Joni Ramlan Menggantung Masa Lalu
Riadi Ngasiran*
http://www.jawapos.com/
Hal ihwal cinta selalu berkait akrab dengan kehidupan manusia. Para pakar psikologi boleh sibuk mendefinisikan cinta, mulai Ibn Hazm hingga Sigmund Freud, dengan berlembar-lembar definisi, tapi cinta mempunyai tafsir yang berbeda-beda. Ia sangat personal untuk dihikmati: definisi tak banyak memberikan manfaat, yang penting dijalani. Bila saja ingat ujaran orang-orang tua, sebagaimana termaktup dalam Wedhatama, ”ilmu iku kalakone kanti laku”, cinta termaknai dengan menjalaninya.
Metafora paling akrab dengan cinta, juga ilmu, adalah naik sepeda. Ia tak bisa dideskripsikan atau didefinisikan dengan banyak kata. Tapi cukup dijalani, maka kita pun dengan mudah memanfaatkannya. Joni Ramlan, pelukis kita, tengah mendefinisikan pergulatan yang dijalani di tengah-tengah masyarakatnya dengan mengambil objek sepeda. ”Menggantung Masa Lalu”, merupakan pameran tunggal lukisannya di Orasis Art Gallery, Surabaya, 1-14 Juni 2009, menghadirkan bahasa visual persoalan kehidupan kita kini, di tengah persoalan global yang terkesan mencekam ini.
Karya-karya Joni Ramlan kali ini merupakan pergeseran bahasa gambar lanskap kota yang membuka ruang publik ke hamparan pribadi yang ternyata menjadi bagian kita bersama. Sepeda yang kita saksikan di kota sebagai kelangenan dan hobi semata yang merebut suasana romantik, lebih bermakna ”jatuh bangunnya” (dalam istilah Joni Ramlan ”niba tangine wong cilik”) kehidupan di sekitarnya.
Sepeda-sepeda yang tak sekadar memberikan gambaran kelampauan masa yang telah kita tinggalkan, mengudal-undal ingatan dan kenangannya di masa kin, tapi juga kehidupan itu sendiri yang tak lapuk oleh waktu. Sepeda, di mata Joni Ramlan, tetap aktual –memberikan harapan untuk tetap bisa bertahan (survival of the fittest, meminjam istilah Darwin) dalam pergulatan hidupnya. Hidup orang-orang yang mencintai dan dicintai, manusia dan kemanusiaan kita.
Cerita soal sepeda tak lagi melihat strata sosial, tapi ia telah menjadi bagian dari pelbagai lapisan masyarakat. Ingatan kita ketika menyaksikan film tentang Perang Dunia II, di tengah semangat berapi-api pidato Hitler di Eropa, sepeda memberikan gambaran dramatik dengan meluapnya massa rakyat. Juga di Tiongkok, yang mencermintkan betapa rakyat banyak mengambil maslahat yang sangat berarti dalam hidup sehari-hari. Berangkat ke pabrik dan pulang ke rumah dengan naik sepeda.
Di Indonesia sepeda sering dicitrakan dengan kehidupan sederhana, khas seorang pendidik di masa lalu. Tapi, para perintis kemerdekaan kita pun mengambil manfaat alat transportasi persoalan yang banyak citra zamannya dengan sepeda. Joni Ramlan merebut citra sepeda dalam karyanya sebagai makna universal setiap zaman. Seperti sedang berada di sebuah bilik kecil, kita pun tetap berusaha memahami pelbagai persoalan global. Kita bisa merujuk kepada sebuah sketsa sepeda yang diakui buatan Gian Giacomo Caprotti, seorang murid Leonardo Da Vinci pada 1490-an. Meskipun, otentisitas sketsa tersebut masih diragukan dan diteliti oleh pihak sejarah dan kebudayaan Italia.
Dalam catatan seni rupa, Joni Ramlan telah banyak menghadirkan karya lukisannya di pentas seni rupa kita. Di antaranya, Beautiful Death ( pameran keliling Bentara Budaya Jogja, Surabaya dan Malang, 2007), Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas (Jakarta, Jogja, Surabaya dan Malang 2007), Kisi-kisi Jakarta (Do Gallery Ancol Jakarta, 2006), Biennale Jawa Timur ”Cityscape” (Surabaya, 2006), dan Borobudur International Festival (Museum Widayat Magelang, 2003). Pada 2007 Joni Ramlan mendapatkan penghargaan dari Radar Mojokerto untuk bidang seni budaya.
Sebagai pelukis yang produktif, jalur yang dipilihnya masih cukup luas. Ikhtiar ke arah citra alam benda tak banyak digeluti pelukis kita. Bila sepeda dan alam benda yang lain menjadi pertimbangan di masa mendatang bagi kreativitas Joni Ramlan, niscaya ia akan memosisikan diri sederet dengan pelukis lain. Bila eksplorasi menjadi ruang pemaknaan hidup berkeseniannya, ia akan memberikan cakupan luas pada khazanah citra benda sebagaimana dilakukan Hanafi (The Gate: Pre-Discourse), logika yang dicabik-cabik dalam pemandangan Rizal Mantofani (Realisme Banal) atau eksplorasi warna penuh pencarian ekspresi Yayat Surya (Iching Change Iching: Tradisi Moden I Ching).
Sebagai seniman, saya kira, Joni Ramlan tak hendak melayani kebosanan kita dalam episode ”Menggantung Masa Lalu” dengan sepeda sebagai objek satu-satunya. Toh, kita bisa menikmati karya-karyanya yang lain, bersama puluhan lukisan dalam pencitraan objek yang beragam.
Joni Ramlan memang mencintai kehidupan. Maka, di luar pencarian ekspresi keseniannya dengan objek sepeda, ia menyuguhkan panorama kota, sebuah citra melekat pada diri pelukis kita ini. Senarai lanskap pada Chinatown Kembang Jepun, Jembatan Merah, hingga pemaknannya pada kehidupan kaum petani.
Joni Ramlan yang tak bisa dilepas dari problema kekotaan (”Diantara Tiang-Tiang Kota”), menghadirkan kehidupan orang-orang dengan gigih untuk bertahan hidup, di tengah rimba papan-papan reklame dan gedung-gedung tua di sebuah kawasan di Surabaya. Pelukis kita ini pun masih kuat ingatannya akan narasi-narasi kaum urban (“Elegi Para Urban”) dan kehidupan lain yang disaksikan sehari-hari di tempat tinggalnya, di Mojosari, Mojokerto, kehadiran kaum rural (“Terhempas-hempas”) dengan lanskap pedesaan. (*)
*) Esais, tinggal di Surabaya.