Puisi-Puisi Dian Hartati

http://jurnalnasional.com/
Pelataran Kawah Putih

memasuki wilayahmu
ada hampar pasir jadi gerbang
anakanak angin membangunkan segala ruh
rantingranting membatu
cahaya kehijauan mencipta langit teduh

aku datang membawa raga
dari tangkuban parahu
menyampaikan salam junghuhn
untuk kau yang merajai patuha

eyang jaga satru, aku mendengar laskar yang kau pimpin
suarasuara itu menyadarkan aku
betapa alam begitu ambigu

aku hirup belerang
bau cadas yang siap menyerang setiap ingatan
tanahtanah mengering, batubatu memenjarakan jarak

mengitarimu,
aku mendapati aroma memikat
jalan setapak
hangat udara
juga cakrawala yang tak pernah senja

kau yang menguasai kawahkawah
asapasap pengintai usia
juga suara domba putih, domba lukutan

eyang jaga satru, inikah kerajaanmu
yang setiap hari didatangi peziarah
dari kotakota berlainan

SudutBumi, 2009

Menyulam Sisa Hujan

di teras rumahku ada payung,
sisa hujan sore tadi

kuperhatikan
: masih tersisa jejak kakimu yang basah

sisa kunjungan yang tak usai

SudutBumi, 2009

Jalan Air

aku menelusuri jalan air
menginjakkan kaki di antara deru; lalu lalang tak henti

hujan terus saja menemani perjalanan pulang
menjauhi riuh hari juga senyum bertemu

waktu panjang untuk kamis yang manis
tualang di sebuah kotak
: bernama kantor

air begitu mahir memilin lajur
menggenangi jejak pejalan juga petak sawah yang siap panen

kakiku terus melangkah
bergegas
menyibak jalanan yang mulai digenangi air
khawatir panen gagal esok hari

SudutBumi, 2009

Terkadang, Kita Lupa
dengan Masa Lalu

tanah
dari yang dilahirkan
bernama sihir
selalu mengalir
menempa segala

dari yang terurai
bertumbuhan sesak
kenangan

jalanan
tenggelamlah
temukan setiap akar
ingatan

ketika gerak
menepiskan waktu
lunaslah semua

dan tawa itu
jadi sebuah reklame
mahal

kawan
sebuah dilatasi
disekat
digiring ruang waktu

lagi dan lagi
disempurnakan
tawa

SudutBumi, 2009
buat kawan: ria novitasari

Perempuan di Tepi Jendela

[1]
sejak kapan
perempuan jadi perona
membuat warna hati berlainan

kau merangkum seluruh kisah
jadi segenggam rindu
lalu kau bawa pergi

berlari ke laut
menyisir setiap bayang matahari

[2]
sampai hari ini, kau tetap membeku
jadi kawanan gerimis
yang tajam
tak mau diam
berseliweran
bersama angin yang tetap bersetia

bukankah ia lelaki?
ahhh kau, tetap membatu

[3]
?apa yang hendak kau lukis sekarang??
warna pelangi atau rimbun hijau hatimu

SudutBumi, 2009
buat kawan, risma dewi

Dalam Sebuah Kartu Nama

di sebuah mal, kau bersama anak dan istri
hatihati aku melewatimu
memperhatikan senyum rekah di wajah tua
ada banyak bangunan di sana
geliat mimpi masih jelas kubaca
kau terus mendirikan tonggak
tak henti membuka pintu
memberikan ucapan selamat
bagi pendatang sepertiku
bukan hanya gedunggedung tinggi bertumbuhan
kau membentuk setiap senja bersama warna kamboja

di sebuah cafe, aku dan kamu bermanja
lupakanlah kantor, ucapmu ketika aku menolak sebuah tatapan
berjalanlah agak santai
agar malam lebih terasa ramainya
dan tak akan ada lagi yang merasa dingin
sebab kepala sudah dipenuhi angan
dan telapak tangan sudah ditafsirkan
genggamlah
maka tak akan ada yang berani mematikan
alun musik itu

di sebuah pertemuan, siapapun tak akan tahu
siapa pernah menjalin siapa
mobil, ponsel, buku, rumah, garasi, mawar,
cokelat, cerpen, tongseng, jakarta, kereta, taksi
siapa yang dapat membendung kata
keinginan kepergian
seluruhnya telah disepakati
aku dan kamu
dalam perjamuan siang yang tak istimewa
hanya menghadirkan fatamorgana senja
serupa kamboja

SudutBumi, 2009
buat kawan perjalanan kusnandar

Nama Calon Anakku

saraswati tirta arum, misalkan kau anak pertama
genaplah aku sebagai perempuan
menyusur mata air
berjalan di bawah pohon amarta
dan kukemas segala haru
kutumpahkan pada dada limbung bahagia
ai, tumbuhlah mengikuti aliran
yang dicecapkan ubunubun

sastra bayu laksana, jika kau hadir pertama
penyempurna doa bagi hari penantian
kisah yang mengakas
bagi lelaki di tepi rindu
selalu kejutkan rahim milik ibu
as, melarunglah
sejauh masa lalu sekuat angin

saraswati banyu arum, laksmi banyu arum
jika bumi membelah ganda
sastra bayu pratama, sastra lindu pratama
menawarkan rekah bunga pada musim penghujan
kemaslah hari dan berlarilah bersamaku

SudutBumi, 2009

Mengasah Pisau

[ruang makan]
pandai benar kau mengiris roti
menuangkan selai ke permukaannya
memadupadankan tepung dan cerita
dalam ruang kecil
bersekat ganda

[halaman belakang]
di dekat pintu
kau menyiapkan batu asah, air, juga secuil cerita
sambil menggosokkan besi dan batu
kau terus mencerocos
perihal politik yang hampir basi
dan tentang uang sekolah yang tak lagi ada jaminan
pandanganmu terus saja menggamit mata pisau
sesekali kau mencobanya
membelah kentang dengan tegas

[dapur]
di dalam tungku segalanya matang
rumah tangga kian menua
rumput di depan rumah semakin pudar warnanya
pisau dan batu tak bosan meracik rasa
bernama cinta

SudutBumi, 2009

Kemarau Tiba,
Kulitku Robek Karenanya

dingin mencatat di pagi lunta
berapa lagi selimut harus dipesan
agar mimpi tak jadi usang

datang juga kemarau
memerahkan kulit
menjadikan gatagatal

seumpama kata
tak mau diam
terus saja mengumpat

seolah tanah rekah
retak di sanasini
tak menghasilkan apapun
hanya angin
mencoba merapatkan kenangan

SudutBumi, 2009

Leave a Reply

Bahasa ยป