Impian yang Tertunda

Dodiek Adyttya Dwiwanto
oase.kompas.com

Ibu sakit keras. Ayah juga. Cepat pulang segera!
Sederetan kalimat inilah yang terus menerus mengisi inbox ponsel dan e-mail milikku. Konsentrasiku mendadak buyar. Aku tidak bisa lagi menfokuskan diri pada pekerjaan. Berkali-kali foto yang aku ambil tidak lagi menarik. Berkali-kali aku mengirim foto via e-mail kepada redaktur foto dan berkali-kali pula menolaknya lantaran tidak ada nilai beritanya.

Aku hanya bisa menghela nafas saat redaktur foto menghubungiku. Memarahiku. Memakiku. Wajar saja kalau ia marah. Sudah lima tahun aku bekerjasama dengannya dan aku mengecewakannya persis seperti saat aku baru bergabung sebagai fotografer pemula. Ia mengumpat kalau aku seperti fotografer amatir yang baru tahu caranya memegang kamera. Ia juga kesal dan sangat kecewa karena puluhan foto yang aku ambil tidak satupun memenuhi standarnya padahal ia sudah memberikan belasan kali kesempatan.
Sialan!

Aku mengumpat dalam hati. Kenapa aku mesti seperti ini? Padahal moment yang aku ambil bisa menaikkan jenjang karierku sebagai fotografer. Tidak banyak fotografer perempuan di kantorku dan aku harus bisa mengambil moment persiapan penyambutan kedatangan Presiden Amerika Serikat, George Walker Bush ke Indonesia, yang akan dipusatkan di Bogor. Aku tidak bisa kehilangan moment ini. Banyak hal yang bisa aku dapatkan dari peristiwa ini.

Tapi aku tidak bisa memungkiri kalau pikiranku sedang kalut! Ayah dan ibu sedang sakit keras. Berkali-kali kakak-kakakku mengirimkan sms dan e-mail. Aku menyadari hal itu. Aku sangat menyadarinya. Tapi aku juga harus bisa profesional. Pekerjaan dan pribadi bisa dipisahkan. Toh, dulu saat aku baru putus dari kekasihku, aku harus pergi ke Nangroe Aceh Darusalam untuk meliput korban tsunami. Aku bisa meredakan kesedihanku lantaran ditinggal menikah oleh kekasih. Aku dapat melihat kepedihan dan kegetiran luarbiasa yang dialami para korban! Penderitaan mereka sungguh luarbiasa dibandingkan aku hanya ditinggal kekasih.

Ah, tapi ini berbeda. Bodohnya aku! Kali ini yang menggangguku adalah orangtua tercinta, bukan sekedar pacar. Merekalah yang melahirkan, membesarkan, menyayangi, dan mencintaiku sepenuh hati. Sudah sewajar dan sepantasnyalah kalau aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku.

Untunglah seorang rekan yang notabene bukan fotografer, tetapi seorang reporter senior mau berbaik hati. Ia tanggap dengan kegalauanku. Ia menanyakan kenapa aku bisa sampai begini. Aku langsung memberitahukannya. Ia tersenyum dan mengatakan sebaiknya aku segera mengambil cuti. Ia menambahkan kalau orangtuaku membutuhkan kehadiranku. Tiada obat yang paling mujarab bagi orangtua yang sakit kecuali kehadiran anak tercinta. Ia pun bercerita kalau ia pernah menganggap enteng ibundanya yang tengah sakit dan malah asyik bekerja. Mendadak sang ibunda meninggal, ia tidak bisa pulang dengan segera, sedangkan jenazah harus dikuburkan dengan secepatnya. Alhasil, ketika ia datang, sang ibunda telah dikuburkan dua hari yang lalu. Sesal berkepanjangan pun mengendap di hatinya. Tidak akan pernah ia lupakan sepanjang akhir hayatnya.

Aku segera memeluknya. Berterima kasih atas bantuannya dan juga pencerahan darinya.
Aku bergegas kembali ke Jakarta.
Aku memesan tiket pesawat paling pertama menuju Mataram, Lombok. Tidak peduli berapa harganya, yang penting aku bisa sampai dengan segera.

Perjalanan menuju Mataram yang hanya tidak lebih dari dua jam serasa sangat menyiksaku. Terasa lama sekali. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan orangtua dan kakak-kakakku. Apalagi selama aku menunggu keberangkatan, berkali-kali sms dan telepon dari kakak-kakakku menanyakan kapan aku tiba di Mataram. Mereka telah siap menjemputku.

Aku gelisah dalam penerbangan Garuda Indonesia ini. Aku resah dengan semua yang mungkin kini tengah terjadi di Mataram tanpa aku bisa mengetahuinya. Makanan yang diberikan pramugari, aku santap tanpa berselera. Tapi aku juga tidak ingin sakit sesampainya di Mataram.
Pilot memberitahukan kalau pesawat akan menjejakkan roda-rodanya.
Ah, akhirnya sampai juga!

Aku segera bergegas keluar dari pesawat. Setengah berlari menuju tempat pengambilan bagasi. Aku sudah tidak sabar lagi bertemu dengan orangtuaku.

Kakak sulungku sudah menungguku di luar. Ia datang menjemput bersama istrinya, sedangkan kakak-kakakku yang lain sedang menjaga ayah dan ibu di rumahsakit. Kakakku yang berjumlah empat semuanya laki-laki, yang perempuan hanya aku si bungsu.

Mobil segera diarahkan menuju Rumahsakit Umum Mataram persis di sebelah Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat. Sesampainya di sana, dengan bergegas aku dan kakak sulungku segera menuju kamar tempat ibu dirawat. Ternyata ayah sudah sembuh dan sedang dijaga kakak-kakak iparku, istri dari kakak-kakakku.

Aku berjalan mengendap-endap. Takut membangunkan ibu. Aku melihat wajah ibu tampak pucat. Guratan di wajahnya menampakkan kalau ia terlihat lebih tua dari umurnya. Aku hanya bisa termangu. Ah, wajah itu. Wajah yang dulu selalu menenangkanku kini terlihat kuyu.

Kakak keduaku mengatakan dengan berbisik kalau ibu sudah sakit sejak beberapa bulan yang lalu, tapi baru tiga hari kemarin ibu mau dirawat di rumahsakit. Ayah juga demikian. Tetapi ayah tidak sakit separah ibu. Ia hanya capek lantaran menjaga ibu selama beberapa hari. Fisik ayah yang tidak lagi mendukung membuatnya tumbang dan jatuh sakit.

Kakak-kakakku menyarankan agar aku segera pulang ke rumah tapi aku bersikeras menunggu ibu. Kakak-kakakku juga bersikukuh kalau aku harus beristirahat. Baru besok malam aku boleh menginap dan menemani ibu. Aku bersikeras sebaliknya, begitu pula mereka.

Akhirnya aku mengalah. Aku pulang menuju rumahku di kawasan Pagesangan, berjarak sekitar sepuluh menit dari rumahsakit, dengan diantar kakak sulungku. Sudah hampir satu setengah tahun aku tidak pulang ke sini. Lebaran tahun lalu aku tidak bisa pulang karena harus meliput arus mudik dan arus balik.

Sepanjang perjalanan, aku melihat kakak sulungku seperti menyimpan sejuta cerita yang ingin ia sampaikan namun urung dilaksanakan. Ia seakan terjebak di antara ya dan tidak untuk menceritakan sesuatu kepadaku. Aku jadi penasaran dibuatnya. Ah, tapi sudahlah. Kalau memang kakakku akan bercerita pasti ia akan melakukannya, entah kapan.

Mobil memasuki kompleks perumahan yang telah kami tempati sejak belasan tahun yang lalu. Meski telah lama tinggal di Mataram, ayah dan ibu bukanlah orang asli Lombok alias Suku Sasak. Ayah dan ibu berasal dari Malang, Jawa Timur. Beliau berdua pindah ke Mataram lantaran tugas sebagai pegawai negeri di awal 1970-an. Sejak itu hingga pensiun, ayah dan ibu telah memutuskan untuk menetap di kota yang tenteram ini.

Aku melihat sekeliling. Memandangi rumah dan juga rumah-rumah tetangga. Hmm, banyak yang sudah berubah dalam satu setengah tahun ini. Tapi ada juga yang belum berubah dalam satu setengah tahun terakhir.

Aku segera masuk ke rumah dan langsung menuju kamar ayah. Aku melihat ayah sedang lelap dalam tidurnya. Kakak sulungku memberikan tanda agar aku tidak mengganggunya. Aku mengangguk.

Di kamar lain, aku melihat kakak-kakak iparku juga tengah terlelap dalam keletihan mereka. Mungkin mereka semua sangat letih lantaran menjaga ayah dan ibu yang bergantian sakit.

Kakak sulungku berbisik. Ia mengatakan kalau aku sebaiknya istirahat. Aku mengangguk saja. Besok, aku akan membayar dengan tuntas. Aku akan menjaga ayah dan ibu secara bergantian dengan kakak-kakak dan ipar-iparku.

Malam makin larut di Mataram tapi aku tidak bisa memejamkan mataku. Sepertinya ini akan menjadi malam terpanjangku. Tapi kantuk yang menyerang membuatku jatuh terlelap dalam keletihan fisik dan kelelahan jiwa.

Saat aku terbangun, ternyata rumah telah sepi. Ayah dan kakak-kakak ipar telah berangkat ke rumahsakit. Ayah yang merasa sudah sembuh, ingin sekali menemani ibu. Hanya tertinggal kakak sulungku yang kadang terdiam dalam bisunya. Sepertinya ia ingin menceritakan sesuatu kepadaku.

Usai mandi dan sarapan, aku dan kakak sulungku berangkat menuju rumahsakit. Aku langsung bertanya to the point saja. Aku penasaran. Sejatinya, apa, sih, yang disembunyikan kakak sulungku? Apakah ibu terkena kanker? Apakah ayah punya tumor? Apakah kedua orangtuaku akan meninggal dalam waktu dekat?

Kakak sulungku menggelengkan kepala. Ia mengatakan kalau ayah dan ibu tidak memiliki penyakit serius. Beliau berdua sejatinya sehat. Kalaupun sakit wajar saja karena mereka telah tua.

Lantas kenapa ayah dan ibu tiba-tiba sakit? Kenapa juga aku mendapat sms dan e-mail bertubi-tubi sepanjang pekan kemarin?

Kakak sulungku terdiam sejenak. Sepertinya ia menyusun strategi sejenak untuk mengutarakannya kepadaku. Mobil yang sudah mendekati rumahsakit dibelokkan menuju Ampenan. Dari situ, kami berputar-putar menuju kawasan Cakranegara. Sepertinya memang hal yang gawat sehingga kakak sulungku melakukan hal itu.

Akhirnya setelah membuat mobil berputar-putar tidak karuan di kota Mataram, setelah membuat aku bertanya-tanya, was-was, gundah gulana. Klimaksnya kakak sulungku bercerita tentang semua hal yang membuat ayah dan ibu jatuh sakit. Ternyata alasannya sepele, mereka terlalu memikirkan diriku. Ternyata ayah dan ibu kurang menyetujui pilihan karierku sebagai fotografer surat kabar.

Ternyata ayah dan ibu sangat menginginkan aku tinggal di Mataram, tidak lagi di Jakarta. Ternyata ayah dan ibu mendambakan aku segera menikah sebelum usianya menyentuh angka 30, itu artinya tidak sampai satu tahun lagi. Dan menurut kakak sulungku, ayah dan ibu sudah memiliki beberapa calon yang mungkin bisa berkenan di hatiku.

Ayah dan ibu berharap agar aku mau bekerja di Mataram. Entah menjadi pegawai negeri di Pemda NTB, bank pemerintah atau swasta, atau juga sebagai Dosen di Universitas Mataram. Dengan begitu, ayah dan ibu bisa melihatku setiap saat karena aku akan menetap di kota ini, seperti halnya keempat kakakku. Semua kakakku tinggal dan bekerja di sini.

Selain itu, menurut kakak sulungku, ayah dan ibu ingin sekali melihatku menikah dengan segera. Semua kakakku telah menikah dan sudah memiliki sederetan anak-anak yang lucu sekaligus bandel. Sebagai satu-satunya anak perempuan, ayah dan ibu sangat memikirkanku. Apalagi aku belum menikah. Apalagi aku sempat tinggal jauh dari mereka.

Aku mengangguk mendengar penuturan kakak sulungku. Dibandingkan dengan kakak-kakakku, aku memang yang paling bandel. Usai menamatkan SMU, aku dan kakak-kakak memang kuliah di Pulau Jawa, entah itu di Surabaya, Malang atau Yogyakarta. Tetapi setelah itu mereka kembali ke Mataram dan bekerja di sana. Kakak sulung dan kakak keempat membuka usaha di bidang pariwisata seperti tour and travel, dan juga ekspor barang-barang kerajinan lokal. Sedangkan dua kakakku yang lain bekerja di Pemda NTB. Ini berbeda denganku yang setelah luluh S-1 aku malah melanglang buana ke Surabaya, Jakarta, dan Bandung. Apalagi kemudian aku menerima tawaran sebagai fotografer di sebuah harian nasional yang terbit di Jakarta.

Kebandelan ini pula yang membuat ayah dan ibu terus memikirkanku. Ditambah lagi dengan sifat keras kepala yang aku miliki. Lantaran terlalu sering memikirkanku ayah dan ibu menjadi sakit-sakitan. Kadang bersamaan, kadang bergantian.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang mendengar penuturan kakak sulungku. Aku menatap dari balik jendela, beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berjualan di Pasar Cakranegara. Sejenak melepaskan kepenatan dari semua rangkaian cerita yang dituturkan kakak sulungku.

Aku melirik ke arah kakak sulungku. Aku melihat ada perubahan dalam raut wajahnya. Sepertinya beban berat yang mesti ditanggungnya kini berangsur berkurang setelah menceritakan hal ikhwal jatuh sakitnya ayah dan ibu.

Kakak sulungku mengatakan kalau aku sebaiknya memikirkan semua ini. Demi kebaikan ayah dan ibu.
Aku mengangguk pelan. Pikiranku menerawang jauh. Jauh dan sangat jauh.

Mobil kembali diarahkan kakak sulungku menuju rumahsakit Mataram. Di sana telah menunggu dua orang yang sangat menyayangi dan mencintaiku, ayah dan ibu. Di sana juga telah berkumpul, sederetan orang yang mengasihiku, kakak-kakak, ipar-ipar, dan keponakan-keponakanku.

Mulai detik ini aku berjanji untuk terakhir kalinya. Aku ingin sekali memenuhi permintaan ayah dan ibu. Aku akan meninggalkan pekerjaanku di Jakarta. Aku akan lupakan sejenak keinginan dan impianku untuk menaklukkan kota metropolitan itu. Aku akan bekerja di Mataram. Apa saja. Mungkin membuka usaha bersama kakak-kakakku. Toh, aku memiliki cukup tabungan untuk membuat CV atau PT sendiri. Tinggal cari saja tenaga yang bisa aku pekerjakan. Tapi mungkin yang paling realistis adalah menjalin kerjasama dengan kakak-kakakku.

Menjadi pegawai negeri sipil di Pemda NTB? Hmm, rasanya tidak memalukan! Sabtu dan minggu aku libur. Dua hari ini aku bisa manfaatkan untuk menyalurkan profesiku yang lain, tetap menjadi fotografer! Bisa memotret obyek wisata, menulis catatan perjalanan atau sekedar memotret pernikahan. Apa saja deh.

Menjadi dosen di Unram? Ah, kenapa tidak? Aku punya banyak ilmu yang bisa aku tularkan kepada mahasiswa. Mungkin aku tidak bisa menjadi dosen Ilmu Komunikasi, tetapi bukankah setiap universitas memiliki majalah kampus? Aku bisa terlibat aktif di sana.

Sederetan rencana telah kusiapkan bila kelak aku akan kembali hijrah ke Mataram dan kemudian bekerja di sini. Sederetan rencana yang bisa aku matangkan dalam hitungan minggu.

Tapi ada satu hal yang tidak bisa aku kabulkan demi permintaan ayah dan ibu. Aku belum ingin menikah dengan segera. Kalaupun ayah dan ibu memperkenalkan laki-laki yang mungkin cocok denganku, anggap saja aku sedang dicarikan teman baru di Mataram. Anggap saja seperti itu.
Mobil memasuki pelataran parkir Rumahsakit Umum Mataram.

Aku menghela nafas sejenak. Menenangkan diri untuk bertemu muka dengan ayah dan ibu. Mudah-mudahan aku bisa mewujudkan keinginan mereka. Mudah-mudahan saja, aku tidak lagi membuat mereka sakit. Walaupun semua itu akan menguburkan semua mimpiku, tetapi bukankah lebih indah membuat orang yang kita sayangi bisa lebih bahagia?

Selasar Ruang ICU Rumahsakit Umum Mataram, Lombok, 7 November 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *