Ribut Wijoto
Rentang sepuluh tahun terakhir, 1998-2007, ada kesalahan pada perkembangan eksplorasi bahasa cerpen. Bahasa diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan tidak untuk memperkuat unsur cerpen. Justru sebaliknya, usaha kuat-keras tersebut, sepenuhnya untuk memperlemah potensi unsur cerpen.
Ini kesalahan fatal. Soalnya, ini kesalahan dilakukan oleh orang-orang yang justru berkompeten di bidang kesusastraan. Lebih fatal lagi, ini kesalahan diikuti oleh beragam kaum sastrawan. Ia menjadi standar nilai cerpen. Sebuah standar nilai yang membalik arah.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” dari Nirwan Dewanto: Bertahun-tahun kami bertikai apakah di negeri Matsya Sairindri dan lima pengiringnya itu penyamar atau bukan. Bertikai pangkai bahkan sampai kini, ketika kami harus bahu-membahu di pulau jahanam ini demi mengukai tilas Muka Sepuluh.
Nirwan membuka kisah dalam cerpen dengan kata-kata “wah”. Kalimat-kalimat imajinatif. Di situ tampak, ada rima bertikai-pangkai-mengungkai. Ada kalimat imajinatif. Bertahun-tahun bertikai. Sungguh, jalinan kata-kata yang mirip puisi. Sayangnya, itu kalimat tidak mendukung terbentuknya peristiwa, memperlemah kisah.
Nirwan terlalu obsesif pada puitisasi peristiwa, puitisasi kisah. Setiap kalimat dimaksudkan mengemban citraan. Menampilkan lanskap warna, gerak, rasa, ataupun bau-bauan. Menggugah imajinasi pembaca. Membikin pikiran terombang-ambing dalam tamasya bahasa. Dan, pembaca pun melupakan peristiwa.
Kalimat pembuka cerpen “Dadu” diikuti oleh kalimat-kalimat lain yang bernasib sama. Puitis, imajinatif, dan berlarat-larat dengan majas. Akibatnya, cerpen rada panjang Nirwan terbata-bata dalam membentuk cerita. Padahal di situ ada cerita. Sebuah interpretasi ulang dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Pasalnya, uraian Nirwan gagal menampilkan kejernihan peristiwa. Ada kabut tebal pada tiap kalimat Nirwan. Kabut yang menutup peristiwa.
Oleh sebab gagal membentuk peristiwa, Nirwan pun gagal mencipta penokohan. Tokoh-tokoh pada cerpen “Dadu” bukanlah tokoh yang bisa dibayangkan berbadan, berdaging, atau bernafas selayaknya manusia biasa. Ia tokoh metaforis. Tokoh konsep. Artinya, “tokoh” yang belum sempat menjadi tokoh. Sebatas konsep tentang tokoh. Ini disebabkan melimpahnya kiasan dalam pemaparan tokoh. Cerpen Nirwan menjadi lebih mirip puisi.
Mungkin, cerpen Nirwan memang lebih berharga jika dipahami sebagai puisi. Tetapi tetap saja tidak bisa. Keindahan bahasa puisi selalu mengemban makna personal. Pada metafora, ritme, rima, citraan puisi; di situ ada melekat ideologi.
Adapun pada Cerpen Nirwan, keindahan bahasa hanya sebatas ornamen. Perlengkapan pengindah kalimat. Snobisme. Kemewahan berbahasa. Metafor, rima, ritme, dan citraan semata-mata digunakan untuk menghasilkan ?wah?. Di titik simpul ini, bila memaksa dipahami sebagai puisi, ia adalah puisi gagal.
Lihatlah kutipan cerpen “Dadu” berikut: Ketika seluruh jalur urat nadi Dandaka terbuka tampa k berderai putihmu ?Percayalah, ketka jubahku terkembang berlapis-lapis memerangkap pasukan yang memburumu- aku mengenali perempuan lain yang mengular dalam hutan menguntitmu, mungkin untuk mengambil bakal permaisuri itu darimu. Aku berseru dalam hati, “Kenapa wajah mereka serupa dengan titisan Laksmi?”
Pemahaman yang salah atas eksplorasi bahasa cerpen membikin cerpen pada posisi ambang. Sebagai prosa, ia gagal membentuk kejernihan peristiwa dan ketajaman penokohan. Sebagai puisi, ia gagal menciptakan personalitas ideologi.
Tragisnya, Nirwan hanyalah satu dari deretan panjang para cerpenis yang suka mengindah-indahkan bahasa. Para cerpenis yang mengutamakan citraan daripada penokohan. Memilih metafor daripada peristiwa. Di gerbong mewah ini ada nama-nama seperti Sitok Srengenge, Nukila Amal, Dewi Sartika, Dewi Lestari, Ayu Utami, dan sebagainya.
Mengapa ini kondisi fatal bisa meluas? Mungkin, jaman menghendaki demikian. Mungkin juga, tanpa diduga, ada keseragaman pikiran. Keseragaman konsep tentang cerpen yang gemilang. Mungkin saja, merebaknya pengindahan bahasa cerpen dipacu oleh kemenangan novel Saman dari Ayu Utami pada Sayembara novel DKJ tahun 1998.
Pada novel Saman, Ayu Utami menyeruakkan tiga model bahasa. Pertama, model bahasa metaforis. Hampir tiap peristiwa dipaparkan dengan kiasan. Kedua, model bahasa lugas. Peristiwa dipaparkan dengan cara sederhana. Ketiga, model bahasa minimalis. Peristiwa dibahasan dengan kalimat-kalimat pendek, seperti kalimat dalam pesan pendek di telepon genggam.
Para cerpenis, mungkin, berusaha mengekor model bahasa Ayu Utami yang pertama. Model bahasa metaforis. Padahal, ini sungguh tragis. Seorang juri dari sayembara novel DKJ mencatatkan, novel Saman berhak menang karena kejernihannya memaparkan peristiwa penindasan yang terjadi di perkebunan karet. Di bagian tersebut, Ayu Utami tidak memakai model bahasa metaforis. Di situ, Ayu Utami menggunakan bahasa lugas, sederhana, dengan seminimal mungkin kiasan.
Mungkin juga, Nirwan dan sebagainya tidak sedang mengekor Ayu Utami. Mereka sedang terpesona oleh model bahasa Gabriel Garcia Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian.
Melalui eksotisme bahasa realisme-magis, Gabriel berhasil mengusung banyak tokoh dalam satu novel. Cerpen “Dadu” dari Nirwan pun dengan bahasa eksotis menampilkan banyak tokoh. Tapi ada perbedaan mendasar. Gabriel menggunakan eksotisme realisme-magis tidak sebatas gagah-gagahan. Itu model bahasa dipakai untuk memberi detail gambaran peristiwa dan memberi detail gambaran karakter tokoh. Selebihnya, detailitas peristiwa menciptakan kompleksitas penokohan. Hasilnya bukan sekadar tamasya bahasa, tetapi lebih penting lagi adalah, tamasya peristiwa. Tamasya kisah dengan beragam penokohan.
Adapun Nirwan dan sebagainya malah terjebak pada eksotisme bahasa yang mengaburkan peristiwa, mengaburkan penokohan. Semestinya, bahasa cerpen diolah-maksimalkan, dicari pilihan kata paling tepat, dan kalimat diberi rima-ritme; kesemua usaha dilakukan untuk memperkuat unsur cerpen. Eksplorasi yang mengarah pada pembentukan kejernihan peristiwa dan penajaman penokohan. Seperti pada cerpen-cerpen dalam buku Orang-orang Bloomington dari Budi Darma.
Surabaya, April 2007
Bagus essainya. Saya setuju bahkan jika kata ‘cerpen’ disana diganti menjadi ‘Novel’. Dan novel itu kesannya di filsafat-filsafatkan. Pun untuk sebuah hal yang dinilai oleh ‘sekumpulan orang terpilih dalam sebuah lomba penulisan novel’. Pada novel ‘Saman’ yang kemistri dalam waktu setelah orde baru dijadikan telunjuk bersama. Ada novel yang sampai sekarang telah buat saya ‘pusing’ – kenapa bisa jadi terbaik? Untuk sebuah judul yang paling boombastis di dunia : CURRICULUM VITAE, 106 URUSAN, 90 PERUMPAMAAN, 11 TOKOH, SEPASANG KEGEMBIRAAN. Banyaknya jumlah ‘urusan’ tak saya temui itu, banyaknya perumpamaan juga ‘tak filsafat-filsafat amat’ , siapa saja yang dimaksud masuk kedalam sebelas tokoh? Tak ada itu,….apa juga maksud kegembiraan disitu ? Saya justru tak gembira membaca novel yang sulit saya terima untuk menyelesaikan bacaannya sekali pun.