Hudan Hidayat
pustaka_pujangga@yahoo.com
Bila Tuhan menubuh pada dunia, dan ruh menubuh pada badan manusia, maka kesadaran menubuh pada kata-kata. Karena itu kata-kata adalah ruang bagi kesadaran untuk berdiam. Karena itu kata-kata memang alat untuk menampung kesadaran.
Unit terkecil kata-kata adalah huruf, yang datang dari titik yang ditorehkan kesadaran pada dunia. Titik yang ditarik menjadi garis, menjadi huruf, menjadi kata. Tempat di mana bayangan mental itu berdiam. Karena itu kata-kata tidak bisa merdeka pada dirinya sendiri tanpa kesadaran yang menjadi tenaganya. Tak bisa menjadi misteri kata dan bahasa tanpa kesadaran yang mengandung misterinya pula. Keyakinan yang menyempit hanya pada kemerdekaan kata-kata, hanya akan sampai pada kebenaran semu dari lautan hidup.
Kesadaran yang mengeram dalam kata-kata itu, tak perlu merasa terjajah oleh masyarakat pengguna bahasa karena kemerdekaan jiwa kesadarannya. Kesadaran yang menangkap Tuhan dan dunia. Menangkap kebenaran hidup.
Sebagai novelis saya tidak berdiam diri, tapi menghidupkan nurani. Menghidupkan kesadaran. Meluaskannya bersama kata-kata menangkap kebenaran Tuhan dan dunia. Kebenaran yang menunjukkan dirinya dalam pasang-pasangan. Dalam retakan dan pecahan. Kebenaran dalam bentuk siang dan malam. Atau lelaki dan perempuan. Maka saya menulis novel bersama perempuan, sebagai wujud kebenaran kehidupan.
Saya juga melihat dua keindahan. Keindahan yang mewujud dalam aksara yang telah dituliskan. Dan keindahan dalam wujud kesadaran yang masih mengeram dalam badan.
Karena itu saya percaya bahwa novel bukan hanya terdedah dalam ?novel fiksi? tapi juga ?novel fakta?. Dan bila novel fiksi bergerak ke dalam wujud aksara, maka novel fakta bergerak ke dalam wujud manusia.
Karena itu novel bukan semata berdiam dalam kata-kata tapi berdiam juga dalam manusia. Novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini memungkinkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya. Atau antara novel fiksi dan novel fakta.
Karena itu novel kami adalah diri kami sendiri. Maka ceruk dan pecahan dalam novel kami, sebagai ceruk dan pecahan yang menjadi tanda-tanya dunia, kedalamannya sebagian ada pada diri kami juga.
Dengan kemerdekaan kesadaran, upaya menangkap kebenaran dunia menjadi upaya merengkuh segala medan dunia. Maka dalam novel kami, kreatifitas menemukan wajahnya dalam pengungkapan takdir dunia berupa permusuhan dan berbunuhan yang dikabarkan Tuhan dalam wujud hidup yang syahdu, atau penyimpangan laku berupa seks, kekerasan, kesakitan, kegilaan, keretakan, keterpecahan, atau keunikan, yang memuncak pada titik kulminasi: mati.
Dengan mengabarkan kesyahduan dan kegilaan, sisi kemanusiaan menjadi lengkap: orang bisa berkaca padanya untuk menggenapkan kehidupan. Orang bisa berkaca padanya untuk sampai pada kebajikan.
Berkacalah padanya, maka akan kau dapati betapa dunia ini maunya Tuhan sendiri.
Maka menulis novel bagi saya adalah mencari jejak ?pengetahuan pertama?. Kami potret jejak itu dalam senda-gurau bahasa dalam novel kami. Dari senda-gurau hidup yang memantul-mantul dalam novel kami.
Aih aih.
Jakarta, 21 Desember 2007
*) dijumput dari buku Nabi Tanpa Wahyu, PUstaka puJAngga 2008.