Daya Hidup, Seks, dan Narasi Kematian dalam Semangat Tubuh
Mariana Amiruddin *
kompas.com
APA lagi yang dapat kita temukan dalam karya penulisan? Setelah deretan pujangga mencoba menyihir manusia membuat kategori mana yang indah dan mana yang tidak, lahir kemudian penulisan menara gading versus pinggiran, seks versus moral, sastra-wangi versus sastra-bau. Lalu apa yang dapat kita nikmati dari penciptaan kategori?
BISA negatif: sesuatu yang merendahkan atau meninggikan. Bisa positif: sesuatu yang menjelaskan. Untuk sesuatu yang menjelaskan, saya akan turut serta menciptakan kategori penulisan feminin dan maskulin, ecriture feminine-masculine, yang wilayahnya adalah jender. Adakah yang lebih baik satu dengan lainnya? Tidak ada. Di sini saya akan membuat identifikasi bahwa setiap karya cipta tak dapat lepas dari identitas jender atau jenis kelamin. Berangkat dari penjelajahan hidup masing-masing, sebuah karya lahir tak lepas dari jenis kelamin pengarang, dengan sekian kekhasan dan beda.
Pemahaman vagina, misalnya, dari yang esensialis menjadi morfologis. Vagina jelas berbeda dengan penis. Fungsinya saja sangat berseberangan. Sigmund Freud lebih dulu mengidentifikasinya dengan sekian gagasan imajinasi (morfologi) yang kelewat ilmiah. Klitoris menurut dia penis kecil yang inferior dan kehilangan hasrat, sedangkan penis direpresentasikan sebagai pemilik hasrat yang paling utuh. Freud percaya hanya pria yang bisa masturbasi karena penis konkret dan kelihatan.
Ide Freud ini membuat saya ikut-ikutan (baca: mendapatkan inspirasi) mencapai imajinasi yang kelewat ilmiah: vagina merupakan organ seks perempuan yang kompleks dan hasrat tertingginya adalah multiorgasme meski tanpa klimaks. Strukturnya tak tunggal seperti penis, melainkan multiorgan. Penuh kemungkinan, memiliki tabungan kehidupan dan kematian dalam rahim. Vagina bukan semata-mata hasrat seks dan aktivitas masturbasi, melainkan penghadir kehidupan dan kematian. Berseberangan dengan Freud, identitas feminin adalah keutuhan hasrat yang mencakup kehidupan, seks, dan kematian. Itulah reproduksi feminin yang khas dan berbeda dari maskulin.
Kita adalah tubuh kita sendiri
Dari pembicaraan di atas, penulisan feminin dan maskulin adalah pembicaraan tentang hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian. Ketiganya adalah kenikmatan (pleasure) atas tubuh. Tubuh, karena ia adalah materi hidup yang paling intim, terutama untuk keluar dari kegagalan pencarian akar kebudayaan. Tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih, yang selama ini cenderung dilupakan seperti gajah di pelupuk mata. Maka, ketika orang tanya apakah akar kebudayaan saya, tahukah asal-muasal sejarah kebudayaan saya, saya akan menjawabnya, “Kebudayaan saya adalah tubuh saya sendiri”. Tubuh itu sendiri begitu dekat dengan jenis (alat) kelamin. Maka, penulisan feminin-maskulin adalah penggalian tentang tubuh kita. Tubuh di sini adalah keseluruhan: esensi, eksistensi, wacana, dan wahana yang bertumpuk dan bermesraan-peleburan cakrawala dalam dunia penulisan.
Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia sebab kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hasrat adalah cakrawala tubuh itu sendiri. Kurangnya pengetahuan atas tubuh membuat manusia tidak memiliki bekal mengatasi persoalan hidup, seks, dan kematian-nya.
Perbincangan tentang tubuh dan hasrat dalam tulisan ini akan kita mulai dengan pemahaman penulisan feminin dan maskulin. Kedua tipe penulisan ini akan meluapkan ide tentang kematian, seks, kehidupan, dan menerangkan sesuatu yang berbasis perbedaan identitas jender.
Determinasi penulisan feminin-maskulin
Ecriture adalah kata atau konsep yang diambil dari bahasa Perancis tentang gagasan dunia penulisan. Istilah ecriture lahir dari Helene Cixous, tokoh sastra feminis Prancis yang biasa dikenal dengan ecriture feminine “penulisan feminin”. Ide ini tidak menutup kemungkinan penulisan maskulin atau penulisan yang dibangun oleh pengalaman pria. Penulisan feminin adalah dunia penulisan yang diciptakan berdasarkan perbedaan seks yang di dalamnya terdapat ketiadabatasan, seperti mimpi. Perbedaan seks dapat menunjukkan determinasi penulisan yang berbasis jender dan memiliki potensi alternatif sekaligus jalan memahami dunia. Penulisan feminin memiliki potensi kemungkinan analisis bagi kedua jenis kelamin, meski perempuan akan lebih dekat dengan konsep ini daripada laki-laki. Penulisan feminin berpotensi menyatakan dan memformulasi struktur yang bahkan meliputi atau memasuki pengalaman lainnya (baca: pengalaman maskulin)
Penulisan feminin adalah ide yang berangkat dari tubuh, seperti advokasi Cixous yang menyuarakan women’s writing their bodies dan tidak menutup kemungkinan men’s writing their bodies. Penulisan feminin adalah representasi tubuh untuk mendapatkan kesadaran tentang kehidupan, seks, dan kematian (baca: ketiadabatasan-kebebasan-ke-berada-an). “Write! Writing is for you, you are for you; your body is yours, take it. I know why you haven’t written. (And why I didn’t write before the age of twenty-seven). Because writing is at once to high, too great for you, it’s reserved for the great –that is, for greatmen andit’s silly.”
Esai sastra Helene Cixous penuh dengan muatan hasrat kehidupan, seks, dan kematian. Dalam esainya Pancaran Kematian, ia mencatat, “Menulis adalah hidup dan hidup selalu mempertanyakan kematian.” Kematian menurut Cixous adalah daya sebab ia mengucapkannya dengan istilah pancaran yang sebanding dengan kehidupan. Lalu, ia luapkan hal itu dalam skenario esainya, “Kematian bukanlah apa-apa. Mati bukanlah sesuatu. Itu hanya sebuah lubang. Saya dapat mengisinya dengan fantasi (imajinasi) dan memberinya nama (baru), jika saya ingin. Saya juga dapat bicara tentang kastrasi (kebiri, pemotongan, pembunuhan) di mana tidak ada manusia atau “segala yang harus” kepada saya untuk melakukannya.”
Penulisan feminin kental dengan hasrat kematian sebagai kehidupan (kelahiran) atau kebangkitan. Sedangkan penulisan maskulin menjadikan kematian sebagai inspirasi kesudahan, the end of the world. Penulisan feminin mencari kehidupan di balik kematian karena investasi organ seksnya yang bernama rahim selalu mengandung semangat kehidupan. Perempuan meninggalkan kehidupan karena penindasan dan posisinya sebagai jenis kelamin kedua setelah pria (meminjam The Second Sex Simone de Beauvoir). Kematian bagi perempuan adalah kehidupan yang tiada batas. Sedangkan pada laki-laki, kematian adalah lari dari absurditas hidup yang bergelimang kuasa dan kedudukan, yang sesungguhnya sangat terbatas dan tak bebas. Penulisan maskulin tertarik pada kematian karena jenuh dengan kemenangan dan kekuasaannya yang ternyata kaku, membosankan, dan penuh aturan.
Mereka yang mengais tubuh sendiri
“Tubuh adalah seismograf kebudayaan,” demikian respons Ignas Kleden terhadap puisi Di bawah Kibaran Sarung Joko Pinurbo. Seperti pandangan tradisional yang kerap mengidentikkan tubuh dengan dosa, Ignas meluruskan stigma tubuh yang murung ini dengan representasi kebudayaan manusia, “…karena dia (tubuh) menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dan hidup, dalam kebudayaan… memahami bahasa badan dengan lebih sensitif adalah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaandan masyarakat…”
Semangat tubuh memang tampil dominan dalam puisi Joko Pinurbo. Tubuh laki-laki sebagai proyeksi menangkap dunia, menangkap “kegenitan” masyarakat. Joko Pinurbo memancarkan tubuhnya dengan kengerian, keengganan, penyesalan, sekaligus penghormatan atas dunia yang ia hadapi. Dunia pribadi laki-laki yang hidupnya dikutuk berkutat dalam status dan pekerjaan dan, untuk tidak terjebak pada kemiskinan atau pengabdian pada publik hingga terseret, nyaris melupakan ke-diri-an, mengingkari tubuhnya sendiri. Karena itu, ia berpaling, melucuti tubuhnya melalui doa dalam puisi Doa Sebelum Mandi:
Tuhan, saya takut mandi/saya takut dilucuti/saya takut pada tubuh saya sendiri/kalau saya buka tubuh saya nanti/mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran/saya ini orang miskin yang celaka/hidup saya sehari-hari sudah telanjang/kerja saya mencari pekerjaan…
Merepresentasikan kebudayaan, Joko Pinurbo cukup memilih wilayah-wilayah pribadi yang identik dengan aktivitas tubuh seperti mandi, bercukur, becermin, dan mengganti pakaian. Ia tidak terlalu repot-repot meluaskannya, kegiatan-kegiatan sepele laki-laki yang dekat dengan tubuhnya dapat mengeksplorasi kekayaan itu sendiri. Seperti komentar Ignas Kleden yang mengawang, ia menyebutnya “suatu metanoia yang tuntas”.
Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Tubuh laki-laki tak menjadi haram bila tidak dibicarakan dalam konteks kejantanan. Bila Joko Pinurbo menggambarkan kebotakan seorang lelaki, maka dalam puisi Berak, Binhad membiarkan penis dan bokong bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Joko Pinurbo melihat dunia dengan tubuhnya, Binhad melihat tubuhnya untuk terus meringkuk di dalamnya, merenung dan memandangnya sendiri, tubuh yang merana dalam dunia yang luas.
Joko Pinurbo dan Binhad Nurrohmat dalam gerak penulisan maskulin berlari, melongok tubuhnya sendiri, di sana ada dunia, wahana maskulin yang tak disadari dan tak berdaya. Semangat tubuh dalam kerangka maskulin ini mengingatkan saya dengan penulisan feminin eseis feminis Perancis, Annie Leclerc, dalam kumpulan esei Perempuan Angkat Bicara tentang menstruasi. Ia angkat bicara tentang ketimpangan jender melalui tubuh: Datang bulan atau tidak bagi mereka (laki-laki) sama saja. Mereka bukanlah orang yang tepat untuk diajak bicara tentang penderitaan… Bahkan, mereka tidak merasakan aliran darah hangat dan mirip madu… Begitu ada darah menetes, langsung disumbat dengan sumpal kapas, sederhana sekali. Asal tahu saja, darah perempuan memang bau… yang lazim dan benar-benar menimbulkan rasa muak. Lebih memuakkan daripada bau air susu, daripada bau sperma, daripada bau keringat, jauh lebih bau daripada tinja kita… Begitu banyak cara menolak tubuh kita sendiri, melakukan kekerasan terhadapnya, menyucikannya, melupakannya…
Wacana tubuh pada penulisan feminin memang tampak lebih kompleks dan terbuka. Ia tidak hanya bicara bentuk-bentuk tubuh dalam melihat dunia, melainkan tubuh yang membawa proses-proses reproduksi, di antaranya menstruasi. Senapas dengan cerpen Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu dalam Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar membentang proses tubuh yang melahirkan manusia sebagai awal pertarungan hidup-mati Ibu dan anak perempuannya, Nayla. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah daripada laki-laki. Sayalah yang membantu Ibu melahirkan, bukan dokter kandungan. Ketika Ibu kehabisan napas dan sudah tidak dapat lagi mengejan, saya menggigiti dinding vagina Ibu dengan gusi supaya jalan keluar bagi saya lebih mudah… saya menendang rahim Ibu dan mendorong badan saya keluar keras-keras. Dalam cerita ini Djenar mainkan imajinasinya, cerita baru tentang Electra Complex yang berangkat dari tubuh: tubuh anak yang terpisah dari tubuh Ibu, kerinduan pada tubuh Ibu, tetapi terlempar pada tubuh ayah: dokter kandungan memegang kedua kaki saya dan mengangkat saya hingga jungkir balik. Saya menangis keras. Saya ingin memeluk Ibu. Tapi dokter kandungan seperti tidak peduli. Ia malah menggunting tali pusar saya… saya berteriak memohon Ibu. Dokter menutup tubuh Ibu dengan kain putih… Terpisah dari Ibu… Saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Saya ingin membela Ibu.
Obsesi kematian tubuh
Selain hidup dan seksualitas, tubuh juga melihat dunia lain. Seperti lubang, ia adalah ruang yang berisi imaji, bebas untuk mencipta apa pun. Sekalipun mengerikan, ia bahkan mengharukan. Ia seperti mimpi atau gudang bawah sadar kita: penuh misteri, berantakan, mengentak, seperti percik api yang melompat, tak terbayangkan. Dan, semua dimediasi tubuh. Joko Pinurbo mengejanya dalam Tamu, masih dalam kengerian dan ketakutan: tubuh yang sumpek dan temaram/tamu itu merapal doa sepanjang malam/doanya mencengkeram meremas-remas jantung/sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak: /”Aku takut mati!”
Berbeda dengan Bertengkar dengan Maut Hudan Hidayat dalam Keluarga Gerilya, ia malah menyambutnya dengan antusias bahwa kematian sebagai cita-cita dan kepuasan ditemukan melalui kesakitan tubuh sekalian penaklukan Tuhan. Aku siap di kamarku. Aku ingin membunuh diriku sendiri. Tanganku menggenggam pistol. Aku telah mengisinya dengan peluru. Jadi siap tembak. Tinggal mengokang dan menarik pelatuknya/…siapa yang berkuasa kini? Atau aku? Atau Tuhan? Aku tinggal menarik pelatuk, maka meledaklah kepalaku. Mungkinkah Tuhan dapat menahan ledakan itu? Tidak bisa. Jadi siapa yang berkuasa?
Berbeda pula dengan Sakratul Maut dan Bom Tommy F Awuy dalam Logika Falus, ia mencangkoknya dengan logika cerita: permainan situasi dan pikiran untuk menghentikan organisasi tubuh atas beban hidup yang dipanggul. Melalui tokoh Rio, Tommy memetik semangat kisah Romeo dan Juliet yang membuat peristiwa bunuh diri jadi agung, mengakhiri tubuh sendiri. Rio gelisah tak karuan. Keinginan untuk mengalami sakratul maut makin lama makin kencang menekan-nekan obsesi… aku ingin mencari bagaimana caranya mengalami sakratul maut dalam kondisi yang kita buat sendiri, menikmatinya biar sebentar saja lalu kembali ke alam sadar… Ayo Wisdom, tolong carikan jalan untukku. Aku tak sabar lagi.
Namun, Hudan membangun kematian tanpa latar depresi, trauma, ataupun beban, melainkan hasrat kematian yang penuh kenikmatan untuk mencapai penderitaan tubuh sekaligus mengakhiri kesakitan: Tanganku menarik besi hitam itu, perlahan-lahan. Aku ingin merasakan tahap-tahap kematian. Saat maut menjemput, kata orang, adalah saat-saat istimewa.
Luapan hasrat bunuh diri Hudan seperti antusiasme anak-anak mencicipi es krim rasa coklat-vanila dan stroberi sambil bercita-cita jadi insinyur. Pasti menarik melihat darahku mengucur. Darah yang seperti manusia berjalan, melebar, membasahi karpet dan lantai, akhirnya akan merembes ke luar. Pada saat itu, sudah matikah aku? Kalau belum mati, kacau jadinya. Cita-citaku untuk membunuh diri gagal. Padahal sudah lama kuangankan. Sejak SMP.
Obsesi bunuh diri Hudan bukan sebuah kegilaan yang ekstrem. Ia cuma mau menantang hidup dan menjawabnya dengan kematian, mengajak pengoperasian tubuhnya berhenti. Dirobeklah tubuhnya, tepatnya di bagian perut dan bergumam, aku tidak merasa sedih meninggalkan dunia ini. Mereka bukan milikku. Dan aku bukan milik mereka. Kami membutuhkan secara fungsional saja.
Bila Tommy mencapai kematian dengan keteraturan logika, Hudan mencapai kematian dengan bentuknya yang impulsif, melompat, tercerai-berai. Keduanya berangkat dari pengalaman kelelakian yang menoleh pada kematian. Kematian sebagai ruang yang lengang untuk berjingkrak dan berakrobat. Bahkan, Hudan menyandingkan keinginan untuk mati dengan hasrat untuk membunuh. Bayang-bayang pembunuhan memenuhi otakku. Pokoknya kau harus membunuh! Mencari orang lain tidak mungkin, mengapa tidak diri sendiri? Tanpa menimbang lagi, kugigit lidahku sampai putus.
Mereka dengan pengalaman tubuh lelaki menghasilkan penulisan maskulin untuk mengatasi (baca: melawan) kejenuhan, kekakuan, dan keteraturan melalui kematian. Mereka mengatasi kejenuhannya dengan rentetan kengerian dan permainan kematian, seperti figur Ayah yang lelah bekerja seharian di bawah tekanan struktur kantor, seperti tokoh Ayah dalam Menyusu Ayah Djenar Maesa Ayu yang berperan dominan, juga Joko Pinurbo dalam puisinya yang takut mati tapi ingin pula mencapainya.
A Man’s World adalah dunia laki-laki yang terkungkung. Dengan pembagian kerja yang melelahkan, pria harus selalu mencari nafkah sekalipun tak berbakat. Kelelahan ini tampak pada Keluarga Gila Hudan Hidayat yang membalik pembagian kerja suami istri dan bersama anaknya, tema pembunuhan kemudian menjadi puncak kenikmatannya: Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar-kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, tapi ibu berhasil lolos… tidak hanya ayah yang mau membunuh ibu. Ibu juga selalu mau membunuh ayah. Juga membunuhku.
Mereka yang jenuh dengan tubuh dan dengannya dunia maskulin tercipta, semuanya begitu transparan terlihat. Saya menyebut kehidupan maskulin sebagai kehidupan yang tunggal seperti penis: tegang, kaku, harus besar dan senantiasa perkasa, tidak intim atau berjarak dan terlalu mengagungkan rasio. Itu sebabnya penulisan maskulin nekat lari ke tepi jurang dan menjatuhkan diri mereka pada kebebasan: membuat ketidakberaturan, membiarkan cair, melompat (kiasme), dan sengaja menjadi tidak rasional. Kematian menjadi nikmat dibandingkan dengan kehidupan yang kaku.
Cerpen-cerpen Hudan dalam Keluarga Gerilya tidak pernah mau tunduk pada aturan, tatanan, selalu ingin keluar dari struktur bahkan dari pembaca. Ia tidak pernah mau jadi obyek pembaca, maunya selalu jadi subyek yang mempermainkan pembaca. Ia selalu keluar dari logika yang mau mengatur. Inilah perjuangan Hudan menjadi bebas (kebetulan menjadi seperti Jean- Paul Sartre), yang tak pernah rela dijadikan obyek: keluar dari predikat maskulin dan aturan peran jender yang dibuat masyarakat. Selain Hudan, mungkinkah mereka berani keluar dari sejarah yang bekerja menurut logika Logos Spermatikos?
***
*) Mariana Amiruddin, Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan, Magister Humaniora Kajian Wanita UI. Tesisnya “Representasi Seksualitas Perempuan dalam Novel Saman” (Memakai Metode Hermeneutik dan Perspektif Feminis) Sedang dibukukan.
1. Sastra wangi adalah sebutan untuk karya-karya sastra perempuan yang diciptakan oleh kalangan sastrawan, sedangkan sastra bau adalah ciptaan saya sendiri untuk memosisikan bahwa yang bukan karya perempuan berarti “sastra bau”.
2. Baca pendapat Sigmund Freud tentang penis kecil dalam Juliet Mitchel, Psychoanalysis and Feminism (New York: Vintage Books a Division of Random Haouse, 1975) hal 46.
3. Istilah peleburan cakrawala diambil dari Paul Ricoeur dalam tulisan Bronwen Martin tentang Dictionary of Semiotics (New York: Cassel, 2001) hal 7. Peleburan cakrawala adalah konsep hermeneutika di mana penafsir memosisikan diri sebagai peneliti teks yang melebur masuk cakrawala teks yang ia teliti dan di dalamnya akan lahir wacana baru (memproduksi makna baru). Demikian pula dalam tubuh sebagai teks, maka tubuh bisa sebagai tubuh ataupun bukan semata tubuh itu sendiri.
4. Konsep penulisan feminin dapat pula diterapkan pada penulisan maskulin untuk menyatakan suatu hasrat: hidup, seks, dan narasi kematian seperti yang dikemukakan Helena Cixous dalam http://www.geocities.com/Paris/Metro/1022/female.htm tanggal 22 Februari 1998.
5. Baca pemikiran Helena Cixous yang lebih lengkap dalam esei sastranya The Laugh of the Medusa dalam Robyn R Warhol (Ed), Feminisms on Anthology of Literary Theory and Criticism (New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press, 1991) hal 334.
6. Esei Cixous ini sangat mengagumkan. Ia selalu bicara soal ketiadabatasan yang ia imajinasikan dalam kematian dan kehidupan. “Menyerang segala yang terstruktur” itulah misi Cixous yang dipengaruhi dekonstruksi Jacques Derrida dan Lacan, serta feminis Simone de Beauvoir. Baca Helena Cixous dalam Verena Andermatt Conley, Helena Cixous: Writing the Feminine, Expanded Edition (Lincoln and London: University of Nebraska Press, 1991), hal 9.
7. Lihat komentar Ignas Kleden dalam sampul belakang buku Joko Pinurbo, Di bawah Kibaran Sarung (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
8. Pembahasan ini lebih lengkap di Jurnal Perempuan edisi 30, “Perempuan dan Seni Sastra”, hal 89.
9. Istilah Logos Spermatikos sebetulnya senada dengan Phallosentris, ciri cara berpikir dan mencipta ala maskulin. Istilah ini saya pinjam dari epilog Rocky Gerung berjudul Thank God, It’s Feminism dalam buku Feminis Laki-laki Solusi atau Persoalan? (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001).