Dorothea Rosa Herliany
suaramerdeka.com
INI bukanlah sesuatu yang disesali. Tiba-tiba saja ia merasa seperti ada macan dari dalam tubuhnya. Perutnya minta daging, mulutnya haus darah, dadanya gemuruh, berdentam, bergendam, ingin menyergap, ingin mencerkam, mendera, mencabik, mencakar…Itulah perasaannya setiap kali bertemu lelaki yang menempati beberapa langkah di seberang tempat tinggalnya. Saat ini ia tinggal di sebuah studio yang sekaligus dijadikannya rumahnya -sebuah tempat yang boleh ditinggali untuk waktu selama beberapa bulan. Perasaan itu datang tiba-tiba saja. Rasanya ingin melakukan sesuatu kepada laki-laki itu.
Padahal lelaki itu tak begitu dikenalnya. Dari riwayat hidupnya, yang ia baca di media virtual, lelaki berkulit terang itu adalah seorang wartawan dari negeri berpenduduk terbanyak di dunia. Seorang lelaki yang baik. Ia satu dari sekian korban yang selamat dari pembantaian massal pada sebuah waktu yang mengenaskan di tempat yang memilukan. Ia dipenjara dua tahun delapan bulan. Enam giginya rontok. Tangan kanannya lumpuh. Ia alami “vaksinansi” di penjara: polisi memasukkan kepinding di luka setiap napi. Kepinding itu akan mengubah luka jadi tomat, merah, gendut dan gembur penuh darah! Setelah peristiwa itu, ia masih dinistakan. Ia kehilangan identitas. Namanya tak boleh muncul sampai waktu lama. Dan ketika akhirnya bisa muncul, namanya ditulis dengan salah. Ini jelas melanggar taboo nenek moyang yang mengatakan: apa pun yang terjadi, nama tak boleh tak ada atau diubah. Yeach! Ia dianggap pelawan rezim. Virus yang harus dimusnahkan. Namun ia tak gentar. Dengan berbagai cara, berkejaran dengan polisi, ia terus menulis, mengkritik, berbicara di pertemuan-pertemuan, sampai suaranya terdengar hingga ke luar negeri, ke publik internasional.
Lelaki ini sebetulnya sama statusnya dengan dirinya. Sama-sama tamu yang dibolehkan menumpang beberapa waktu di sebuah negeri yang memiliki banyak filsuf itu. Lelaki itu menempati sebuah rumah. Ya rumah, bukan studio seperti yang dimilikinya. Rumah itu ada di halaman yang sama dengan studionya. Lelaki ini berperut buncit. Lehernya menyatu dengan dagu. Wajahnya dingin dan kaku. Rambutnya lurus sebahu. Dirinya sendiri jadi tampak kecil dibanding lelaki gendut gondrong itu. Walau begitu, ia simpan dalam-dalam semacam perasaan kesumat yang ada dalam dirinya itu. Ia simpan hati-hati, bahkan seperti memeliharanya diam-diam. Ini hasrat purba, pikirnya, biar saja ada.
Di kebun belakang studionya, ada seekor kuda. Ada juga sederet pohon walnut hitam dengan burung-burung kecil yang selalu berkicau-kicau. Macan dalam dirinya ia bayangkan seperti si kuda yang dilihatnya di belakang rumahnya itu. Ia pelihara binatang itu: dileus-elusnya saban waktu.
Entahlah mengapa perasaannya pada lelaki yang tak begitu dikenalnya itu seperti itu. Namun ia sendiri seperti punya ingatan akan sesuatu yang lama dulu…ada memori di kepalanya yang dulu hanya tersimpan di satu bagian tertentu dalam otaknya saat ini tiba-tiba muncul. Tapi, ini mungkin tak penting. Ia lebih sering memikirkan lelaki itu. Ia justru ingin bertemu lagi. Ia ingin memiliki perasaan itu lagi: menjadi liar, ingin menghunjam, ingin meledak….
Suatu siang, ia masuk ke ruang perpustakaan yang biasa dipakai berbagi untuk semua penghuni selingkung rumah itu. Tiba-tiba saja, lelaki itu muncul dari dalam rumah dia sendiri. Rambutnya sebagian menutup matanya. Lelaki itu melihatnya, lalu satu tangannya melambai padanya. Tangan ini saja yang tampak ramah sebab rautnya mukanya tetap saja dingin. Rokok tak beranjak dari mulutnya. Setelah itu, tangannya masuk saku celana, menahan dingin udara luar. Ahhh, perasaan dalam dirinya itu benarlah sekarang muncul lagi: perutnya kaku, nyeri, lapar haus, ingatannya melayang, tenggorokannya ngilu dan perasaannya meluap-luap ingin mencelakai lelaki itu…
“Hei!” kata si lelaki dari kaca jendela perpustakaan. Tapi ini hanya mulutnya saja yang seperti mengucap kata “hei” itu, suaranya sendiri tak ada. Lelaki ini maju beberapa langkah ke arahnya, seperti sedang ingin bersikap lebih akrab. Namun hanya begitu saja. Ia tetap di luar perpustakaan itu, menikmati rokok yang diisapnya itu. Hemat kata betul lelaki ini. Dan wajahnya juga tetap dingin-dingin saja.
Ia tak membalas ucapan lelaki “hei” itu. Namun ia menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa ia tak mampu bersikap biasa saja. Memang sesungguhnya ia sedang menikmati perasaan tak nyaman itu. Perasaan yang mengaduk-aduk emosinya itu. Namun sebagaimana binatang macan yang selalu tampak tenang, ia juga menenang-nenangkan gemerutuk yang menggerogoti tubuhnya. Ia sembunyikan perasaannya yang sebenarnya jauh-jauh. Padahal ia tengah mengincar mangsanya itu. Kini malahan tambah ada sepercik api di dalam dadanya.
2
SEPERTI tadi sudah kuceritakan, peristiwa kecil ketika si lelaki menyapanya dengan “hei” itu, diingat dan dipeliharanya terus gejolaknya. Bukan soal pertemuannya. Namun ya perasaan tak nyaman itu. Setiap kali ia sudah kembali normal, ia malahan mengingat-ingat pertemuan kecil siang itu…maka perutnya kembali mual, perasaan benci yang tanpa sebab kembali datang. Sejak itu, ia mulai melihat-lihat peralatan di dapurnya. Apa saja benda tajam yang ada di rumah ini. Ada pisau beberapa jenis, untuk iris roti, iris daging, iris keju, iris wortel…huh tak ada yang cocok untuk iris sesuatu yang lebih kenyal dan keras!
Kini dadanya berdebar setiap kali berada di dapur. Jika tiba saat harus melakukan sesuatu di dapur untuk dimakan, ia jadi gugup dan gemetar. Gelas atau piring hampir saja jatuh karena tangannya memegang benda-benda itu dengan gemetar. Saat waktu minum teh tiba, ia lebih suka duduk di kursi yang di depannya ada kacanya. Sebab dari situ ia bisa langsung mengawasi rumah depan. Matanya mencari-cari, atau tepatnya menunggu-nunggu kalau-kalau lelaki itu muncul? Kemarin pagi si yang dinanti itu muncul, hanya kepalanya saja, membuka jendela kamar atas ruang tidurnya. Sebentar saja karena sepertinya ia segera turun, mungkin ke dapur atau kamar mandi. Tapi heran, hal itu itu sudah membuatnya “senang”. Ah, senang? Benarkah? Yang jelas, ada struktur di syaraf otaknya yang bekerja lebih aktif dari sebelumnya.
3
DI sebuah hari minggu yang dirayakan lebih istimewa dari hari lainnya, ia bermaksud pergi ke sebuah rumah ibadah. Saat ia berjalan, beberapa ratus meter di depan dirinya, ia lihat lelaki itu juga berjalan ke arah yang sama dengan dirinya. Menuju ke kota bawah. Tempat mereka tinggal memang di sebuah daerah di atas bukit yang terpencil. Jika mereka ingin melakukan sesuatu atau membutuhkan suatu barang, mereka harus turun. Ia percepat langkah kakinya agar lebih dekat dengan lelaki itu. Padahal, makin dekat, perutnya seperti makin melilit-lilit saja. Haus sekali, lapar sekali. Daging. Darah. Tapi itu semua seperti ia abaikan saja. Sebab ia sedang konsentrasi mempercepat langkah kaki agar lebih segera sampai ke lelaki itu.
“Hei,” sapanya ketika sudah tiba persis di serong samping belakang si laki-laki.
Lelaki itu menoleh dan melihat ke arah dia. Tatapan matanya dingin tanpa ekspresi. Seperti biasa. Bajunya agak aneh kali ini. Biasanya, di berbagai cuaca, ia selalu setia dengan biru putih. Kadang jins biru dipadu dengan kemeja atau kaos putih. Kadang di balik, jins putih dengan kaos atau kemeja biru. Itu sudah menjadi seragamnya saban waktu. Aneh kali ini, ia mengenakan kemeja hitam dan jins hitam. Dan…oh rupanya si putih dan biru ada di topinya! Ia mengenakan topi dua warna, bawah biru dan putih di atasnya. Dan rupanya si biru putih itu berasal dari jin. Ya dari bahan celana yang biasa dipakainya selama ini! Apakah ia menyobek celana-celananya? Belum sempat ia memeriksa apa yang terjadi dengan perut atau debar dadanya, huh, ia malah terpancing pada sang topi! Topi itu terbuka di bagian atasnya. Mamamia!
“Topi. Terbuka. Yang Kuasa,” ujar lelaki itu tanpa ditanya, juga tiada menoleh ke yang diajak bicara. Manusia hemat kata.
Ia terbengong. Namun sebaliknya (dan sekaligus), macan dalam dirinya datang lagi. Mengaum-aum, menggeram-geram, mengendus. Mangsa sudah dekat.
Perutnya bergolak. (Ia lalu hentikan langkah).
Lelaki itu tak menghiraukan dan meneruskan perjalanan begitu saja.
Perutnya pedih. (Isi perutnya mendesak-desak minta keluar).
Perutnya mual. (Dadanya naik turun, kepala berkunang-kunang).
Perutnya seperti ada yang memompa dari dalam.
Ia lalu lari ke arah semak belukar. (Di sana, ia muntah-muntah).
Entahlah, apakah ini melanggar kebersihan di negeri ini. Ia tak sempat berpikir soal itu. Perutnya benar-benar kosong kini. Lidahnya terasa jadi pahit.
4
MALAMNYA, ia sedang duduk tepekur di kursi yang biasa untuk minum teh. Pikirannya kosong saja. Jendela berkaca itu sudah dia tutup tirainya. Tiba-tiba, lamat-lamat, ia dengar ada suara dari rumah di depan studionya. Suara pintu rumah dibuka. Lalu langkah kaki mendekat ke studionya. Lalu…tuk tuk tuk…Seseorang itu tiba-tiba saja sudah mengetuk pintu kaca studionya. Ia kaget, meski semua itu dari tadi sudah diamatinya.
Pintu dibukanya. Ini spontan saja menghormati tamu. Deg! Wajah lelaki, tetangga serumahnya itu muncul di depannya. Ya ia lelaki yang selama ini selalu dipikirkannya itu. Lalu…tanpa ba bi bu, kedua tangan lelaki itu tiba-tiba saja sudah memegang lehernya! Ia terpana. Pegangan itu makin lama makin kuat…sampai ia tak bisa bernapas!!! Tapi akhirnya lelaki itu melepaskannya begitu saja. Begitu saja…Lalu ia pergi. Juga hanya begitu saja. Balik kembali ke rumah dia sendiri. Santai meninggalkannya. Sebuah peristiwa yang begitu saja.
5
PAGI cerah. Matahari muncul dengan warna merah jambu. Beda dari warna matahari di negerinya, merah jingga. Ah, ia jadi ingat di negerinya sendiri. Pagi begini adalah waktu untuk menanak nasi untuk suami, dan memasak sesuatu sederhana lainnya untuk pagi. Juga mengganti popok bayi, memandikan, menyusui bayi dan suami yang selalu marah-marah jika ia mendengar bayinya menangis tak henti. Ia sering mendapat tempeleng dan hajaran jika waktunya sedikit berlebih untuk si orok ketimbang melayani hasratnya seksual suaminya yang sering muncul pagi-pagi. Dan…beberapa kali sudah suaminya mencoba mencekiknya juga. Tak terhitung sudah…
6
TIBA-TIBA seseorang sudah ada di depan pintu studionya yang sengaja ia buka sejak tadi supaya hawa segar pagi masuk.
“Permisi. Perkenalkan, nama saya Elsebeth. Nyonya Elsebeth.”
“Oh!”
“Apa kabar? Anda dari mana? Saya tinggal di seberang rumah ini. Saya volunteer yang selalu menemani dan menjadi teman semua tamu-tamu yang datang ke rumah ini. Sudah bertahun-tahun beginilah saya. Ingat ya, Elsebeth nama saya. Kali ini selain Anda, ada tamu bernama a, b, c…mereka masing-masing berasal dari negeri a, b, c…”
Lalu satu-satu, ia menceritakan tentang tamu-tamu di rumah ini. Siapa yang sudah datang, siapa yang akan datang lagi. Juga tentang pemilik rumah ini yang adalah sahabat karibnya. Yang paling menarik, tentu saja bagian ketika nyonya ini menceritakan tentang si lelaki gondrong putih besar tinggi perokok dingin kaku hemat kata itu. Agaknya dia sudah beberapa bulan lalu tinggal di rumah ini.
“Dia seorang pemberontak, orang keras di negerinya. Ia sekaligus sedang mencari suaka di negeri ini. Sebagai pemberontak ia hero. Namun secara pribadi ia orang aneh. Dan untuk urusan pribadinya, ia sangat tertutup pada orang-orang di negerinya.”
“Oh!”
“Namun, ssstt, ia bisa terbuka dengan saya. Ia seperti bayi, Oh my baby,” kata ibu ini mengawang, suara berubah pelan seperti berbisik.
“Tanpa diketahui banyak orang, ia pernah menginap di penjara beberapa hari. Namun bukan karena tulisannya tapi karena ia disangka membunuh istrinya. Tapi peristiwa itu kontroversial. Tak ada bukti-bukti yang memberatkan. Ia bebas.”
“Istrinya baru saja melahirkan bayi ketika ia meninggal.”
“Bayinya masih beberapa bulan usianya.”
“Oh!”
“Istrinya depresi tak mampu layani hasrat seks-nya saban pagi yang seperti harimau.”
“Beberapa kali tanpa sadar ia mencekik istrinya sendiri.”
“Oh!”
“Istrinya mati mendadak.”
“Ia sedang menyusui bayinya.”
“Sementara itu, ia terus menulis dan membuat kritik tajam…”
“Istrinya adalah temannya semasa masih mahasiswa dulu. Dialah yang menyelamatkan jiwanya dalam pembantaian masal dulu itu.”
“Oh!”
“Istrinya yang waktu itu masih jadi pacarnya menyeret tubuhnya dan menyembunyikannya dari kejaran polisi.”
“Oh!”
“Ia lari dari peristiwa pribadinya yang berat itu dan kebetulan mendapat stipendium di rumah ini dan ia boleh tinggal di sini selama beberapa bulan dan mendapat beaya hidup juga.”
“Oh!”
“Selama di sini ia berubah khusyuk. Setiap pagi ia selalu pergi ke -rumah kesunyian-, tempat ibadah bagi sembarang agama. Pindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah kesunyian yang lain-lain yang ada di beberapa kota di dekat sini.”
“Saya pernah bertemu dengannya di satu rumah kesunyian. Di dalam, ia ternyata hanya diam saja. Hanya duduk di kursi. Katanya, ia tak perlu apa-apa atau bagaimana-bagaimana. Katanya, otaknya sudah berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa. Makanya ia membuat topi dengan ujung atas terbuka…”
“Itulah…”
“Itulah…”
“Oh!”
7
SETELAH si tamu pulang, tiba-tiba seperti ada rangkaian baru dalam otak. Kini ia berada di antara ruang bayang dan ruang nyata. Termasuk pada peristiwa malam kemarin perihal lehernya itu. Ia tak yakin apakah itu nyata atau sesungguhnya tak nyata…tak nyata antara dirinya sendiri dengan mantan suaminya yang ia tinggalkan jauh di negerinya sana. Sekeping sejarah pahit. Sedang lelaki yang tinggal di depan studionya itu, bukankah ia bukan siapa-siapa? Semestinya ia baik-baik saja dengannya. Kini perutnya tak lagi berasa mau muntah. Perasaan ingin mencabik-cabik itu lenyap dan padam begitu saja. Si macan, yang baru tumbuh di tubuh, itu telah tak ada. Namun, sejak itu ia lantas juga jadi rajin pergi ke rumah-rumah kesunyian di kota kota lain di benua itu. Tapi bukan, bukan lelaki itu yang dicarinya, namun teror, teror di tubuhnya sendiri. Ia terus mencari…
rumah theodor, 2009