Ami Herman
http://www.suarakarya-online.com/
Kiai yang juga dikenal sebagai budayawan, pelukis, dan penyair, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengaku terus terang bahwa semua penyair yang ada di negeri ini, terutama sekali penyair yang usianya di atasnya, adalah teman sekaligus gurunya.
“Saya menganggapnya demikian karena dalam banyak kesempatan, saya tidak sekadar curhat dengan mereka, tetapi juga belajar, terutama dalam proses kreatif kepenyairan. Jujur, puisi-puisi yang saya buat untuk menerjemahkan tentang suatu kenyataan, kezaliman, keangkaramurkaan, kebatilan, dan cinta kepada Allah, mereka kok bisa pas membahasakannya dalam bait-bait yang pendek tapi komunikatif, sedangkan saya belum. Itu yang membuat saya banyak belajar kepada penyair-penyair yang sudah matang memandang kehidupan,” ujar Gus Mus.
Pengakuan Gus Mus itu diungkapkan ketika menjadi pembicara dalam acara peluncuran kumpulan sajak Sihir Cinta karya Timur Sinar Suprabana di DPRD Jawa Tengah, Semarang, Senin lalu, yang kebetulan dihadiri sejumlah cendekiawan, wartawan, belasan penyair termasuk Sitok Srengenge. Namun, beberapa wartawan yang telah mengenal sosok Gus Mus menilai, penuturan sang kiai bahwa semua penyair adalah gurunya merupakan bentuk dari sikapnya yang selalu merendah. “Soalnya, puisi-puisi Gus Mus yang banyak beredar di berbagai penerbitan nasional malah sering disebut para penyair senior sebagai puisi sufi. Kecintaan Gus Mus terhadap kesederhanaan dan kebersahajaan sudah menjadi gaya hidupnya sejak lama. Jadi, kami nggak heran lagi kalau mendengar pernyataan Gus Mus yang merendah itu. Yang pasti, puisi-puisi dan cerpen-cerpen Gus Mus sangat khas,” tutur beberapa penyair di Semarang.
Karya sastra Gus Mus bisa khas antara lain karena tidak mengikuti satu gaya kepenyairan dari orang tertentu. Kenyataan itu pula yang kerap menyulitkan orang lain untuk mencari-cari kesamaan gaya kepenyairan penulis Kumpulan Puisi Balsem ini dengan penyair lainnya. “Namun, kalau mau meneliti baris per baris puisi saya, mungkin di setiap baris ada gaya Timur Sinar Suprabana, Sitok Srengenge, atau Beno (Siang Pamungkas). Inilah Indonesia, tidak ada yang tahu,” katanya disambut tawa hadirin.
Gaya banyak penyair yang ada dalam puisinya itulah yang, menurut pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang ini, menjadi kehebatan dirinya dalam menciptakan puisi. Kini Gus Mus sering bolak-balik Rembang-Jakarta untuk mengisi rekaman acara menjelang Ramadhan di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta.