Belajar ‘Tango’ dengan Avi Basuki

M. Arman A.Z.*
http://www.lampungpost.com/

DARI segelintir penulis cerpen asal Indonesia yang menetap di luar negeri dan memublikasikan karya-karyanya di koran dan majalah dalam negeri, salah satunya adalah Avi Basuki. Dia punya latar belakang profesi yang kompleks.

Merintis karier sebagai peragawati, kemudian menekuni sinematografi, menulis cerpen dan memublikasikannya di media massa nasional, dan Agustus lalu menerbitkannya dalam buku kumpulan cerpen bertajuk Tango.

Kumpulan cerpen ini dipilah menjadi dua bagian: “Tango” dan “Bukan Tango”. Ditilik dari subjudulnya, jelas subjudul pertama bertema seputar tarian tango dan subjudul kedua jauh dari nuansa tango.

Cerpen pertama dalam buku ini ini adalah “Tango”. Tema cerpen ini terbilang klise, berkisah tentang tokoh aku-wanita yang hendak pergi meninggalkan sebuah kota.

Yang membuat cerpen ini menarik adalah bertaburannya istilah-istilah tango seperti milonga, sacada, boleo, dan sebagainya. Tokoh aku-wanita, menjelang kepergiannya entah ke mana, membolak-balik kembali kenangannya tentang seorang lelaki yang pernah mengajaknya menari tango dan meninggalkan kesan mendalam.

Cerpen kedua, “Una Noche Con La Realidad (Satu Malam Bersama Kenyataan)” tak jauh berbeda dengan cerpen pertama. Berkisah tentang tokoh aku–wanita yang kesengsem dengan seorang penari tango lelaki berwajah murung bernama Arturo yang sering dia jumpai di lantai dansa langganannya. Dia terpesona dengan lelaki itu dan berhasrat ingin menari bersamanya.

Dan setelah keinginannya tercapai, Arturo, lelaki impiannya itu menghilang begitu saja, menyisakan kisah cinta yang tak selesai.

Bahkan dalam tango pun, ada dominasi kaum adam terhadap kaum hawa. Simak saja kalimat langsung berikut ini yang diucapkan penari tango pria ketika berdekapan dengan penari wanita: “Jangan biarkan matamu lari ke tempat yang lain, biarkan aku saja yang harus melihat manusia-manusia lain yang berdansa di belakangmu. Biarkan aku jaga kaki-kakimu agar tidak terpeleset dan tetap berdiri tegak. Biarkan aku jaga tubuhmu supaya tidak berbenturan dengan lelaki-lelaki lain yang berdansa di sekitarmu. Biarkan aku menentukan langkahmu. Biarkan aku menguasaimu. Biarkan aku memilikimu di lantai dansa ini.” (hlm. 7)

Cerpen “Muerte Del Angel (Kematian Seorang Malaikat”), terbilang unik. Bermain-main dengan imajinasi. Tentang seorang lelaki penari tango bernama Alejandro yang menjelang kematiannya ditemani seorang malaikat wanita. Alejandro yang menghabiskan malam-malamnya di lantai dansa, tepat di usia lima puluh sekarat karena terlalu banyak bercinta dengan sekian banyak wanita yang pernah jadi pasangan dansanya. Jalan cerita yang dari awal realis, di pertengahan hingga akhir cerita jadi surealis.

Dimulai dari malaikat wanita yang menjelma jadi manusia biasa, bersama Alejandro menjadi sepasang penari tango yang dikagumi sekian pasang mata, hingga akhirnya Alejandro terbunuh entah oleh siapa. Ketika semua orang sibuk menerka-nerka siapa pembunuh Alejandro, tiba-tiba hujan darah tumpah dari langit dan membuat orang-orang lari ketakutan.

Mayoritas cerpen Avi bermain dengan narasi dan dia memperhatikan betul detail-detail cerpennya. Semua sisik melik tokoh, setting, dipaparkan dengan jelas.

Mungkin sebagian pembaca akan agak terganggu dengan cerpen “Anjing Kecil yang Tinggal Sendiri”. Cerpen ini bertele-tele dan berlarut-larut dalam bercerita. Kejutan di akhir cerita pun klise, kala si anjing kecil menatap cermin barulah dijelaskan bahwa dia anjing malang berkaki tiga.

Cerpen “Kutukan Jengkol”, “Sampul Tampak Depan”, “Silikon”, dan “Skandal” adalah potret buram kehidupan masyarakat hedonis kota besar, dalam cerpen-cerpen ini ber-setting Jakarta. Avi seakan merekam ulang kejadian di sekitarnya dalam teks. Menceritakan tentang perselingkuhan, gadis model yang mencari tambahan penghasilan dengan menjual tubuh atau wanita simpanan yang ingin selalu tampil sempurna di mata kaum lelaki dan perempuan. Avi membumbui kisah-kisah itu dengan anekdot dan ironi yang meninggalkan kesan dalam.

Sementara itu, penempatan cerpen “Makam tak Berpagar” sebagai cerpen penutup buku ini memang tepat. Bertemakan hakikat pulang seorang anak perantau yang telah melanglang ke berbagai penjuru mata angin, lalu kembali ke kampung halaman, ziarah ke tempat eyangnya. Di mana dalam silsilah keluarga pun ada konflik dan silang sengkarut.

Sayang, dalam buku ini tak saya temukan beberapa cerpen Avi yang pernah dipublikasikan di beberapa media dan menurut saya lebih kuat dan menarik di banding segelintir cerpen dalam buku ini, seperti cerpen “Klik!”, “Perempuan”, dan “Ombra (Bayangan)”. Sayangnya lagi, jika diperhatikan daftar riwayat pemuatan cerpen, ada beberapa judul yang terbalik penyusunannya alias tidak berurutan. Editor buku ini tampaknya kurang jeli memperhatikan.

Avi, lewat Tango-nya, mengenalkan budaya lain atau lokalitas lain dari kampung dunia. Avi tanpa terkesan menggurui pembacanya memaparkan apa dan bagaimana tango, juga kehidupan manusia-manusia yang berkecimpung dalam kehidupan malam di Negeri Piza itu. Kita juga akan memahami definisi tango dalam berbagai sisi: Sebagai sebuah pikiran sedih di mana dengannya kita bisa berdansa atau arti dari setiap Tango adalah menanti untuk bisa berdansa lagi.

Dalam wawancaranya dengan sebuah media massa nasional, Avi mengaku bahwa kumpulan cerpen Tango dimaksudkan menghibur. Boleh jadi pembacanya akan terhibur.

Sebagaimana tarian tango sendiri, yang zaman sekarang bukan lagi sekedar tarian. Ia telah menjadi gaya hidup masyarakat kelas atas di kota-kota besar.

Jadi salah satu ajang gaul dan adu prestise pada saat membuka dan menutup pesta yang digelar kaum-kaum berkelas. Sementara itu, untuk kalangan awan, lumayanlah untuk menambah wawasan pembacanya mengenai seluk beluk tango seraya membayangkan tubuh-tubuh yang meliuk-liuk romantis, berani, dan sensual.

Inilah daya tarik tango, yang mampu memesona jutaan mata. Promosi budaya secara tidak langsung.

Bukan tanpa bekal yang cukup jika Avi berani mengupas tango ke dalam cerpen-cerpennya. Dia mengaku serius mempelajari tarian satu ini. Bahkan, selain menuangkannya dalam cerpen, Avi yang belajar menulis sejak masih model dan berguru kepada Seno Gumira Ajidarma, juga membuat beberapa film pendek yang bertema tango. Bahkan di mata Avi, menulis cerpen itu seperti bertango, kita berkhayal dan masuk dunia lain.

Apakah setelah Tango, Avi akan menekuni jenis tarian lain seperti salsa, rumba, waltz lalu menerbitkan kumpulan cerpen dengan judul yang sama? Atau apakah nun jauh di seberang sana, terbersit dalam benak Avi untuk menulis cerpen-cerpen dengan tema berbagai macam tarian di Indonesia, memublikasikannya di media massa setempat, lalu menerbitkan kumpulan cerpen yang diberi judul salah satu tarian di Indonesia seperti seudati, gambyong, kecak, atau yang lainnya? Ah…

Judul buku: Tango
Pengarang: Avi Basuki
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Agustus 2006
*) Peresensi lahir di Telukbetung, 30 Mei 1977. Karya-karyanya terdokumentasi di sejumlah antologi dan kumpulan cerita.

Leave a Reply

Bahasa ยป