Riadi Ngasiran
http://dutamasyarakat.com/
Setiap bangsa dan kelompok masyarakat, sebagai bagian dari perjalanan perabadannya, memiliki tradisi bersyair atau berpuisi. Karya sastra adalah prestise yang mengikatkan posisi seniman dengan kekuasaan atau suatu kedudukan tertentu dalam masyarakat. Ia hadir dirayakan dalam sebuah perhelatan agung, pembesar sebuah negara.
Dalam tradisi yang dibuai kreativitas tinggi bangsanya itulah, Adonis dilahirkan. Penyair terlahir dengan nama Ali Ahmad Asbar di Al-Qassabin, di utara Suriah pada 1930. Di sebuah lahan pertanian, ia menghabiskan masa-masa kecilnya. Ia baru belajar pada usia 12 tahun dari seorang guru desa. Ia pertama kali menginjak sekolah pada 1947 di Lattakia dan kemudian melanjutkan ke Universitas Suriah di Damaskus dan lulus dalam bidang filsafat pada 1954.
Nama Adonis mulai dipakainya setelah karya-karya sastranya ditolak sejumlah majalah. Baru setahun lulus ia dipenjara selama enam bulan karena menjadi anggota partai radikal pan-Suriah, Partai Nasionalis Sosialis Suriah. Sekeluarnya dari penjara ia tinggal di Beirut, Libanon dan mendirikan majalah Syiir (Syair) bersama sastrawan Suriah-Libanon Yusuf Al-Khal. Seperti juga Qabbani, ia kemudian beralih dari nasionalisme Suriah menjadi penganut Pan Arabisme yang diusung oleh Gamal Abden Nasser. Saat perang saudara Libanon pecah pada 1980-1981, ia pindah ke Prancis dan menjadi profesor di Sorbonne.
Eksistensi setiap penyair adalah keteguhan sikap dalam pernyataannya. Setiap dua minggu sekali pada pertengahan 1990-an di Afaq, suplemen sastra koran berbahasa Arab terbitan London, Al-Hayah, memuat renungan-renungan Adonis. Entah kenapa belakangan esai-esai itu tak muncul lagi. Mungkin ia bernasib sama dengan Nizar Qabbani, juga penyair dari Suriah, yang dimasukkan daftar hitam koran itu setelah sahamnya dibeli keluarga kerajaan Saudi yang berpikiran sempit. Keduanya memang sastrawan yang bersuara kencang terhadap pemerintah negara-negara Arab yang tunduk pada asing.
Meski dipuja di Timur Tengah, Adonis bahkan harus mengasingkan diri ke Prancis untuk menghindari cengeram para penguasa.
Atas sikap dan tindakannya, seorang penyair menyingkapkan diri dengan risiko-risiko yang harus ditanggungnya. Saya terpesona akan kabajikan kisah kehidupan seorang penyair, yang menunjukkan betapa ketololan seseorang tak mampu memposisikan diri sebagai penyair yang berwibawa. Kebodohan mustahil berkompromi dengan penyair sejati. Adonis.
Dalam kitab The Kingdom, karya Robert Lacey (1986: 401-402) dikisahkan ihwal sikap yang berbalik dengan keteguhan seorang Adonis. Adalah Raja Abdul-Aziz biasa menghabiskan waktu berjam-jam di majelis-nya untuk mendengarkan syair-syair yang dikarang khusus untuk mengagungkan namanya. Raja tua itu menganggap kebiasaan ini adalah suatu kewajiban seorang Raja. Dan walaupun sering kali kepala sang Raja terangguk-angguk dan bahkan tertidur, pembacaan terus dilakukan, si Penyair tak keberatan sama sekali. Lebih sering merreka memperoleh hadiah lebih besar jika sang Raja tertidur sewaktu mereka membaca.
Tetapi Raja Saud bin Abdul-Aziz menganggap pembacaan syair ini kebiasaan kuno. Ia mengembangkan kebiasaan itu dengan menambah kebiasaan untuk mengulurkan tangan dan minta naskah yang sedang dibaca oleh si Penyair.
Kemudian ia mengangguk-angguk berterima kasih serta menyilakan si Penyair langsung saja pergi ke bendahara untuk menerima hadiahnya.
Kebiasaan baru ini membuat gembira semua orang. Sang Raja dan hadirin lainnya tak usah tersiksa oleh pembacaan berkepanjangan, sedang makin banyak lagi penyair yang memberanikan diri maju ke majlis, toh mereka tak usah membaca keseluruhan karangan mereka. Bahkan, akhirnya timbullah kebiasaan bagi para penyair untuk langsung mempersembahkan gulungan karangan mereka pada sang Raja, tanpa dibaca terlebih dahulu, kemudian langsung pergi ke juru bayar istana, toh pembayaran hadiah itu bukan urusan Raja Saud.
Tetapi ketika Pangeran Faisal bin Abdul-Aziz mengambilalih pemerintahan dari tangan kakaknya, dan ketika majlisnya mulai mencerminkan kekuasaan an pengaruh baru yang diperolehnya, para penyair mulai berpikir bahwa mungkin mereka bisa juga ikut mengambil keuntungan dari sumber dana yang baru ini. Pangeran Faisal terkenal sebagai seorang yang sangat menyukai syair, bahkan ia sendiri telah menulis beberapa syair yang cukup bagus, maka suatu hari seorang penyair yang biasa mengarang syair-syair pujaan untuk Raja Saud muncul di hadapan pangeran mahkota yang sangat berkuasa itu.
Dengan penuh keyakinan si Penyair mengulurkan gulungan karangannya pada sang Pangeran. Dengan heran Faisal memperhatikannya. Apa isi kertas ini? Tanya Pangeran Mahkota.
Sebuah syair, o, yang berumur panjang, sahut si Penyair, sebuah syair yang aku ciptakan khusus untuk paduka.
Apakah biasanya kau tidak membacakan ciptaanmu? Tanya Faisal tajam.
Oh, tentu saja, o, yang dilindungi Allah, si Penyair gugup menjawab dan mulai membaca syairnya yang ternyata sangat pendek karena ia tidak menyangka akan disuruh membaca hasil karyanya itu keras-keras.
Ketika syairnya habis, dan keadaan tiba-tiba sunyi senyap, Pangeran Faisal tampak menunggu namun memang syair itu tak ada kelanjutannya. Kemudian sang Pangeran mengulurkan tangan. Kurasa ada sesuatu nilai tersembunyi dalam syairmu yang tidak segera tampak bila hanya dibacakan sekali, katanya. Aku ingin mempelajarinya dulu. Mana syair itu dan kembalilah besok.
Dengan gembira si Penyair mengundurkan diri. Ia yakin pastilah Faisal akan memberinya hadiah besar, sebab tampaknya Pangeran Mahkota itu sangat tertarik pada syairnya hingga ingin mempelajarinya lebih jauh. Keesokan harinya ia menghadap dengan penuh harap ke hadapan sang Pangeran.
Ah, ya, kata Faisal saat ia ingat pada si Penyair itu. Syairmu kemarin ternyata memang sangat menarik. Aku telah mempelajarinya secara mendalam. Jika kau memperolehnya, aku ingin memberimu suatu hadiah yang kurasa setinggi nilai syairmu.
Sang Pangeran memberikan sebuah amplop kepada si Penyair. Tampaknya pastilah hadiah yang ada di dalamnya berjumlah sangat besar. Tetapi ketika si Penyair membukanya, di dalamnya tidak ada uang. Yang ada hanyalah syair yang dikarang sendiri oleh Pangeran Faisal.
Tapi sikap dan bajik tindakannya itu jauh berbeda dengan ahli waris tahta kerajaan petrodolar itu sekarang. Buktinya, Adonis harus menanggung pelbagai risiko: diasingkan dari negerinya, meski terali besi tak jua membungkam kebebasannya berbicara. Sebuah pengorbanan seorang penyair harus ditunaikan demi menjaga hakekat kebebasannya. Adonis adalah penyair yang mencari jalan pembebasan, bukanlah penyair serakah yang berharap hadiah dari penguasa.
Kita tahu, dalam catatan sejarah, Faisal bin Abdul-Aziz tak pernah dikawal oleh para pengawal berseragam beludru yang bergantungan di mobilnya. Ia biasa menjelajahi Riyad tanpa iringan apa pun, sering-sering mengemudikan sendiri mobilnya. Rumahnya sederhana, anak-anaknya tak pernah dimanja. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di luar jam kerja di kantornya, meneliti setiap surat atau laporan yang masuk, menyambut hangat setiap saudaranya yang datang ke kantornya itu untuk membicarakan masalah politik negara.
Dengan demikian pemerintah Arab Saudi mulai menanjak lagi dengan segala etika dijaga ketat.