Susy Ayu
http://oase.kompas.com/
Aku melihatmu di tengah kerumunan, dengan pucat yang memasi di seluruh mu. Tanah pijakanku serasa bergetar disaat kaki mungil bersepatu kets mu menjejak dari atas kereta malam terakhir. Udara malam kini menamparku berkali-kali dari keterpesonaan.
” Menepilah?!”
Sebelah tanganmu menutup wajah, ketika darah terpercik dari kerumunan. Sebelah lagi kau biarkan kuraih untuk menepi.
“Tidak seharusnya dia diperlakukan begitu?dia hanya pencopet kecil?” suaramu merintih.
Sungguh aku yang terkapar, kau curi semua rasa di dalam hatiku dengan bibir gemetarmu, wajah pucatmu terus menerus menggantung di pelupuk mata. Kau bangkitkan aku berkali-kali.
Kau bilang kau pernah membenci kota ini, bahkan mungkin masih tersisa itu di dalam hatimu. Tapi sesuatu hal membawamu kemari, sendiri, dan pertemuan tak terduga ini mencipta banyak hal diluar kuasaku.
Kau cuma bergumam, dengan kalimat yang sulit kumengerti maknanya, bahwa alur hidupmu berubah di kota ini. Kota yang berpakaian sangat santun ini sanggup mencabik habis seluruh lorong nafasmu. Kau membenci tempatku menatap bintang sepanjang malam. Tapi disebaliknya, kau duduk bersebelahan denganku, cuma ini caramu mencintai rasa sakitmu, kau bilang begitu.
Tapi aku tidak cukup punya waktu untuk berusaha memahamimu, pun untuk memahami ledakan-ledakan dari suram di dalam sini.
Aku berharap sedikit saja cahaya dari mendung di atas langit rumahku, tapi kau memberi banyak, lebih dari bulan yang sengaja purnama. Di usia hampir tiga puluhku ini, percayakah kau jika ku katakan bahwa cinta pertama kali datang untukku?
Aku selalu berharap kau percaya geletar pertama yang bangkit sebagai pengetahuan, ini adalah sesuatu yang kita sebuat cinta. Dan kau yang mebawanya ke rumahku, aku melihat geletar dimatamu yang tidak sependapat denganku.
“Apa artinya,.” katamu.
Tidak memberikan makna apa-apa dalam hidup, apakah dia datang yang pertama atau kesekian. Bagimu itu hanya dongeng-dongeng kepedihan yang terus menerus diturun temurunkan. Kenangan yang memaksakan diri untuk mencipta rasa bahagia bagi orang-orang yang merasa kehilangan.
Ah, tidak, aku tidak ingin membuat deretan kenangan di bumi ini tentang sebuah kisah cinta pertama. Memalukan, kita berdebat di rumput rumahku hanya karena sebuah cinta yang datang pertama kali. Tapi jika kau ijinkan aku bersumpah, aku ingin membelah langit dengan semburat dari matamu, sinar itu tentu akan sanggup, seperti ia telah membelah dadaku dan meninggalkan bongkahan besar untuk selalu kusimpan.
***
Kau mulai menyibakkan selubung kelabumu dengan sebuah kisah seperti hujan yang sangat sedikit, tentang kebencianmu yang membuatmu selalu merasa terdampar di kota ini sekaligus membuatmu ingin kembali dan kembali, meski tanpa kekuatan.
Kala itu, berbaring dalam telanjang di tengah jerami kering, Jogja, memanggilmu “perawan”. Tapi engkau bukan Maria, dan juga bukan bayimu (yang tak sempat lahir) adalah Jesus.
“Tapi telah kuberikan cintaku seutuhnya!” sergahmu.
Tetap saja, sejarah mengancingkan celananya dan berpaling. Maka dengan pedih di selangkanganmu kau teruskan hidupmu. Kota itu pun bangkit dari tidur ayamnya dan mencegahmu berpamitan.
Kau lalu memang menyelinap darinya sambil terus menyusun kiat yang lebih nyaman untuk berselingkuh dengan dirimu sendiri, sebab semua kota cuma hamparan lendir bagimu. Kau terus berjalan karenanya, sampai kemudian kau temui laki-laki lain itu, yang telapak tangannya berlubang. Dan selain alasan penyaliban atas dirinya sendiri, ditempuhnya sekarat untuk ia sampaikan pesan ini : Bahwa Engkau tak berdosa Bahwa kota itu, yang adalah kota ini, tetap memanggilmu ?perawan !?
Kau menyusut air matamu perlahan.
Tapi ternyata musim berdusta tak bertahan lama, kau terkoyak lagi, oleh sebuah penuntutan yang tak bisa mengadili dengan adil. Kau tetap saja seorang perempuan yang tidak sebening embun ketika matahari mulai terbangun walau hanya kota ini yang tetap memanggilmu perawan.
Kau ciptakan sungai dan senja, di sebalik kenanganmu yang sarat oleh siksa, juga di telapak tanganmu. Warna jingga keunguan kau semburatkan di ujung jari. Jika makna alirku serupa batu hitam di dasar berlumut, hanya senjamu yang dapat menghapus warna laut. Abadikan ia dalam remasan tanganmu. Dan kapal-kapal akan terselip di rambutku. Badai akan tercipta dari helai-helai gairah yang berguguran. Mengalir, mengalirlah kata-katamu di sungai mu. Senja merah yang sangat kusuka. Tanganmu kekal meremas punggunggku.
Lalu kau menangis?..
Dengarlah perempuan yang kutemui dalam separuh perjalananku, aku adalah batu hitam yang diam itu. Sebermula adalah wujud untuk kemudian menjadi ada. Dari ada lalu terbit kesedihan, dan pada kesedihan hinggap kehidupan. Bersamanya, hinggap pula engkau. Maka cuaca telah mempertemukan kita. Dan senja yang kau ciptakan memperlembut kemarau, menaburkan embun dan menumbuhkanmu. Akarmu lembut menggemburkanku. Lalu dalam musim, kau mengikisku, butir demi butir, tanpa aduh, tanpa keluh.
Kau telah menghidupkan aku dalam urai. Untuk kemudian larut sebagai gembur, tempat di atasnya kau beranak pinak, menghampar hijau tengadah menentang matahari. Bersediakah kau menikah denganku nanti?
Kau cuma menangis?.(lagi).
Sementara putingmu bergeser di punggungku, aku bercerita bahwa sebatang selokan ini Rajaku yang bikin. Ketika Opak dan Progo bertemu, maka Mataram akan menjadi rahim bagi kelanggengan. Ketika kemudian sungai darahmu dan sungai darahku menyatu tak lama kemudian, tidakkah gagasan tentang keabadian Mataram itu begitu syahwati? Tak kau jawab tanyaku.
Matamu maut yang padam menatapku, dan cengkeraman kukumu di punggunggku?Ah..keabadian adalah sedetik sebelum kau tertelungkup, sungai hidupmu mengalir, sungai hidupku mengalir, dalam gelimang cahaya bulan di permukaan selokan Mataram.
Kau telah menemukanku, yang tersesat dalam kabut. Ketika kupanggil namaku, tapi cuma gaungnya sendiri. Lalu hujan turun, lagi, bertahun kemudian. Masih saja tak ada siapapun. Cuma sepotong sajak yang menegaskan aduhku. Hujan turun di rumput. Ada juga hujan untukku, dan Nuh. Tapi tak akan aku bersamanya, sebab bahkan belibis pun berpasangan di danau itu. Siapa gerangan aku, laki-laki, di padang ini, di Timur Sorga, tanpa Hawa?
Ingin kusebut engkau ibuku, yang telah memberiku koin, untuk membuatku menempuh level berikutnya. Kau telah membuatku terus menerus merasa berharga, sebab koin-koin membuat pertempuran terus ada, dan akulah pemenangnya. Meski bila tidak, kau selalu memberiku nafas, seperti koin yang terus selalu ada untuk pertarungan berikutnya.
Ingin ku sebut kau adalah ibuku, yang dari putingmu terus menggelinding koin-koin berikutnya, gairah hidupku, rasa adaku.
Kau yang telah menemukanku! Tidak sekedar sebuah cinta baru tumbuh di hati yang berkarat.
Kau menarikku dari tempatku tinggal, membuka mata hati untuk berusaha melihat bahwa jalan ini tidak seburuk yang kukira. Patahan-patahan semangat kau susun, seperti menjahit perca demi perca. Kau mencipta aku, wahai perempuan. Lebih dari sekedar jasadmu yang terbangun dari tulang rusukku. Ah, karena itukah yang membuatku lemah?sementara kau tidak perempuan, tak ada yang mengurangi rusukmu.
Kupikir kita telah menggenggam harapan, ketika kita menautkan apa yang disebut cinta. Terlambatkah itu menyerbuku? Lalu kaupun berkemas, sebelum mengakhirinya dengan sebuah selamat tinggal yang ganjil. Tapi kereta selalu tak mau menunggu, meskipun ia selalu bisa saja berangkat telat, seperti semua kekasih yang mengkhianatimu.Hingga malam itu, dalam lengking yang terdengar seperti peluit terakhir, malam menelanmu bulat-bulat, dengan suara gemuruh yang masih saja bergema sebagai separo mimpi separo jaga hingga dua puluh tujuh purnama kemudian.
Aku mengenangmu sebagai suara gemuruh yang hilang di ujung stasiun, mengingatnya lagi dan lagi, bertalu-talu dalam nadiku. Hingga kemudian, ia menyatu sebagai degup jantungku. Demikianlah engkau tinggal dalam diriku, jauh sesudah semua pengkhianatan yang paling pedih dilupakan orang, dan bahkan tidak bisa kueja lagi sejarahmu sebagai kata-kata. Engkau tinggal di sekelilingku sebagai cuaca yang memerangkapku dari musim ke musim.
Tapi pun aku tahu, kau mengambang juga di langit kotamu. Memerangkap sekian laki-laki lain dalam cuaca. Aku tahu. Aku tahu. Pengkhianatan telah menjadikanmu begitu lihai mengemas kegetiran.
Dan kereta malam terakhir itu telah benar-benar merampasmu dari heningku yang sudah mulai bingar. Kau selimuti engganmu dengan senyum , dari sebalik jendelamu kutanggap keberatan itu. Tangan yang dipaksa untuk melambai tanpa gerak, melekat. Aku berlari, coba menyusulmu, mengiringi lajunya. Kau terampas, aku terkapar, aku harap ini hanya sejenak. Sekedipan mata. Kelak aku ingin kita bertemu lagi.
Kau tahu, di seberang pengkhianatan, tidak ada lagi yang cukup pedih untuk menjadi sebuah roman yang mengharukan, pun juga tidak celotehan tolol separo-mimpi-separo jaga ini.
Kelak, aku akan cuma jadi laki-laki kesekian dalam hidupmu. Laki-laki kesekian yang tidak penting lagi untuk mencintaimu atau mengkhianatimu. Tapi aku mengingatmu, sebagai gemuruh yang lenyap di ujung stasiun.
Satu-satunya ingatan yang diijinkan kumiliki, sebelum membeku sebagai sebongkah batu, yang cuma bisa merasakan kesunyian, tapi tak bisa menamainya. Ya, aku tak bisa menamaimu. Aku merasakanmu, mengingatmu, tapi tak bisa kunamai kenanganku.
Kelak, perempuan, bila tiba saatnya, aku akan menemuimu, setelah kusesap lagi Buah Pengetahuan sekali lagi, terkutuk untuk kedua kalinya, terlempar dari diam ini, mencarimu di muka bumi, terperangkap di bawah kolong langit. Sebab, perempuan, sebab it is you that invented me.
******
Ah?.Di manakah kau ,Mbak?
Betapa tololnya aku, setelah habis hembusan rokokku berbatang-batang baru kusadari kau begitu jauh dariku. Berapa jarak kita , Mbak? Ratusan kilometer ini menjamahku dari tenang di sisimu. Kau ada di jarak itu, dalam sebuah rumah, dimana seorang laki-laki menjaga pintunya, dan di kakinya kau bersimpuh, membasuhnya. Mungkin bukan, kau adalah putri itu, yang selendang putihnya melambai oleh angin di pucuk menara, dengan naga melingkar di jenjangnya, dengan mantra mengambang di gerbangnya. Di sana, aku tahu , seorang nenek sihir menjelma laba-laba tua yang sarangnya memenjaramu.
Tracy Chapman di layar, menggantung di depan stage. Di atasku, langit menyingkap, bintang-bintang, ah. Sebatang lilin bertahan dari gerimis di sebuah cekungan, mencegahmu untuk tidak terperosok di sana, lalu bangku-bangku , dan kursi, music itu, gadis ?gadis bak boneka keramik itu, sejumlah pasangan yang bergeremang dalam gelap. Kupikir kopi ini terlalu pahit, mungkin aku membutuhkan tambahan gula. Ketika waitress itu mendekat, ia mendekatkan telinganya ke mulutku, “Apakah saya bisa minta tambahan gula lagi?”
Kupikir aku adalah seorang pengembara, menyalakan unggunan api di seberang jendelamu. Kulihat kau berdandan, nun di atas sana, dan selendang itu masih saja melambai oleh angin. Ketika kusesap kopiku, dari balik lidah api itu, kesedihan menyerbu dengan cara yang sangat menyakitkan; untuk siapakah gerangan, Her majesti, engkau berdandan? Sungguh angin begitu jahat di luar sini. Dan sunyi ini merubung tak tertahankan. Pun langit tetap saja melengkung tanpa jawaban. Kenapa kita tidak bercakap saja, berdiang dengan kata-kata ; mungkin tidak, mungkin cuma bertatapan, atau bercinta begitu saja, seperti sepasang serangga.
Lalu, sejumlah permaafan, atas jarak itu, laki-laki itu, nenek sihir itu, naga yang melingkar itu, mantra itu, menara itu, adaku dan adaku, yang tak bersisian. Ketika aku mendongak, kau menatapku. Matahari sudah tenggelam lama sekali.
Seseorang memanggil namaku, “Maukah kau memberi pengantar untuk pertunjukan kita malam ini?”
Menempuh meja-meja itu, gerimis membungkusku, dan di bawah lampu aku tersenyum pada penonton yang tak kukenal dan berkerumun dalam remang. Ia mati muda, kataku, seperti Chairil Anwar, Soe Hok Gie, atau Nike Ardilla. Kerumunan itu tidak menjawab, aku tahu, aku bicara untuk diriku sendiri, sebab aku adalah laki-laki di bawah sorot lampu.
Aku berharap kau ada di sana, meskipun tak kulihat kau dalam gelap. Aku berharap kau menungguku, setelah aku turun dari panggung, menempuh meja-meja, pasangan yang bergenggaman, dentum musik dan sorot lampu. Aku berharap kau menungguku, untuk saling berbisik lagi, dan menjadikanku laki-laki yang tidak bicara pada dirinya sendiri.
Dalam benakku, kutemukan kau menatapku. Matahari sudah tenggelam lama sekali. Hallo, can I call u , Mbak? Tengah malam ini, kutulis sebuah surat panjang untukmu.
Aku belum bisa terlelap. Kamu sedang apa?
Sender: mbak
+ 6281284XXXXX
Boleh aku menelponmu, mbak? Sebentar saja.
Send.Klik
Delivered
Tidak perlu! Dia memang tidak pulang lagi malam ini.
Aku hanya ingin tahu kamu baik-baik saja.
Irit-irit pulsamu. Selamat tidur ya?
Sender: mbak
+ 6281284XXXXX
***
Dalam tidurmu kau bergumam. Dan ketika kusadari bahwa hujan masih gerimis di luar, aku meraihmu. Di cekungan punggungmu, tanganku tergelincir. Kusentuh lehermu, lunak. Dari balik kulitnya nadimu berdenyut. Di dalamnya, darah mengalir. Sunyi berkejaran di sana. Kau bergumam lagi.
” Tidak sayang, malam masih panjang.” kataku. “Bersembunyilah.”
Pagi nanti sejumlah headlines akan menyerbu. Aku ingin kita terperangkap di sini, dalam sekarat abadi ini, sebab hidup cuma setarikan nafas, dan kita cuma akan bisa berbahagia.
“Tidurlah,” kataku. Kulitmu licin, dan tiap kali aku menyusurinya, hidup menguar dari tubuhmu, bergelombang; dimintanya engkau menanggunggkannya, dari sepi ke sepi, aku tahu.
Tapi tidak malam ini. Di bawah selimut, kita telanjang, seperti manusia pertama yang tidak mengenal pengetahuan, dan Tuhan seperaihan tangan dari adaku dan adamu. Semesta baru saja diciptakan, kau cium baunya, mengambang di luar sana. Kita tidak ingin perduli.
Di atas pahaku, kakimu menindihku. Kurasakan selangkanganmu di sana. Lembab, dan dalam setarikan nafas, aku akan tahu di situ menguar bau ludahku. Dalam gelap kita saling menjilat, karena kau tahu kita tidak abadi.
Ingin, ingin sekali aku menarikmu dari sana, dari tubuhmu yang tidur, untuk kemudian kau kenakan tubuhku, merasakannya. Aku ingin kau menjadi diriku, dalam dekat ini, memelukmu yang lelap. Dan akan kuajukan sebuah pertanyaan, “Apakah ia bahagia? Lihatlah, nafasnya teratur, kau bisa merasakan detak jantungnya, mendekatlah, cium ubun-ubunnya, kau baui rambutnya? Ia bahkan tidak mau melepaskan tubuhnya dari pelukanmu.”
Akan ada sebuah perasaan bahagia yang ganjil menelusupimu. Mengembang seperti alam semesta, dari Penciptaan ke Kiamat, dan miliaran tahun adalah sekejapan mata. Akan ada jawaban untuk semua rahasia, yang akan menindihmu, sampai kau kelu, sebelum akhirnya meledak, sebab kau tidak akan mampu menyampaikannya padaku. Seperti Musa yang tak juga siuman di Bukit Sinai. Rahasia itu, bukankah tak tertahankan jawabannya, pun bila kau mampu memahaminya?
Di bawah rambutnya, kulitnya berwarna putih. Kau akan tersesat di sana. Setelah tersesat kau akan memanggil-manggil namanya, memintanya untuk membawamu pulang. Dan dia akan turun dari langit sebagai seekor bangau. Dan kau akan terbang bersamanya dalam gendongan di paruhnya, sebagai bayi. Dan dibawanya kau mengatasi keberadaanmu. Dan dibenamkannya kau dalam lembab hutannya, disusuinya kau dengan putingnya yang kerikil; kau akan menggigitnya keras-keras, sebelum ia melenguh. Dan dalam teriakan terakhir, dalam satu sentakan di selangkangannya, ia akan berdenyut cepat, melahirkanmu. Lalu kau akan menangis begitu saja seakan tanpa sebab, karen akau tidak ingin dilahirkan. Karena kau ingin terus berada di dalamnya. Karena kau adalah anak cucu Adam, yang menangis jua di Canaan, setelah pengetahuan membuangnya dari surga.
Dan dalam kapar, kau rasakan itu, keberadaanmu yang penuh sekaligus terasing, mengambang mengatasi dunia yang perawan di matamu, terhampar di luar tubuhmu. Aku tahu.
Dalam tidurmu, tahukah, aku berbisik padamu?
“Setelah sejumlah teriakan tertahan dan ledakan, Mbak sayang, kita akan mengalami kematian-kematian kecil. Dengan demikian kita tahu, hidup ini berharga untuk dijalani, pun bila ia adalah sebuah kutukan.”
Hujan masih gerismis di seberang jendela. Di sini, kita bersembunyi, dalam sekarat abadi.
***
Apa yang akan aku lakukan padamu, ketika pertama kali kita akan bertemu lagi?
Kulihat kau duduk di sana, di bangku fiber itu, keras, dingin , berwarna plastik. Dari jauh, aku akan sudah mencium baumu. Di tubuhku, melekat tujuh ratus kilometer pencarianku, bau besi layu, debu, keringat, debar jantungku. Di dadaku, kerinduanku. Di seberang pagar, Monas, tegak di atas Indonesia Raya yang terus menerus murung.
Kau seperti Jakarta. Bersolek terus menerus dan tak kunjung bahagia.
Aku akan menyapamu, mungkin dengan gugup, barangkali juga degup; dalam genggamanmu, kau tahu dalam diriku ada yang terus bersiap untuk meletup.
Lalu, Jakarta akan menenggelamkan kita. Di dalam taxi tangan kita bergenggaman, hatimu yang rusuh, sebab kau tahu barangkali tiap kelokan tengah mengawasimu. Di balik jendela, terpisah dari udara AC, Jakarta menggeram dan terengah; kemana, dimana, kemana Jakarta akan menyembunyikan kita?
Ingin ku bawa kau pergi dari sana, dari reruntuhan itu; di bawah lampunya yang gemerlap kau tidak berbahagia. Pergi, pergilah dari sana. Bersamaku kita putari bumi, seperti Columbus yang bertaruh dengan sebutir telur. Kita manusia pertama di muka bumi. Kau adalah istriku, Hawa, dan langit masih terus saja melengkung. Kau tahu, seharusnya kita tidak berada di sini. Kita pergi dari sini, ke tempat burung-burung bercakap, dan tak ada yang terjadi di luar lapar dan birahi.
Di bawah Pancoran, hatiku ngungun. Laki-laki gagah dan tegap itu, pada siapakah api yang nyala di tangannya itu hendak menerangi? Meluncur di jalan tol, menggenggam tanganmu, membaui ubun-ubunmu, dadamu yang lunak, tubuhmu yang lembut, kusapa Jakarta. Jakarta yang kubenci, Jakarta yang menyembunyikanmu. Jakarta yang menyembunyikan kita. Di bawah ketiaknya orang-orang berkerumun untuk hidup yang terlalu berlendir untuk dibela; Jakarta, Kramat Sentiong, Stasiun Tanah Abang, Tanjung Priok, Bekasi, di sana kita akan bercinta.
Aku tidak ingin kau hamil. Aku ingin menghamilimu di Tambi, di bawah perdu teh, tidak di sana. Aku ingin kau hamil, ketika kita bercinta di rerumputan, di semak-semak seperti binatang tak jauh dari belibis yang berenangan, di Ranu Kumbolo. Di rumahku kelak, tempat dua ekor koki berenangan di akurium dan hujan turun di luar. Tidak, tidak di Jakarta. Marilah kita menipu kota yang bangsat ini, kota yang terus menerus berdandan namun tak kunjung bahagia. Perempuan-perempuan semakin banyak kutemui kau, semakin aku merasa sendiri.
Di manakah keabadian cintaku? Kau pahamikah kecemasanku, perempuan, kalau kubenamkan wajahku di dadamu? Sebab tak mampu kutatap putingmu di mana dari sana menetes susu yang memberiku kehidupan. Kau pahamikah kecemasanku, perempuan, bahwa tanpamu, siapakah aku di dataran keyakinan ini? Kau pahamikah ketakutanku, perempuan, bahwa di hadapanmu, aku berubah sebagai bayi, dan sebagai bayi aku tak hendak bersedia terlahir, seandainya saja bisa ku tawar? Bahwa disini, diriku, seluruh kekuatanku, kesombonganku, hidupku luruh, sebab kau perempuan, kau simpan jalan pulangku, di selangkanganmu?
Dalam birahi, kehidupan dan kematian bersatu. Dalam birahi, kau dan aku cabar seperti kabut. Dalam birahi, aku lenyap dalam dirimu. Maka perempuan, susui aku lagi .Biar kusesap habis dirimu, sebab dinamakanNya kau Hawa, lantaran kau adalah ibu dari segala kehidupan.
Denganmu, Mbak sayang, aku ngungun oleh cemas asali ini. Denganmu, Mbak, kubiarkan ia menipuku. Sebab dalam benamku di tubuhmu, aku akan berteriak, sebagaimana ceracau Adam oleh langit yang tanpa jawaban. Dan usai aku tumpah, Mbak, ingatkan aku untuk pulang. Sebab hidup belum lagi usai untuk dijalani. Sebab kau adalah istri seseorang. Sebab kita tidak berdosa, dan suatu ketika kelak kita tidak akan lagi harus bersembunyi. Kita akan bercinta di manapun, sebab dengan kesungguhan hati, kita akui kecemasan kita akan yang tak abadi itu. Dan hidup, ah, adalah kesempatan buatku untuk menciummu berpanjang-panjang.
Maka, Mbak, temui aku di stasiun Gambir, lalu kita susun kembali kemuakan kita akan dusta kotamu, dan hidup kita dalam birahi, hingga terbakar , hangus dalam bahagia.
” Pulanglah ?.dan jangan pernah untuk melihat kebelakang?.dimana pernah ada kita”. Tapi kau malah memintaku demikian. Mataku berkaca. Masih kugenggam erat tanganmu di atas meja, di sebuah rumah makan, di depan toko buku yang selalu menautkan hati kita melalui kesukaanmu itu. Cuma itu tempat kita.
“Tetaplah di Jogja, banyak hal yang bisa kau lakukan di sana. Itulah tempatmu,?”
“Tidak, Mbak, tempatku di sampingmu, kelak aku akan sanggup membawamu dari laki-laki itu”.
“Tidak ada masa depanmu denganku, tolong, lupakan aku.”
“Tapi kau tidak bahagia, kau disakitinya terus menerus,sepanjang waktu, dan aku tidak sanggup melihat itu.”
“Bagaimanpun juga dia masih suamiku, apa yang kita lakukan adalah suatu kesalahan.”
“Terlambat kau bilang itu sekarang, Mbak, Cuma kau tempatku pulang.”
Persetan dengan laki-laki itu, diapun berselingkuh, kenapa dia tidak menceraikanmu saja? Aku membencinya, juga kau atas nama cintaku. Aku mengutuk dalam hati.
Semua itu kemudian menjadi pembicaraan kita yang terakhir. Tak ada yang lebih kuat tersisa di ingatanku selain lebam di matamu, dan kau biarkan tangan laki-laki itu terus memperlakukanmu demikian. Maka aku pulang, kembali menjauh tujuh ratus kilometer darimu seperti sebelum semua dimulai.
Saat ketika kau tidak mengijinkanku menangis sendirian,
aku akan mengingatnya. Apapun yang akan kita tempuh?
You are the most precious thing ever happened in my life
Sender: mbak
+ 62812xxxxx
Ah Mbak, rupanya cintaku belum cukup besar untukmu.
Send.Klik.
Pending.
***
Bekasi, (sekian waktu yang lampau)