Gunawan Maryanto *
jurnalnasional.com
Jika saja tidak ada peristiwa pelemparan batu yang hampir mengenai kepalanya 19 tahun yang lalu, mungkin sekarang Alib adalah seorang seniman, bukan loper koran yang akan mengantarkan cerita ini kepadamu di suatu pagi di hari Minggu.
Alibasyah adalah anak tunggal Bude Niti, penjual barang-barang bekas di kampung kami. Alib, demikian kami memanggilnya, hanya tinggal berdua bersama ibunya. Ayahnya tinggal di tempat lain bersama isterinya yang lain. Aku memanggilnya Pakde Agus. Kata ibuku Pakde Agus adalah kakak angkatnya. Dengan demikian aku dan Alib masih bersaudara. Karena itu maka kami sering main bersama, bepergian bersama, dan menonton ketoprak bersama.
Pada mulanya aku tak suka ketoprak meski ayahku seorang pemain ketoprak. Bunyi kepraknya membuatku takut. Tapi alasanku yang paling besar adalah aku takut pada ayahku. Ia menjadi sosok yang asing di panggung ketoprak. Suka berteriak dan mengamuk. Suka menempeleng istrinya. Dan selalu terbunuh di akhir pertunjukan. Aku membayangkan perempuan itu adalah ibuku-bayangan yang sering menghantuiku
Tapi Alib bersama ibunya berhasil membuatku menyukai tontonan itu. Setiap satu bulan sekali keluarga itu mengajakku menonton ketoprak di panggung RRI. Awalnya aku menolak meski Bude Niti telah membelikan karcis menonton buatku. Tapi Alib berhasil meyakinkanku bahwa ketoprak yang akan kami tonton berbeda dengan ketoprak ayahku. Panggungnya bagus, katanya. Lampunya warna-warni. Tidak seperti panggung-panggung ketoprak di kampung. Pemainnya bisa hilang dan berganti rupa. Aku jadi penasaran juga mendengar ceritanya. Dengan becak, berangkatlah kami bertiga ke auditorium RRI Nusantara II Yogyakarta.
Alib memang benar, panggung ketoprak itu sangat menyenangkanku. Kursi yang dipakai raja benar-benar kursi singgasana yang mewah, bukan kursi seng seperti yang selalu dipakai ayahku. Lampunya juga berganti-ganti warna dengan indah, berbeda sekali dengan lampu neon di panggung-panggung ayahku. Dan kami bisa menonton dengan nyaman karena duduk di kursi yang empuk. Tidak berdiri berdesak-desakan seperti di kampung. Satu lagi yang terpenting: tak ada ayahku di panggung itu.
Purna Budaya adalah sebuah gedung pertunjukan terbagus waktu itu di kota kami. Alib jugalah yang mengenalkannya padaku. Meski penuh perjuangan, aku sangat suka menonton ketoprak di tempat itu. Penuh perjuangan karena kami harus berjalan kaki dan melompati tembok gedung yang tinggi. Maklumlah, kami tidak memiliki duit untuk naik becak dan membeli tiket masuk?Bude Niti hanya membayari kami menonton ketoprak satu bulan sekali. Dan hanya di RRI.
Setiap kali habis menonton, Alib selalu menceritakannya kembali pada teman-teman. Kami berkumpul di teras langgar selepas Maghrib untuk mendengar ceritanya. Kumpul-kumpul mendengar cerita Alib ini pun perlahan berubah menjadi acara rutin yang dinanti-nantikan. Sampai suatu saat kami memutuskan untuk membuat kelompok ketoprak anak-anak. Dan tentu saja Alib-lah yang menjadi pelatih kami. Setiap sore sehabis Ashar sampai menjelang Maghrib kami berlatih di lapangan sebelah barat kampung. Kelompok kami tak banyak jumlahnya. Hanya 7 orang. Alib, aku, Handoko, Pujo, Andri, Budi dan Yanto. Kami menggunakan kentongan dan kaleng-kaleng sebagai alat musik pengiring. Andri kebetulan suka dangdut dan pandai bermain ketipung. Dengan kaleng bekas wadah cat tembok ia membuat ketipung dengan membran dari karet ban dalam roda mobil. Dengan sendirinya Andri dipercaya sebagai penata musik. Alib menentukan cerita dan membagi peran. Aku, Pujo, Handoko, Budi dan Yanto bersiap melakukan perintah sutradara Alib.
Setiap sore kami berganti cerita. Pengetahuan Alib benar-benar luar biasa. Ia hapal banyak cerita. Ia hapal nama-nama tokohnya. Ia tahu bagaimana alur ceritanya. Dan ia bisa dengan mudah membagi peran-peran itu kepada kami dengan sesuai. Alib pintar membuat permainan kami menjadi menyenangkan. Kami sering kali tertawa terpingkal-pingkal sendiri. Pujo yang selama ini terkenal pendiam dan pemalu ternyata berbakat menjadi pelawak yang luar biasa lucu. Ia bisa memerankan tokoh perempuan dengan sangat luwes. Handoko lain lagi. Dengan kelincahan tubuhnya, juga keberaniannya melakukan gerakan-gerakan akrobatik ia membuat adegan perkelahian menjadi seru untuk disaksikan. Handoko memang satu-satunya di antara kami yang senang dengan silat dan tenaga dalam. Ia bahkan ikut dua perguruan sekaligus: perguruan kungfu shaolin Pro-Patria dan perguruan tenaga dalam Ragasukma. Hanya aku dan Yanto tidak memiliki ketrampilan khusus. Jadi kami siap dijadikan apa saja-yang tak banyak bicara dan tak membutuhkan keahlian tertentu. Sebut saja tokoh pelengkap atau bawang kosong. Tokoh utama tentu saja dipegang Alib.
Begitulah kami terus berlatih setiap sore selama berbulan-bulan tanpa henti.
Malam Syawalan kampung di tahun 1989 adalah malam pertunjukan kami yang pertama. Yanto menjadi anak yang paling berjasa karena membuat kami bisa tampil di acara itu. Sebagai yang tertua di antara kami ia berani menghubungi panitia syawalan dan mendapat persetujuan untuk mengisi acara yang biasanya hanya diisi dengan pengajian itu. Benar-benar malam yang sulit dilupakan.
Lakon yang akan kami mainkan malam itu adalah kisah perseteruan antara Amerika dan Libya, di mana di akhir pertunjukan, utusan dari PBB berhasil mendamaikan keduanya. Alib berperan sebagai Presiden Libya Moammar Khadafi sedangkan Pujo menjadi jagoan Amerika Presiden Ronald Reagan. Sedangkan aku menjadi Sekretaris Jendral PBB Javier Perez de Cuellar. Pada mulanya kami semua sempat protes kepada Alib karena pilihan ceritanya. Kami bertanya kenapa tidak memilih lakon-lakon yang sudah biasa dilatihkan seperti Cindelaras atau Sawunggaling. Tapi Alib berhasil meyakinkan kami bahwa cerita perang-perangan itu lebih pas untuk dimainkan di acara syawalan. Ia mengaku mendapatkan cerita itu dari koran yang dibacanya.
Handoko bersama dengan Budi berusaha merancang adegan perkelahian yang berbeda dengan biasanya jika mereka menjadi prajurit-prajurit Jawa dalam ketoprak. Jika biasanya mereka memakai pedang-pedangan dari kayu atau toya dari tongkat pramuka, sekarang mereka memakai bedil-bedilan kayu dan granat dari nanas muda. Alib menambahkan dengan membuat wayang kardus berbentuk peluru kendali. Aku yang bertugas memainkan wayang itu dari balik layar putih yang sebenarnya adalah seprei yang aku ambil diam-diam dari rumah.
Satu hal lagi, kami butuh nama kelompok. Dan Yanto yang berhasil mendapatkan nama bagi kelompok kami; Lasamba. Apa itu, tanya kami. Ia menggelengkan kepala. Ia juga tak tahu artinya. Tapi menurutnya nama itu terdengar bagus. Lasamba. Kami pun punya nama sejak siang itu. Meski tak tahu apa artinya.
Pertunjukan pun berlangsung dengan meriah. Meski banyak melakukan kesalahan tapi semua senang. Nama Lasamba segera menjadi buah bibir di kampung kami. Di warung Mbak Dasilah ibu-ibu menyebut nama kami. Di langgar bapak-bapak menyebut nama kami. Di arena main kelereng, teman-teman kami tak henti membicarakan kami. Beberapa anak malah kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Lasamba.
Pertunjukan berikutnya: acara perpisahan di SD kami. Permainan kami sudah semakin meningkat, sepertinya. Handoko sudah berani menampilkan atraksi yang cukup mengerikan untuk ukuran kami. Ia berani mencelupkan tangannya pada minyak goreng panas di wajan. Di acara perpisahan itu Handoko memerankan Ratu Boko yang menggoreng daging di wajan langsung dengan tangannya.
Lasamba semakin punya nama. Pertunjukan-pertunjukan berikutnya aku sudah tidak terlalu ingat. Tapi yang jelas kami main di banyak tempat. Bukan hanya kampung kami. Tetapi juga kampung-kampung tetangga.
Sebagaimana pentas pertama kami, pentas di panggung Tujuhbelas Agustus 1990 adalah pentas kami yang tak telupakan. Pertama karena Yanto sudah berhasil menjelaskan apa arti Lasamba. Kedua karena itulah pentas terakhir kami.
Lasamba adalah sebuah singkatan, begitu penjelasan Yanto. Singkatan dari Lasykar Seni Amal Baik. Penjelasan itu tak terbantahkan. Kami langsung setuju. Kepanjangan nama itu terasa pas banget. Yanto segera memesan spanduk bertuliskan: Lasamba Lasykar Seni Amal Baik. Spanduk itu akan kami pasang nantinya di depan panggung saat kami bermain.
Alib juga kembali dengan cerita yang mengejutkan. Kali ini kita akan memerankan orang-orang yang ada di kampung kita sendiri, katanya. Tentu penonton akan senang karena mereka sudah akrab dengan cerita yang sedang kita mainkan. Setuju. Dan kami pun menyebar mencari cerita-cerita menarik yang sedang berkembang di kampung.
Aku sendiri sudah lupa bagaimana ceritanya. Aku hanya ingat sebuah adegan yang membuat seluruh pertunjukan juga kelompok kami buyar berantakan. Adegan itu adalah adegan Kelompok Ronda Malam Selasa. Kelompok ronda yang paling populer di kampung di mana ayahku menjadi ketuanya. Satu hal yang kuingat dengan baik adalah kebiasaan mereka berjudi dengan kartu.
Malam itu di panggung Tujuhbelasan, aku, Pujo dan Budi duduk bermain kartu dengan mengenakan jaket seragam Ronda Malam Selasa. Semula orang-orang ketawa melihat tingkah polah kami yang sedang meniru bapak-bapak kami sendiri. Apalagi guyonan-guyonan yang kami lontarkan memang sudah sangat dikenal di kampung. Tapi suasana langsung berubah ketika Alib masuk memerankan Pak Haji. Tokoh ini adalah rekaan dari Alib sendiri karena pada kenyataannya tak ada seorang pun dari warga kampung kami yang bergelar haji. Diceritakan Pak Haji membubarkan arena perjudian itu. Alib dengan meyakinkan memberi kotbah pada kami tentang dosa dan ruginya bermain judi. Ia juga mengutuk mereka yang telah melupakan pendidikan anak-anak mereka karena duitnya dihabiskan buat berjudi.
Suasana begitu hening. Tak kudengar lagi gelak tawa penonton. Suara kotbah Pak Haji juga tak terdengar lagi. Tapi aku tetap melihat Alib berkomat-kamit dengan muka marah. Kemarahan yang juga pernah ditunjukkannya kepadaku ketika Bude Niti tak mampu membayar uang sekolah sehingga Alib tak bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Katanya duit Bude Niti dihabiskan oleh Pakde Agus di meja judi. Dan tepat ketika Alib mengacungkan jari telunjuknya ke arahku, ketenangan pun pecah. Glondang! Glondang! Suara atap panggung yang terbuat dari seng dihantam batu-batu. Entah siapa yang melemparkannya. Kami panik. Alib pun terlihat pucat. Mudhun! Mudhun! Terdengar beberapa laki-laki bersorak menyuruh kami turun panggung. Beberapa saat kami tak tahu apa yang mesti diperbuat. Dadaku berdebar dengan kencang. Kami tak segera turun panggung. Bukan tak mau. Tapi kami benar-benat tak bisa menggerakkan tubuh kami. Suara seng bergelondang di atas kami sesekali masih terdengar dengan keras. Aku melihat ayahku dan beberapa orang mencoba menenangkan suasana. Tapi semuanya sudah kadung tak terkendali. Dan sebuah batu membuyarkan kebekuan kami. Batu sebesar kepalan tangan orang dewasa itu hampir mengenai wajah Alib. Beruntunglah ia sempat menghindar dan batu itu hanya mengenai dinding belakang panggung. Beberapa saat kemudian panggung telah kosong.
Aku tak pernah bertemu lagi dengan Alib sejak malam itu. Ayah mengurungku di dalam rumah selama beberapa hari. Pada saat itulah Bude Niti dan Alib pindah rumah. Mereka tak lagi tinggal di kampung kami. Pindah ke tempat yang jauh kata ayah. Tapi sebenarnya mereka memang sudah berencana akan pindah. Karena rumah mereka telah dijual untuk menutup hutang-hutang Pakde Agus.
Sebenarnya aku sempat beberapa kali berpapasan dengan Alib di jalan. Tapi aku tak pernah yakin apakah dia benar-benar Alib sutradara kecilku. Dan ketika aku berhasil memastikan bahwa loper koran yang kucurigai sebagai Alib itu adalah benar-benar Alib, aku tak berani menemuinya. Dari koran-koran yang dibawanya, jika ia membacanya, tentu ia tahu bahwa aku telah menjadi seorang sutradara teater. Menemuinya mungkin akan melukainya. Juga melukai diriku sendiri. Tapi aku berjanji jika kelak keberanian itu datang, aku akan datang menemuinya. Memintanya menyutradaraiku seperti 19 tahun yang lalu.
Jogjakarta, 2009
*) Bergiat sebagai penulis dan sutradara di Teater Garasi. Buku terbarunya “Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya” (kumpulan sajak, omahsore, 2008).