Memahami Keberdayaan Perempuan

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Perempuan yang berkarier dan menghasilkan uang sendiri belum tentu juga seorang perempuan yang berdaya. Begitulah yang disampaikan oleh Mayzka Virgarose, salah seorang anggota FEMME.

Menurut Mayzka, perempuan yang berdaya adalah perempuan yang mengerti hak-haknya sebagai perempuan, paham yang mesti dilakukan jika melihat ketidakadilan dan harus mengadu pada pihak mana, dan bisa membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

“Kebanyakan perempuan membiarkan keluarga atau suaminya untuk memutuskan segala hal yang menyangkut dirinya sendiri,” kata Koordinator Litbang Yayasan Stigma (kelompok independen yang sebagian besar pengurusnya mantan pecandu, ODHA ?Orang dengan HIV/AIDS, dan sukarelawan) ini.

Melihat kenyataan tersebut, Stigma kemudian mengadakan serangkaian workshop untuk meningkatkan pemahaman pemberdayaan perempuan dengan materi yang berbasis Gender dan Feminisme dengan mengundang 25 perempuan yang terkena dampak narkotik dari wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Pada workshop kelima yang bertema “Perspektif Tubuh dan Diri”, terinisiasilah komunitas perempuan FEMME yang akhirnya memutuskan untuk memamerkan hasil karya mereka yang dibuat selama workshop berlangsung. Hasil karya yang dipajang di RURU Gallery, Tebet, hingga akhir bulan ini memuat berbagai bentuk seperti sketsa, arpilerra, object, fotografi, instalasi, dan teks. Pameran bersama komunitas FEMME ini juga terselenggara dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada bulan Maret setiap tahunnya.

Indra Ameng, salah seorang seniman Ruang Rupa (RURU Gallery) yang turut memfasilitasi dan membantu pameran dari aspek artistiknya mengakui bahwa esensi pameran ini menekankan pada proses selama workshop. Karenanya dalam hal display, Indra mempertimbangkan supaya maksud dan makna dari pameran ini bisa dimengerti pengunjung.

“Karena dari awal workshop ini tidak secara sengaja ditujukan untuk membuat pameran, jadi kami harus mengatur supaya orang mengerti kontennya. Di dalamnya ada semacam testimoni peserta lewat gambaran posisi tubuh, lalu ada juga karya yang bentuknya bercerita. Kami membantu supaya terlihat oleh orang bahwa ini adalah komunitas yang melakukan aktivitas kesenian dengan menghadirkan sisi informatif. Dalam pameran ini, yang dihadirkan bukan masalah artistiknya, tapi bagaimana pesannya dikomunikasikan,” kata Indra.

Hal ini senada dengan yang disampaikan Maya. Menurut Maya yang juga peserta workshop, pameran ini adalah awal dari cara perempuan memperjuangkan hak-haknya. “Yaitu dengan berani bercerita, meskipun lewat jahitan dan gambar. Perempuan kini jadi menemukan banyak cara untuk mulai terbuka. Sementara untuk pihak di luar FEMME, pameran ini bisa jadi semacam awareness atau advokasi. Karena kalau sebuah cerita disampaikan dengan bentuk visual kan orang jadi lebih memerhatikan.”

Apalagi unsur estetika dalam berkarya tetap dipikirkan. Misalnya terkait kemampuan dan kerapihan jahit menjahit dalam karya arpillera (kerajinan tangan gambar tiga dimensi pada kain perca yang dijahit atau dibordir dengan benang sulam atau wol warna-warni), komposisi warna dan permasalahan editing juga diajarkan.

Workshop ini bertujuan agar perempuan di dalam lingkaran narkotik mampu menuliskan dan merefleksikan sejarah hidupnya sendiri dari perspektif tubuh dan diri. Juga supaya perempuan mampu menggunakan analisa kritis feminis untuk transformasi dan pembebasan dalam sejarah hidup yang selama ini menindasnya.

Selain itu, seperti yang dilampirkan dalam sebuah pengantar di dinding ruang pameran, workshop ini memfasilitasi perempuan dalam mengembangkan imajinasi kreatifnya untuk merekonstruksi kembali persfektif tubuh atau dirinya yang membebaskan lewat “crime scene” (menggambar kembali posisi tubuh pada saat mengalami penindasan). Pada akhirnya, perempuan diharapkan dapat menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk memberdayakan dirinya.

Yang menarik di workshop ini, seperti juga yang terlihat dari pameran, ada permainan semacam ular tangga yang dijadikan tools atau fasilitator. Setiap kelompok peserta bisa memainkan ular tangga ini dengan banyak pilihan di tiap kotaknya yang menyangkut kejadian dalam hidup seseorang. Ini merepresentasikan bagaimana jalan hidup tidak sepenuhnya bisa ditentukan orangnya, tapi yang penting ada kemauan untuk memperbaikinya.

Materi yang terkait langsung dengan pemberdayaan tentu juga diberikan sebagai pembekalan. Misalnya mengenai sejarah gerakan feminisme, pengertian gender, gambaran budaya patriarkat, sampai pada tahap penggalian dari peserta workshop FEMME ini sendiri. Penggalian ini akan lebih jauh mengungkap persoalan-persoalan perempuan yang termasuk juga di dalamnya kekerasan dan pelecehan seksual.

FEMME sendiri adalah komunitas perempuan dalam lingkar narkotik (pengguna aktif atau tidak aktif, perempuan yang hidup dengan HIV, ibu dari si pecandu, pasangan dari si pecandu laki-laki, dan sahabat si pecandu) yang terdampak secara langsung ataupun tidak langsung dari narkotik.

Meski pada awalnya komunitas ini dipertemukan karena sama-sama terdampak oleh narkotik, mereka kemudian menyuarakan masalah perempuan yang lebih universal dari sekadar narkotik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *