Kabar Rupa dari Sakato

Afnan Malay
http://www.jawapos.co.id/

LEBIH dari seratus perupa Minang yang tergabung dalam Komunitas Seni Sakato Jogjakarta, selama 17-23 Februari 2010 bertempat di JNM (Jogja National Museum) dengan tajuk BAKABA memamerkan karya lukis, patung, dan instalasi. Jim Supangkat, Suwarno Wisetrotomo, serta Yasraf Amir Piliang yang menulis dalam katalog setebal 355 halaman berupaya mengajak kita menyelami para perupa Sakato.

Bahasan utama tentulah perihal bakaba. Secara rinci dengan perspektif akademis yang mumpuni, Yasraf berhasil memaparkan tema pameran yang berasal dari budaya (sastra) lisan yang hidup di Ranah Minang: kaba. Sekalipun, hasrat Yasraf untuk menarik korelasi berujung pada kesimpulan yang sangat terbuka untuk dikritisi.

Transformasi Kedua?

Yasraf yang bekerja sebagai staf pengajar FSRD ITB Bandung adalah pembedah post-modernisme paling produktif, intens, dan impresif. Ia menahbiskan bakaba yang dikerjakan perupa Sakato sebagai bentuk transformasi kedua terhadap bentuk kaba yang asli berupa kisah-kisah anonim.

Transformasi pertama dilakukan oleh para pengarang seperti Paduko Alam (Rancak Di Labuah), Sutan Pangaduan (Malin Manandin), dan Rasyid Manggis (Malin Deman). Mereka memindahkan bentuk kaba dalam tuturan (oral) menjadi tulisan (teks). Transformasi ini memperlebar penikmat kaba sekalipun menyebabkan aspek interaksi tatap muka penutur kaba (tukang kaba atau sijobang) dengan audiens menjadi terputus.

Dari bacaan atas realitas transforamtif yang terjadi pada kaba, Yasraf menegaskan transformasi kedua yang dilakukan para perupa Sakato. Para perupa yang mayoritas didikan ISI Jogja itu telah membuat format kaba yang baru: dalam bentuk visual.

Melacak relasi bakaba (berkabar) dari muasalnya kaba (kabar), yang disambungkan dengan penyalinannya ke dalam teks yang tertulis terhadap lakon yang semula merupakan sastra lisan itu, memudahkan kita mengapresiasi juntrungan pameran. Tetapi kemudian, karena itu, Yasraf menarik korelasi bahwa perupa Sakato melakukan transformasi kedua atas format kaba (dari teks ke visual) tentulah layak dikritisi.

Terhadap transformasi pertama saja Yasraf sebenarnya melempar kritik yang menarik. Menurutnya, tekstualisasi kaba berimplikasi pada hilangnya sifat-sifat komunalitas, intersubjektivitas, dan interaksi langsung. Serujuk itu, apa yang dilakukan perupa Sakato dalam pandangan Yasraf, yaitu visualisasi kaba, tentulah kian mereduksi ruang kolektivitas kaba. Tentulah, dibandingkan teks tulisan (buku): lukisan, patung, dan instalasi keberadaannya paling personal. Sekalipun citraannya dapat kita amati melalui foto, katalog, atau video.

Padahal, yang paling krusial dari simpul yang ditarik Yasraf adalah perupa Sakato sama sekali tidak sedang melakukan visualisasi kaba. Kita tidak bisa melacak karya atau kelompok karya mana yang merupakan salinan atau bahkan interpretasi atas kisah-kisah kaba: misalnya, Rancak di Labuah, Malin Manandin, atau Malin Deman?

Pameran Bakaba tidak berupa ajang mempertemukan isi-format-konsep tertentu yang dapat kita persepsikan sebagai duplikasi-derivasi-variasi dari kisah-kisah kaba. Paling jauh, bakaba dapat dianalogikan pada tradisi kaba bukan mentransformasikannya.

Isu Identitas

Yasraf jelas berjasa memberikan kita arah untuk melacak identitas (kultural) perupa Sakato dengan cara mengupas tuntas tema bakaba. Menariknya, identitas keminangan bagi sub-etnis lain terkadang tetap terlihat samar bahkan tidak teridentifikasi. Staf pengajajar seni rupa ISI Jogja, Suwarno Wisetrotomo bahkan sulit melacak nama-nama perupa Minang.

Kalau komparasinya etnis Batak yang selalu menyandang nama marga (patrilinial) orang Minang tidak wajib menyandang nama suku (matrilineal). Nama suku, contohnya: Guci, Jambak, Piliang, Chaniago, Koto, Tanjung, atau Malayu. Sekalipun nama-nama seperti perupa Sakato yang juga bergiat dalam Kelompok Jendela: Yunizar, Jumaldi Alfi, Handiwirman Saputra, Yusra Martunus, bahkan Rudi Mantofani bagi orang Minang tercium bau ”kampung halamannya”. Kecuali nama M. Irfan relatif ”tidak terlacak” keminangannya.

Begitupun nama-nama yang tergolong khas Minang seperti: Herry Maizul, Tommy Wondra, Gusmen Heriadi, Febri Antoni (alm), Deska Juswardi, Yon Indra, Saftari, atau Desrat Fianda. Tentu yang paling tampak adalah Jefry Guciano dan Imbalo Sakti. Nama-nama Minang, yang kental budaya lisannya dan pionir utama dalam kesusastraan kita sering kali terpukau diksi: tidak melulu merujuk makna. Dan lazim pula nama belakang akronim dari kombinasi nama ayah-ibu.

Bahkan, pasca pemberontakan politik PRRI yang gagal orang Minang merasa terpuruk dan berupaya ”menyembunyikan” identitasnya. Banyak yang memberikan nama anaknya nama yang notabene lazim dalam masyarakat Jawa. Termasuk nama favorit adalah Sudirman (hingga nama ini mereka anggap ”khas Minang”).

Identitas Minang yang ”tidak terlacak” menurut bacaan Suwarno termasuk pada perupa Sakato sebenarnya menyimpan implikasi positif. Setidaknya, isu identitas tidak menjadi masalah bagi mereka seperti yang dialami para perupa Sanggar Dewata (mayoritas juga didikan ISI Jogja) yang berdiri lebih dulu daripada Sakato. Misalnya, tradisi lukis (tradisional) Bali begitu kuat imbasnya melekati –atau kita lekatkan– para perupa Bali. Akibatnya, capaian-capaian visual mereka seakan tidak independen.

Sebab, seringkali terlebih dulu kita tergoda untuk melacak kebaliannya. Seakan-akan bahasa visual perupa Bali ”sesuatu yang sudah selesai”. Identitas kebaliannya tentu saja kekuatan dan daya pikat perupa Bali, tetapi tidak jarang itu ”memerangkap” mereka: seolah-olah tidak ada ruang untuk mencari dan menemukan sesuatu ”yang bukan Bali”.

Tetapi, itulah, identitas memang menjadi pertahanan –sekaligus daya tarik– Bali. Sebab globalisasi menyergap langsung ke halaman rumah mereka melalui proyek turisme. Sementara orang Minang harus menjemput sendiri ”dunia orang lain” (globalisasi): lewat aktivitas sosial-kultural merantau. Ditambah faktor gairah intelektualisme yang merasuki orang Minang, nota bene tumbuh subur di Sumatera Barat, sejak masa-masa awal sebelum negara kita berdiri. Hal itu mempengaruhi mereka untuk terbiasa dan terbuka dengan nilai-nilai kosmopolitan.

Karenanya, ihwal identitas menjadi keniscayaan bagi Bali, semetara Minang dibuat terbiasa melenturkan identitas: bukankah di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung? Fakta-fakta itu pastilah sedikit banyak menyumbang elan para perupa Minang untuk tidak gamang memasuki gelanggang seni rupa kontemporer. Secara teknis tidak ada yang harus mereka pertahankan. Juga tidak tersisa persoalan yang bersifat paradigmatik. Semata-mata ”musuh” yang harus mereka taklukan adalah bagaimana mengasah ketajaman bahasa visual yang mereka punyai: dari waktu ke waktu.

Ketajaman itu (upaya terus mengasah bahasa visual), misalnya –sekadar menyebut contoh– masih terjaga pada ”boneka-boneka” urban Abdi Setiawan yang terpajang dalam rak melalui The City. Karyanya bertajuk Koper pada Biennale Jogja X yang lalu termasuk yang paling menggugah. Lalu, Rudi Mantofani (Saatnya Menyentuh Dasar), Yon Indra (Dimenasi Ruang 25), Saftari (Menu Hari Ini), Lia Mareza (220 Volt), Riswandi (Tanda Tangan #1), Stefan Buana (Ranah Hukumku yang Kini Gamang), Hojatul Islam (Big Family), atau Yunizar (Rumah Merah). (*)

*) Pernah studi di SMSR dan ISI Jogja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *