Meditasi Teh Hijau

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Upacara minum teh chanoyu menjembatani tuan rumah dan tamu menuju kesejatian jiwa yang tenang

Penulis novel yang dikenal piawai menulis fiksi tentang pengembaraan spiritual demi mencapai kesadaran tertinggi, Paulo Coelho, pernah menggambarkan bagaimana suatu kegiatan fisik bisa membawa pelakunya kepada titik kulminasi, yaitu saat seseorang kehilangan identitas dan pertalian dengan ruang dan waktu.

Sedikit, atau bahkan banyak, upacara minum teh yang telah berabad-abad dilakoni orang Jepang juga memiliki esensi yang sama dengan pencapaian titik kulminasi berkat adanya harmonisasi gerak, jiwa, dan pikiran.

Dalam upacara yang dikenal dengan sebutan chanoyu ini, teh dijadikan medium meditasi bagi tuan rumah yang menyajikan teh dengan tamu yang dihidangkan teh. Seorang sensei (pengajar) tata cara pelaksanaan chanoyu di Japan Foundation Sani Soendoro, mengatakan bahwa rangkaian penyajian (baik gerakan dan atribut yang disertakan) chanoyu penuh dengan makna filosofis.

Chanoyu disikapi layaknya upacara sakral yang mesti diikuti dengan konsentrasi dan kesadaran penuh. Sikap duduk tamu pun harus khidmat dengan cara duduk formal (seiza), yaitu duduk bersimpuh di atas tumit kaki yang saling bertindihan. Dalam posisi ini, tamu mesti menegapkan punggungnya dengan meminimalisasi gerakan yang tidak perlu, kecuali memberi hormat, makan dan minum sesuai aturan, serta gerakan lain yang memiliki makna penghormatan kepada tuan rumah dan pembuat teh.

Tuan rumah dan tamu duduk berhadapan yang menunjukkan sopan santun orang Jepang terhadap tamu. Tamu duduk bersimpuh berderet dari kanan ke kiri dengan urutan yang terkanan sebagai tamu yang paling dihormati. Tuan rumah (otomae) memulai upacara dengan mengelap cawan yang akan digunakan, selanjutnya teh dituangkan ke dalam cawan, diberi air panas dan diaduk dengan menggunakan alat pengaduk yang terbuat dari bambu hingga berbusa dan kemudian bisa dinikmati. Teh yang digunakan dalam chanoyu berbentuk bubuk matcha.

Upacara ini diperagakan dalam upacara minum teh di Japan Foundation, Selasa (4/7), dalam rangka kelulusan siswa peserta kursus chanoyui dengan memberi kehormatan sejumlah wartawan dan tamu undangan, termasuk Direktur Japan Foundation Atsushi Kanai, untuk menjadi tamu upacara teh.

Tentu makna filosofis dan muatan estetik unsur-unsur chanoyu tidak serta merta bisa diresapi para tamu dadakan ini, mengingat upacara minum teh di Jepang meliputi ritual yang terkait erat dengan keseimbangan pikiran dan rasa. Mirip dengan yang dideskripsikan Paulo Coelho di bukunya The Witch of Portobello saat tokoh utama menyadari bahwa kesabaran yang ekstrem melalui gerakan yang teramat cermat, detail, dan perlahan (dalam hal ini adalah penulisan kaligrafi) bisa mendidik jemarinya dalam memanifestasikan setiap sensasi dalam jiwanya.

Konteks gerakan wajib dalam menyajikan teh yang melalui proses bertahap (dengan gerakan sangat lembut, gemulai serupa tarian, namun penuh konsentrasi dan kekuatan) yang terikat aturan pada chanoyu juga memaksa pelakunya memusatkan perhatian. Begitu fokus dalam hipnotisme aroma harum teh hijau serta tenggelam dalam nuansa ruangan yang didesain sedemikian rupa untuk membahagiakan suasana hati hingga pada tingkatan tertentu. Keadaan ini menuntun peserta upacara untuk mencapai pemisahan tubuh dari jiwa, dan mendapatkan kesejatian ketenangan batin yang terpisah dari hiruk pikuk duniawi.

Menurut Sani yang memiliki nama asli Kikuko Sakakibara ini, falsafah Chanoyu adalah wa-ke-sei-jyaku. Wa artinya keselarasan dan harmoni manusia, Kei artinya hormat dan menyayangi, Sei bermakna kebersihan hati manusia yang tenang, dan Jyaku berarti hal yang paling utama dari upacara ini, ketenangan. Tak heran jika dalam sejarahnya, chanoyu dilakukan para bhiksu yang terlatih dalam keseimbangan spiritual. Pada prosesnya, setiap orang kini bisa mempelajari dan menyelami nilai-nilai yang terkandung dalam chanoyu, meski tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama.

?Langkah ada hitungannya, begitu juga tahapan pembuatan teh, semua sudah ada ketentuannya. Mulai dari mengambil lap, mengelap cangkir, sampai mencucinya di hadapan tamu, merupakan gerakan yang memiliki simbol tersendiri, yaitu penghormatan. Saat bangkit berdiri dan berjalan di atas tatami (tikar Jepang) pun sudah menjadi rumus tersendiri,? kata Sani yang juga salah satu pendiri Urasenke Tankokai Indonesia Association (perkumpulan pencinta seni minum teh Jepang).

Seni upacara minum teh memerlukan pendalaman selama bertahun-tahun dengan penyempurnaan yang berlangsung seumur hidup. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan.

?Dalam chanoyu, pembicaraannya adalah segala hal yang baik dan penuh penghormatan. Tidak ada obrolan yang menjatuhkan atau bergosip. Makanya tamu yang diundang juga selalu tamu-tamu yang memiliki hubungan baik satu sama lain,? kata Diana S. Nugroho, Program Officer bidang Budaya yang mengantar jalannya upacara minum teh di sore itu.

Suasana salah satu ruang Japan Foundation yang sudah ditata sehingga menyerupai chashitsu memang mendatangkan keteduhan yang unik. Apalagi saat teh hijau setengah panas yang berbusa itu membasahi tenggorokan. Aroma yang sangat khas meneduhkan pikiran sebagaimana juga penampilannya yang cantik. Padahal membuatnya bukan sekadar mencampurkan dengan air panas, melainkan harus memahami benar takaran dan adukan yang pas dengan bimbingan hati sehingga cita rasa teh menjadi istimewa.

?Ada cara mengaduk salah seorang sensei yang sangat mahir sehingga rasa, bau, kekentalan, dan busanya sangat lembut. Rasanya benar-benar pas dan nikmat. Mungkin itu masalah di kekuatan dan speed-nya,? kata Bambang Laresolo, salah satu siswa yang juga sedang merayakan kelulusannya dalam pembelajaran chanoyu.

Mengaduk teh dalam ritual chanoyu memang bukan perkara mudah. Perlu teknik tinggi untuk bisa mendapatkan warna teh yang hijau sekali dengan buih halus dan banyak sekaligus mendapatkan suhu yang pas (tidak terlalu panas, juga tidak kehilangan panas) bagi teh untuk segera diminum tamu.

Iva Livandia, mahasiswi Sastra Jepang Universitas Nasional yang juga alumni kelas chanoyu tahun 2008 mengatakan bahwa tingkat kesulitan menyajikan teh hijau dalam upacara ini tak lepas dari aspek hidup manusia. Iva yang datang sebagai tamu, merasakan dirinya juga telah mempelajari cara mengontrol emosi dan menahan diri untuk tidak banyak bicara. ?Karena menghafal step-nya sulit jadi kita harus konsentrasi sehingga tidak bisa memikirkan hal lain.?

Upacara minum teh di Jepang memang dipercaya sebagai cermin kepribadian dan pengetahuan tuan rumah yang mengundang. Dalam pelaksanaannya, tamu akan menyadari dan menilai tujuan hidup, cara berpikir, dan pemahaman akan kebudayaan, estetika seni dalam sastra, keramik, sampai bunga. Apalagi filosofi dalam tiap detail unsur chanoyu sesungguhnya juga mengajarkan dasar kehidupan di dunia, khususnya dalam mencapai keseimbangan hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *