Angela
http://www.ruangbaca.com/
“Kemajemukan hidup ini harus kita hadapi dengan sesuatu yang gaya, berkelas.” Kalimat itu pernah diucapkan novelis asal Irlandia, John Banville. Ia tidak sekadar mengucapkan tapi menerjemahkannya ke dalam lebih dari 14 novel yang sudah dihasilkannya dalam 25 tahun belakangan.
Banville menciptakan sebuah gaya dalam novelnya. Setiap karya yang ia hasilkan dipadati kalimat yang berirama, bermakna liris. “Gaya” itulah yang mengantarnya meraih Man Booker Prize, penghargaan buku bergengsi Inggris Raya, ajang tahunan yang berlangsung awal pekan silam.
Lewat novel terbarunya, The Sea, Banville berhasil memikat dewan juri yang memilah enam karya puncak dari 149 (yang disaring dari 141 negara di seantero Inggris Raya, Skotlandia, Irlandia, dan negara persemakmuran) yang masuk. Kemenangan Banville ini tergolong mengejutkan karena para pesaingnya bukan sembarang nama.
Sebelum lolos ke lima besar, Banville telah menyingkirkan Salman Rushdie, Ian McEwan, dan sejumlah nama besar lainnya. Dalam enam besar terakhir, ia berhasil menyingkirkan Kazuo Ishiguro, Julian Barnes–yang menjadi favorit kritikus, Zadie Smith, dan Ali Smith.
Apa keistimewaan The Sea sehingga dewan juri rela menyingkirkan Never Let Me Go karya Ishiguro yang disebut-sebut membayanginya di detik-detik terakhir pengumuman? Apalagi, dalam ajang yang sama pada 1989, Ishiguro dan Banville juga sama-sama bersaing untuk merebut tempat terbaik. Saat itu Ishiguro–lewat novelnya, The Remains of the Day, menyingkirkan Banville lewat novelnya, Book of Evidence.
Profesor John Sutherland, ketua dewan juri, mengatakan The Sea adalah “karya besar tentang perkabungan, elegi yang ditulis dengan himpunan rasa cinta dan kehilangan yang sangat kental”.
Menurut Sutherland, Banville mampu menyeret pembacanya ke dalam suasana mencekam. “Banville mampu mengendalikan bahasa dan membuatnya menjadi alat yang bisa dimainkan,” katanya.
Meski demikian, Sutherland mengakui, rumitnya bahasa yang digunakan Banville membuat karyanya sukar dipahami dengan cepat oleh pembaca dan dewan juri sekalipun.
Sutherland mengatakan, bukan pekerjaan mudah menentukan pemenang dari enam nama yang tersaring di bagian akhir. “Semua novel merupakan karya yang bagus, tapi pisau guillotine harus memutuskan siapa yang tersingkir di antara nama-nama besar itu,” kata Sutherland.
Novel The Sea bercerita tentang kedatangan Max Morden, laki-laki tua–digambarkan Banville sebagai sangat sensitif, gemar menggerundel, keras kepala, dan sukar dipahami–yang ditinggal mati istrinya yang menderita kanker. Ke kampung halamannya di sebuah kota pantai, Morden menggali lagi masa silamnya, berkubang dalam perkabungan, hingga berdialog dengan roh leluhurnya. Di sanalah ia berhadapan dengan trauma masa kecilnya yang menghantui hidupnya selama ini.
Secara komersial, dewan juri mengakui, novel ini tidak terlalu memiliki daya jual dibanding novel lainnya. Sepekan setelah masuk ke dalam saringan Booker, The Sea hanya laku 3.318 kopi. Bandingkan dengan novel Ishiguro yang sudah laku 24 ribu kopi. Bahkan unggulan lainnya sudah mencatat penjualan hingga 17 ribu kopi.
Masuk dalam daftar Booker sendiri sebenarnya sudah merupakan jaminan bagi para unggulan sebagai pelaris. Dalam tiga tahun berturut-turut, lima besar Booker mencatat angka menakjubkan dalam penjualan novel mereka. Atonement karya Ian McEwan yang masuk daftar Booker pada 2001 laku hingga 25 ribu kopi dalam sepekan. Demikian pula karya unggulan Monica Ali, Brick Lane.
Tingginya bahasa yang digunakan Banville, menurut banyak media, menjadi hambatan mulusnya penjualan. “Kalimat-kalimatnya terlalu njelimet, tinggi, unsur-unsur gramatikal datang berduyun-duyun, membuat tenggorokan tercekat,” tulis harian Inggris terkemuka, The Independent.
Gaya menulis John Banville–yang mantan wartawan budaya Irish Times ini–disebut-sebut banyak orang dipengaruhi oleh sejumlah penulis besar. Pria kelahiran Wexford, 59 tahun silam ini, pernah mengatakan, ia sangat menyukai Samuel Beckett dan James Joyce.
Dalam satu wawancara dengan Ron Harold dari The Age, Banville bahkan mengatakan, ia terpengaruh oleh gaya humor kelam yang disajikan para penulis Irlandia sebelum masanya. “Anda kelihatan cerdas jika dapat menjadikan humor kelam sebagai bahan kunyahan yang sedap,” katanya.
Sunday Telegraph bahkan pernah menyamakan Banville dengan Vladimir Nabokov yang dikenal lewat novelnya, Lolita, karena kekayaan dan keindahan bahasanya. “Namun, kelemahan novel Banville adalah plot yang miskin,” tulis surat kabar itu.
Toh, dengan kemenangan itu, Banville mementahkan anggapan bahwa novelnya tidak kalah dilirik oleh dewan juri. Selain uang tunai 50 ribu pound sterling, Banville mendapatkan hak penjualan dari Booker senilai 20 ribu pound sterling dengan sampul khusus. Ia juga punya waktu lebih banyak untuk berpromosi keliling negerinya. Wawancara eksklusif, berangkat ke Inggris, lalu menyiapkan sampul untuk peredaran di Amerika dan benua lainnya.
Tidak aneh ketika permintaan wawancara dari Tempo sudah masuk ke meja penerbit, Vivienne Nelson dari MacMillan Inggris yang mengatur seluruh waktunya menjawab dengan santun, “Banville titip salam maaf kepada Anda, waktunya sangat sempit karena harus berkeliling Inggris Raya. Tapi kami akan usahakan wawancara dengan Anda segera setelah kesibukannya mereda.” Novelis yang memilih bergaya dan berkelas itu pun melanglang buana.