah mobil jip bak terbuka dan tiga sepeda motor dengan zijspan muncul dari pudar debu. Keempat kendaraan menyodok begitu dekat ke beranda depan rumah. Derum mesin seperti seketika mati.
Beberapa serdadu Jepang lompat berbarengan dari mobil jip dan sepeda motor. Sebagian dari mereka berteriak-teriak dalam bahasa mereka ke arah Iswari. Kesemuanya berjalan cepat seperti ingin menyerbu Iswari, bergerak dalam kelompok. Begitu dekat dengannya, kerumunan tentara membuka. Salah satunya berteriak dan mendorong ke muka satu sosok yang tadinya tak tampak tertutupi kerumunan. Sosok itu rubuh terduduk sujud. Mas Satriyo.
Baju seragam kantor wedananya camping, beberapa tempat ternoda merah darah. Rambutnya masai, dicemari debu dan pasir. Pandangnya menunduk, seperti mengutuki kedua tangannya yang terikat di depan.
Iswari berlari menghampiri. Surat di tangannya melayang pergi, seperti tidak lagi memiliki arti. Kedua tangan Iswari terentang, hendak merangkul Satriyo. Hatinya berang melihat penghinaan pada lelaki sebangsanya. Lebih dari sakit hati karena lelaki itu adalah suaminya yang terkena siksa.
Langkahnya dihentikan oleh tajam bayonet yang mengarah padanya.
Dan setiap detik waktu lalu seperti berjalan dengan begitu lambat. Iswari merasa waktu tidak akan pernah beranjak lagi.
Lima tentara Jepang mengelilingi Satriyo setengah lingkaran. Setiap mereka meneriakkan kata bernada amarah. Baru terhenti saat satu orang yang tampak lebih tua dari semuanya maju ke depan. Satu tentara lain menarik satu orang lagi yang tersembunyi di belakang kerumunan tentara. Seorang pribumi yang tampak gemetaran.
Tentara tua berkata lantang, sebentar-sebentar berhenti. Pribumi yang gemetaran menerjemahkan di setiap jeda yang disengaja si tentara tua.
Satriyo dituduh sebagai mata-mata Sekutu. Sebagai pengkhianat tentara kerajaan Jepang. Terbongkar, betapa selama ini Satriyo telah menyembunyikan belasan romusa dan tidak menyerahkannya pada pihak yang berwenang.
Suara tentara tua kian lantang. Seperti sengaja, demi melihat puluhan warga yang mengerumun di luar pagar, turut menyaksikan. Pria yang menerjemahkan seperti tidak sanggup mengeraskan suaranya. Matanya turut berkaca-kaca saat berkata, bahwa mereka akan datang lagi, besok. Bahwa Satriyo akan dieksekusi mati, besok pagi, di halaman ini, bila tidak juga mengatakan di mana para romusa tersebut. Bahwa rumah ini akan dijaga semalaman, memastikan Satriyo tidak melarikan diri, sementara dipaksa berpikir untuk membuka pengkhianatannya esok pagi.
Tentara tua meneriakkan sesuatu. Tidak diterjemahkan. Tapi Iswari segera mengerti artinya.
Itu adalah perintah penyiksaan. Bersamaan sekaligus bergantian mereka melakukannya. Menampar wajah Satriyo. Menjambak rambutnya, membuatnya berdiri, agar mudah memukuli dada dan perutnya. Tinggi tegap tubuh Satriyo membuat para serdadu kerepotan menyunggi berdiri. Kepalan tinju dan tendangan sepatu berseteru di tubuhnya yang kian lemah.
Iswari sudah dari tadi terduduk lemas pada tanah berdebu. Matanya jadi muara tangis tanpa suara. Tubuhnya bisa rasakan tiap dera siksa.
Suaminya!
Betapa mulia, ternyata!
Berabad waktu terasa hingga rombongan tentara itu akhirnya tidak lagi memaksa Satriyo berdiri. Berlompatan mereka menaiki jip dan sepeda motor, pribumi penerjemah seperti dihela oleh salah satunya untuk mengikuti naik jip. Warga bertebaran menghindar, lintang pukang ke tempat mereka semula, dihardik para serdadu dalam laju kendara mereka.
Iswari merangkak mendekati tubuh seperti mati Satriyo. Berlinang tangis, didekapnya Satriyo. Tidak hirau akan uluran tangan pembantu-pembantu yang baru berani keluar dari rumah mereka. Kacu mori kuning pasi kini kemerahan dibuat menyeka lelehan darah di sudut bibir Satriyo. Dipeluknya Satriyo begitu erat seperti yang tidak pernah dilakukan Iswari seumur hidup pernikahan muda mereka.
Hanya pada saat itu Satriyo membuka matanya. Di tengah pedih perih wajahnya, tersungging senyum Satriyo penuh cinta. Seperti ingin menenangkan, menguatkan hati Iswari. Seperti yang tidak pernah dilakukan Satriyo seumur hidup pernikahan muda mereka.
Dan mereka tahu, satu malam itu mereka akan hidup seperti selamanya. Menemukan cinta yang belum pernah ada dan mensyukuri adanya mereka di sisi yang lainnya.
Meski keesokan paginya salah satu dari mereka bisa saja tidak lagi bernyawa.