Puisi-Puisi Lan Fang *

jawapos.com

Satu Sampai Enam

(1)
ada yang menenteng lampion, menunggumu. ”sebentar lagi festival musim semi.
tetapi belum ada yang mengirim salam.” tampak bunga-bunga mei hwa
berselaput salju palsu. rupanya semua musim sudah tidak jelas.
siapa yang telah memainkan mereka?
”ada dalangnya!” tambur terus ditabuh. barongsai tak tahu harus mengedipkan
mata ke sebelah mana. kalau begitu siapa wayangnya? ia mencermati mereka
yang dikatakan curang. putri Gurun Gobi, dayang istana Manchu atau
Durna berkartu dua? diamlah! menurutmu, aku salah bila berpikiran begitu.
kau masih juga belum pulang, masih mencangkul hutan, masih menggali gunung
”aku mencari singgasana bersepuh permata,” aku pun membenarkanmu. di antara
kita harus bersedia untuk tidak mempercakapkan benar dan salah. cukup mengerti. apakah kau juga menciptakan taman bunga seruni untuknya?
ia tetap menunggumu. ada gerimis yang tidak lebat tetapi telah membuat tanah
basah. tangannya ditangkupkan agar nyala lampion tidak padam walaupun
makin lemah. masih cukup benderang untuk membuka berapa banyak kartu yang
kita punya. bukankah kita juga kerap mendalang sekaligus mewayang?

(2)
setiap hari terasa aneh. dicoret-coretnya kertas, membayangkanmu,
membayangkan untuk melupakanmu. ck, betapa tak bisa.
tiba-tiba ia teringat keringat embun yang tumbuh di tubuh
sesloki sepi. diintipnya. kau terapung-apung di sana.
rupanya si penyair masih mabuk. pada sufi atau pada puisi? karena hennesy
atau karena sunyi? konon, kau tak boleh mabuk. tetapi kau tak pernah
melarangnya mabuk, bukan? aku selalu memikirkanmu. ada kata-kata
yang kian tertata.
maka terkutuklah siang dan malam yang semakin aneh itu. siang ada
di dada terang dan malam adalah rindu bagi para kekasih. sehingga
senja merapat, tak lagi misteri. semakin banyak yang ingin ditumpahkan.
tetapi kau seperti penyair itu, begitu pandai memampatkan perasaan.
di mana kau sembunyikan? apakah akan kau biarkan ia menyesal dengan
luar biasa? semalaman telah dipungutnya remah-remah rempah untuk
mencuri harummu, wangi bunga cengkeh. maka bersiaplah, sebentar lagi
ia luncurkan geletar kelakar liar yang gemetar. rasakan saja!

(3)
suara subuh menjelma teduh. lantai begitu dingin.
tetapi gorden kamar diam saja, tidak bergeming.
kutajamkan telinga. ada Sesuatu sedang merayapi
dinding, cermin, meja rias, lemari, ranjang, lalu
menelusup pada setiap titik pori, mengakrabiku.
adzan Jogja dibalut gerimis. tetapi di sini lampu
handphone berkedip-kedip: ”silakan subuhan.”
kubalikkan tubuh ke kiri, ada jarak yang terlampaui.
aku girang: ”apakah kau bangun untuk Sesuatu?”
rasakan Sesuatu mengajak kita bercakap! bukan suara
tik tok jam dinding atau suara dengung AC. tetapi suara
Sesuatu dalam desir darah. aku sedang mengumpulkan
suara sebanyak-banyaknya. baik, kumpulkan juga isak
teratai di ujung subuh. jangan lupa!

(4)
Arjuna merentang urat gendewa. ia memanah gendang angin,
tetabuhan langit yang dibidik dengan badik.
”akan kubekukan lidah matahari!”
mengapa Ekalaya tidak mengail pasir saja, kakanda?
aku cemas ibu jarinya dicederai butir kerikil. tolong,
jadikan aku serupa Drupadi yang tak mengikat rambut
sebelum Durna mati. bisakah? ia terlalu sakti.
”kenapa raden itu kau cermati dari hari ke hari, adinda?”
begitulah, berita kulanjut seperti kuurut huruf demi huruf,
seperti kau berkirim surat yang lambat terbalas.
rupanya tujuh belas sangat dekat dengan delapan belas.
itu saat yang tak bisa terlompati. ada angin bergulat dengan
gelombang. mendadak gelasku jatuh tetapi tak pecah.
jangan tinggi, jangan berbuih, jangan pasang, kakanda. jangan…

(5)
”apa yang kau bubuhkan pada helai malam, sri panggung?”
gincu atau anting? mari sini. maukah kau kusunting dengan
canting? maka kubungkus rapat mimpi yang kau tampilkan.
diam-diam telah kutakik namamu dengan rintik hujan.
tetapi yakinkah kau bahwa mimpi akan tetap mimpi?
ia tak pernah mendustai atau menipu tidur kita. percayalah,
pelupukku masih setengah tertutup juga setengah menyala.
di sana tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa. sepi jadi gelisah.
”peganglah aku,” tetapi aku memelukmu. jangan takut luput.
aku juga menciummu. apakah ini yang kau inginkan, bunga tidur?
menurutmu, mimpi tak perlu dikuatirkan, tak usah dipikirkan.
aku sering sekali memimpikanmu, entah.
kemudian beratus harum ratus membangunkanku. ada yang meletup.
aku kapuk yang pecah dari kulit buahnya. ah, jangan begitu.
ini hanya sedikit sakit. isyarat berpukat itu bukan siulan
daun-daun bambu. semoga saja.

(6)
segerombolan daun kering berputar seperti hujan menciptakan
selajur rajut yang kejar-mengejar. mataku berkerjap-kerjap
menghindari angin, yang menyapukan satu denyut, yang bertubi
memukul tubir bibir. lalu…
kau terus mengusahakan waktu. yang berjingkat dari: tiga puluh satu,
satu, dua, tiga, dan seterusnya. artinya biji-biji gerimis masih saling deras.
artinya baterai di jam dindingku masih memacu jarum-jarum hujan.
artinya terima kasih, saya selalu diingatkan. lalu…
kupercaya satu getar itu akan kita tutup sampai tetap satu seperti semula.
mereka bukan kisah yang tertunda. itu titik yang pernah kau amati
dengan cermat lalu kau sambar dengan cepat.

***
*) Penulis lahir di Banjarmasin, 5 Maret 1970. Penulis prosa dan puisi. Tinggal di Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *