Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=310
Pada Mozart, katanya hati mencurah dalam angan-angan yang halus, sedangkan pada Beethoven, angan-angan bercepatan dengan beraninya ke yang tak berakhir: itulah kepenuhan rasa yang berhadapan dengan keyakinan daripada tenaga (J. Van Ackere).
Kita dapat pergunakan keduanya, tergantung kejiwaan saat-saat membuahkan karya, bisa berpandangan Mozart ketika jiwa dalam keadaan tersedot peristiwa, terhisap daya pesona semisal kegemilangan iman.
Memasuki angan halus berharap sangkaan lembut menjelma formula penentu gerak laju melembutkan perasaan terdalam. Di kedalamannya ranting kering dihanyutkan arus besar, kerendahan hati menyimak situasi makna terhadapi, apakah daya hidup melembut dalam kemanunggulangan alam ataupun pencipta.
Semacam keterheranan tak mematikan, ketakjuban menarik kalbu mengikuti penanda, apakah angin atau teguran tak disengaja menggelinjak seirama yang tengah terbangun. Dan setiap langkah seakan bocah terbuai suasana, larut ke semenanjung kemungkinan selepas lantas tertandakan angan pertimbangan nalar sebelumnya.
Mozart bukan pendorong tapi sosok perayu memanfaatkan situasi mereproduksi kesaksian, tergetarlah jiwanya menggetarkan sesama. Seperti awan menyapu ubun-ubun pegunungan ke lereng lembah kemajuan renungan, pula dinaikkan angin firasat menjelma kabut dataran tinggi menyadarkan puncak-puncak lain setelah mengikuti yang terejawantah kepasrahan.
Mozart tidak memompa jiwanya namun pergunakan momen sekecil-kecilnya mengisari diri, tak sadar terangkat membumbung bersamanya terbang. Inilah kesaksian penerima takdir menghadirkan yang seolah tak terbayang tapi sudah ada gambaran. Alam bawah sadar menguntit keasyikan sambil terus membaca situasi agar tak buyar bangunan logika, sebelum beredarnya kemungkinan jauh memukau.
Di jalan Mozart tiada kerikil tajam kecuali menandaskan nikmat mengunyah kesendirian dalam gua pertapaan bathiniah, melangsungkan perkawinan malam-malam, tak habis-habisnya gurih tiada jemu menenggak manisnya indrawi; fitroh jiwa senantiasa perawan kecuali perasaan insan bebal panggilan.
Kegembiraan jauh kebendaan yang tercukupi limpahan pengabdian berkarya, selalu merasakan puncak menggetarkan kesaksian. Penglihatan kalbunya menyingkap hijab direguk tiada banding, angan-angan menjelma bangunan musik kemenjadian, yakni peristiwa terangkatnya puing-puing sejarah kemanusiaan. Dirinya sudah berperang melawan keraguan sebelum menandaskan guratan. Ada tak lekang disampaikan usia, manakala tersapa angin abadi lantas berserah meneruskan kembara.
Lebih tegasnya Mozart menerima ketentuan takdir telah ada, musiknya fitroh insani. Di hadapannya anak-anak manusia ialah seniman ketika mengikuti perasaan terdalam, indra menuntun saling menyapa kesadaran bertukar akal budhi, semisal kelepakan sayap-sayap malaikat menyadarkan dunia lain yang menggerakkan perikehidupan.
Manusia tekun menyungguhi kodrati bersinahu keadaan nasibnya, dengan begitu peroleh kegembiraan fitri kesenangan tercurah dari angan alam sekitarnya. Belajar menikmati yang disuguhkan dikabarkan untuk sesamanya dalam bangunan tak kalah mengagumkan. Sebab bunyi-bunyian musik mengangkat wewarna bebentuk yang ada, seperti bermain di bawah bayangan awan, jiwanya teresap kekudusan hayati melena melembutkan penghayatan.
Kini bahasan jiwa penyair musik Beethoven. Di depannya takdir hanyalah jalan lengang harus diisi kesungguhan, atas perjuangannya manusia hadir bersanggup mengagumkan tak kalah keindahan alam. Meski belajar darinya lebih maju lewat mengolah, di sini fungsi kemanusiaan tepat guna. Insan berani tak tunduk adanya takdir, berjuangan keras mengangkat yang menegangkan akal.
Anak manusia harus menjadi pahlawan kalau ingin dikenang, inilah kesungguhan Beethoven melaksanakan cita mengidupkan alam lebih dari harum bunga-bunga. Kesemangatan jiwa tergetar menggema alam bathin tragis contoh perjuangan, maka hadir gugusan kegemilangan nalar sedari jarak perasaan yang kadang diharuskan meninggalkan.
Bagi Beethoven, naluri sekadar pemantik tak bernafas lebih; sejarah panjang pergolakan perang tumpahan darah, memaksa berwaspada lonjakan besar, loncatan tak terjangkau nalar ketika tengah terjadi. Penjelmaan itu berasal hasrat mengumpulkan kilauan cahaya hayati menjelma kobaran kala dilaksanakan.
Dan musik jadi lukisan jiwa insan paling gelisah, kegilaan hadir sebab tulinya pemahaman alam sekitar yang kadang dianggap puncak kesintingan. Di sini seniman lebih unggul, perasaannya sebatu asah di sebilah keris pemikiran, yang diberlakukan jiwa pertanahan sekaligus menyerang.
Dalam pengembaraan jiwa Beethoven mendapati kerinduan angkuh, ini tak lepas dari keringat ikhtiarnya menghabiskan masa muda berkesuntukan, laksana tak menghargai seorang kalau tidak memberi tempat sah. Pencapaiannya kegemilangan dunia, mencakar nalar bentangan awan menarik mendung hingga hujan mau tak mau datang menderas.
Dirinya insaf bahwa kehidupan sungguhlah keras, tak bisa berdiri tegak kalau tidak benar sungguh. Musiknya mengangkat derajat lebih agung dari melodi pastoral, dialah penggagas sekaligus meremukkannya, ketika pertimbangan lanjut tiada berkenan.
Kesadaran darah perjuangan dari nilai-nilai mematenkan dirinya benar-benar hadir. Dan kita peroleh jiwa-jiwa keduanya di genggaman pena penyair Goethe pada Faust-nya yang seakan biji zaitun tidak tertanam di timur maupun barat.