http://kompas-cetak/
Krueng Raya-Lhok Nga
(Dari punggung “El Poderrosa” BL 3010 AT)
Krueng Raya. Pada tiang-tiang masam kusam lumut
labuhan renta yang tak kuasa dimangsa laut
dari sini kuawali ingatan sejumput.
Dari sudut ke sudut, mata memungut sisa tanda setelah digerus maut
Pelanting kerikil, tapi tak setajam peluru
kepul debu namun tak sesangit mesiu dulu
dimamah gelinding roda-roda, membubung
merabun murung usai bala melipat kampung
Tebing kering pupus setengah lamping
isyarat tegak ombak menabas karang beting.
Betapa sulit mengikat, memahat ingat
bahwa di sela bebatuan bukit itu kapal-kapal pernah tersesat
Indra Patra. Bentara uzur yang pongah gagu
debur asin angin buramkan cungkil kata pada batu.
Berserulah kau, ini hanya reka hikayat-hikayat bisu
yang memaksa kekal dari waktu ke waktu
Ujong Batee. Jejar beberapa sisa cemara menghentikan
berkelebat bayang, di sini cinta-cinta pernah menebar bualan
menjelma jadi taman yang membuat kita kadang lupa lahir di tanah duka
Usai senapan. Samudra kemudian berlomba dan kita tak lagi tertawa
Alue Naga. Terlalu berat beban sejarah yang kita usung.
Hingga di sini, naga ingin kembali dikenang memintal gelung.
Peluknya telah membawa perempuan-perempuan pemecah tiram
yang senantiasa bergegas melawan gigil malam
……
Teman, kembali kau membayang pada bekas rumahmu telah apung
menjuntai di bayang pohon asam yang kara dan canggung
di mana kau dan aku pernah reguk uap candu mengepung
Hampir larut, tapi rihlah ini tidak boleh urung
Syiah Kuala, makam tua yang tak jadi karam
Mati kedua kali mungkin menjadi haram
Mungkin pula sebagai ingatan
Bahwa di sini ada banyak tanya yang tak menyedia jawaban
Segumpal badai belia coba mengaum dari laut.
Sekawan telanjang dada masuk tenda dengan berebut
rupa-rupa kecil yang dihardik lekas memeluk lutut
meski belum paham betul sebenarnya makna takut
Lam Pulo menebar wangi amis pahit
Susuranku masih sejajar garis langit
ada kapal besar di atas rumah masih betah
“Telanlah ludah, saat kita memang harus kalah”
Peunayong. Tak seriuh dulu, berbondong merindu rapat deru perahu
kerling perawan malam dalam piting lengan
kewajaran kelam satu labuh persinggahan.
Kita kerap berpura-pura tak bersaksi atas itu
Lampaseh. Ini kerumun aneh yang pernah kita sebut kota
tinggal jejak bungkah rumah dan gulita setelah senja
hempang udara basah terus menerus meradang
sempurna sudah pandang mata telanjang ke pantai terpentang
Ulee Lheu. Apa lagi yang harus kuikat tentangmu?
Palung masa tak hendak beranjak keluar pusaran itu.
Berpuak singgah mengadu cinta, dendam dan peruntungan
bungkam kini dalam kesendirian, hanya satu rumah tuhan yang terselamatkan
Peukan Bada. Lumpur menghembus wewangi purba
ada sulur kangkung menjulur pada tempat yang pernah kau sebut rumah, teman
jembatan ini kerap jadi perantara dan memabukkan kita
menyesap gemercik alur, hanyutkan laksa khayalan
Lhok Nga. Bahtera-bahtera telungkup, terdampar seperti Nuh
seperti berlari mendekap diri ke cadas-cadas tanpa mengaduh.
Di sini desah angin semakin sekarat, langit telah pudar benar.
Saatnya tetirah. Ini dulu juga bernama rumah, teman yang tak lagi berkabar
Serombongan burung putih melintas pulang
entah masih camar yang dulu, persaksian kala badai datang
atau mungkin kawanan baru yang juga hendak menggantikan, seperti kalian
tapi siapa yang sanggup membunuh kenangan?
Desember 2005-Januari 2006
Stanza Jogja
Di tepi perigi ini, dari jemari kecil yang jauh
Melarung ke air penuh harap semoga lekas tumbuh
Sekepal tangkai seulanga dari ibu
Sekelumit doa tanpa tanda seru pagi itu
Ibu di sini, ibu di sana sama mengajar cinta
Anak di sana, anak di sini adalah anak-anak mereka
Saat duka tumpah dan ruah genang airmata
maka dari jauh ada lafal doa dan bunga-bunga
Ibu di sini:
Kami dengar Merapi mual dan tersengal
Ternyata laut jua yang terbelah lalu muntah
Ibu di sana:
Pagi sekarang gemar menghardik kita dengan duka
Bukan lagi kelam malam yang kerap menyimpan rahasia
Anak:
Ibu, setidaknya kita kembali disadarkan
ada yang belum berhenti sebagai Tuhan
30 Mei 2006