Tiga Pekan Melawat ke Belanda, Mengunjungi Penulis Jawa Tempo Dulu, dari Blog ke Buku

Yuli Akhmada
http://www.surya.co.id/

Nama Priambodo Prayitno tentu tak asing bagi kalangan blogger Indonesia, terutama yang biasa pakai Multiply.Com. Ia punya banyak koleksi kartu pos bergambar foto-foto Jawa tempo dulu. Saya mendatangi apartemennya di Delft, di sela-sela kegiatan saya mengikuti kursus online journalism di Radio Netherland Training Center (RNTC) Hilversum yang disponsori STUNNED.

Mas Pri, nama panggilan Priambodo Prayitno, punya blog beralamat di www.djawatempodoeloe.multiply.com. Pada foto profilnya terpasang lelaki Jawa cenderung legam, juga berikat kepala dengan pose lugu.

Di sana terpacak ratusan foto Jawa tempo dulu dari kartu pos. Mas Pri mengelompokkan berdasarkan lokasi, misalnya Batavia, Soerabaia dan Malang. Khusus untuk album Djawa Timoer, ia punya 39 kartu pos. Mulai dari gambar gedung-gedung tua nan cantik, sampai suasana jalan tempo dulu.

Ia juga membuat klasifikasi berdasarkan, misalnya, foto-foto kaum bangsawan dan pembantunya, foto-foto suasana pedesaan dan lain-lain. Lantaran koleksinya unik dan sangat langka, ia punya banyak penggemar. Sampai naskah ini ditulis, dia punya 731 kontak. Komentar dari penggemarnya juga banyak sekali. Jadilah Mas Pri semacam selebriti dunia maya.

Agak ribet juga mengatur waktu untuk bertemu Mas Pri. Saya mesti kursus dari pukul 09.30 sampai 17.00 dan kadang mengerjakan PR, sementara dia mesti bekerja di siang hari.
Maka, kami terpaksa ketemu pada malam hari. Sepulang kursus, saya bergegas sendirian ke stasiun Hilversum setelah mengecek rute dan jadwal kereta api tercepat ke Delft via Leiden melalui situs resmi www.ns.nl. Perjalanan sekitar 1,5 jam.

Di kereta, kebetulan saya bertemu Sirtjo Koolhof, Kepala Seksi Bahasa Indonesia Radio Nederland Wereldomroep. Pada 20 November malam itu, Stasiun Delft sudah sepi. Angin sedang berhembus kencang dibanding hari-hari biasa. Dingin sekali. Saya keluar stasiun, dan merokok. SMS dari Mas Pri saya terima hampir bersamaan dengan saya mengirim SMS ke dia untuk memberitahukan kedatangan saya.

?Sugeng rawuh,? kata Mas Pri sambil menjabat tangan saya. Lelaki itu tinggi besar, tanpa rambut sama sekali, dan tentu saja ramah. Ternyata ia orang Belanda tulen. Nama aslinya Olivier Johannes. Tapi ternyata ia lebih suka dipanggil dengan Oli.

Selama jalan kaki 10 menit ke apartemennya, Mas Pri memberitahu bekas kantor VOC dan bekas Markas Angkatan Laut di Delft yang kini jadi museum. Hari sedang gelap, tak terlalu menarik buat foto-foto. Segera saja kami ke apartemennya. Ada banyak sekali cinderamata dari Indonesia. Ini biasa saja. Banyak orang Belanda yang juga demikian.

Tapi Oli punya keistimewaan dalam hal koleksi kartu pos bergambar Jawa tempo dulu. Ia menyimpannya dalam album, lantas dimasukkan lemari khusus. Sedangkan kartu pos dari negara-negara lain ditaruh di tempat dari besi layaknya penjual.

Jika Oli sejarahwan, saya tak terlalu tertarik bertemu karena memang banyak ahli sejarah Indonesia dari Belanda. Oli seperti orang kebanyakan di Belanda. Ia pegawai toko buku, bersepeda 40 menit dari rumah ke toko pulang pergi. Tapi, Oli menyisihkan begitu banyak uang dari kocek pribadi untuk kecintaannya pada Indonesia.

Ini lain sama sekali dengan sejarahwan yang lazimnya memang mendapat dana lumayan banyak dari pemerintah untuk riset. ?Ya, sama halnya kenapa ada orang suka bola,? jawab Oli ketika saya tanya tentang hal apa yang membuatnya gandrung pada Jawa tempo dulu.

Oli bukan kolektor kartu pos biasa. Ia bisa bercerita panjang lebar untuk sepotong kartu pos saja. Sebagian memang sudah dia tuliskan di blognya, sebagian lain dimuat di kolom majalah bisnis terbitan Jakarta.

?Saya juga akan terbitkan buku,? katanya. Oli menunjukkan satu dari dua draft bukunya yang ia cetak sendiri dengan kualitas bagus. Niat menerbitkan buku itu didorong teman-temannya di dunia maya dari Indonesia.

Penerbit dari Jogjakarta sedang menyiapkan bukunya. Temanya seputar potret dan cerita para pekerja Jawa tempo dulu. Mulai dari bakul soto, tukang cukur, bakul jamu dan lainnya.
Penerbit itu mau menerbitkannya dalam bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus. Katanya, penerbit-penerbit besar Jakarta maunya hanya bahasa Indonesia. Sayang, buku itu belum akan beredar dalam hitungan pekan. Mungkin beberapa bulan lagi. Tapi rasanya tak akan rugi membeli jika kelak sudah beredar.

Oh ya, pada draft buku itu, dia menuliskan nama samarannya tapi di edisi resmi nanti, ia ingin nama aslinya yang dipakai. Ketekunannya mungkin tak akan mendatangkan banyak uang karena penggemar foto-foto tempo dulu tak sebanyak foto-foto selebriti. Tapi Oli mengerjakannya terutama karena hobi. Oli juga mampu mengisahkan secara memikat foto-foto dalam kartu pos koleksinya.

Ia fasih berbahasa Indonesia, bisa menempatkan antara bahasa tutur dengan bahasa tulis. Maklum, Oli tak terhitung lagi mengunjungi Indonesia. Jalan-jalan utama di Surabaya dia hafal luar kepala, juga di Bandung, Semarang dan kota-kota tua lainnya baik yang besar maupun kecil. Tapi kemana-mana ia selalu sendirian. ?Saya masih jomblo,? katanya, tertawa kecil.

Jika di Surabaya, ia lebih suka menginap di sebuah home stay dekat Plasa Tunjungan. Begitu juga ketika di Malang. ?Kalau di hotel, saya tidak bisa merasakan suasana Indonesia,? katanya.
Soal Malang, dia punya koleksi 52 kartu pos. Ia pun tahu restoran tua terkenal di sana ternyata sudah beralih kepemilikan melalui proses hukum yang berbelit. ?Sebetulnya, pemilik aslinya keberatan nama restorannya tetap seperti sekarang,? katanya.

Sebetulnya pula, Oli bukan sekadar kolektor kartu pos tapi juga buku-buku bermutu terkait Indonesia pra kemerdekaan.

Yang paling saya cemburui adalah tiga jilid buku oleh Rob Nieuwenhuys, memuat foto-foto kehidupan sehari-hari di Nusantara periode 1870-1920. Nieuwenhuys blasteran Belanda-Jawa, menulis pula buku Mirror of Indies berisi ikhtisar ?sastra bule? semasa Hindia Belanda. ?Saya beli dari pasar loak,? kata Oli. Buku ini di Belanda pun sudah langka, apalagi di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *