Etos Kreatif, Ziarah Diri

Riadi Ngasiran
http://www.jawapos.co.id/

SAAT ini, di sini, adalah rupa… Karya seniku sebuah cerminan dari pengetahuan intelektual dan pengetauan empiris yang sangat intuitif dan selalu mengalir.”

Demikianlah kredo seni rupa Herman ”Beng” Handoko atau Herman Beng, mengantarkan pameran tunggalnya bertajuk To be Myself, yang berlangsung sejak 6 Mei lalu di Museum of Mind (MoM) -sebuah ruangan di bekas gedung Museum Mpu Tantular, Surabaya.

Dia mengungkapkan ekspresinya dengan langkah paling elementer: garis. Dengan tinta china, tinta bopoin, dan zat pewarna herbal, dia menggerakkan emosinya menyusuri deret waktu kegelisahan. Kesendirian, kejengkelan, dan luapan emosi yang mengalir dalam dirinya, dia torehkan di atas kertas koran bekas, sebagai mediumnya. Dia pun merangkai lembar demi lembar kertas buram yang memuat berjibun informasi -sederet informasi yang menyesakkan yang, ternyata, selalu ditunggu kehadirannya saban hari itu.

Tanpa bermaksud menyindir adanya realita psikologis masyarakat yang tertera dari lembar-lembar koran, Herman Beng berikhtiar mencampakkan keamburadulan sudut-sudut informasi yang dijejali masalah korupsi, pengadilan yang menyesatkan, pesta-pesta kelabu wajah demokrasi, dan jagat penuh kekalutan yang disebabkan lingkungan hidup. Laju kepunahan untuk beberapa spesies hewan atau tumbuhan mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, hingga 1.000 kali lipat daripada yang pernah terjadi, bahkan memengaruhi hasil panen dan ternak.

Kita pun tergagap menyaksikan kenyataan bahwa sebagai akibat kemerosotan lingkungan, dunia sekarang bergerak mendekati beberapa ”tipping points”, beberapa ekosistem yang memainkan peran penting dalam proses alami seperti iklim atau rantai makanan mungkin hancur selamanya. Sebuah ”Tinjauan Biodiversitas Global” menemukan bahwa pembabatan hutan, polusi, atau eksploitasi berlebihan merusak kemampuan produktif lingkungan yang paling rentan, seperti hutan hujan Amazon, danau, dan terumbu karang.

Tapi, tak peduli dengan itu, Herman Beng akan tetap menggoreskan lembar demi lembar informasi berharga itu dengan garis, menggoreskan tinta china-nya atau zat pewarna dari tumbuh-tumbuhan, baik vertikal maupun horizontal, sebagai bagian dari wujud kerja berkeseniannya.

Tak cukup mengikuti dinding ruang pameran, Beng pun menorehkan karyanya dan membentangkannya di lantai. Sebuah etos kreatif yang terus dia ledakkan. Memang, awalnya dia menggoreskan kegelisahan permenungannya dari lembar-lembar koran secara sederhana. Tapi, kemudian dirangkaikan secara masif hingga membangun suasana ruang yang menggelora sekaligus menyesakkan -khususnya bagi seseorang yang terbiasa memahami ekspresi secara wajar dan sewajarnya.

Tapi, bukankah seorang seniman sejati adalah persona yang menjadi perintis jalan. Sebagaimana Chairil Anwar pernah berpidato (1943), ”Harus berani berterang-terang dalam hidup bebas yang bukan berarti menceraikan diri dari pergaulan yang berkobar-kobar (vitaliteit).” Herman Beng telah pula menunjukkan kegairahan itu.

Seseorang yang mula menyaksikan karya Herman Beng sangat mungkin bergumam: anak-anak pun melakukan semacam ini. Usia kanak sudah dilampau setengah abad lalu, tapi toh dia melakukannya juga. Begitulah, Herman Beng hanya ingin menziarahi dirinya sendiri -tak peduli orang lain mengerti atau menghargai. Ekspresi pada akhirnya perwujudan dari luapan emosi yang terdokumentasikan lewat medium yang telah dipilihnya itu.

Herman Beng bukanlah orang awam seni. Dia cukup akrab dengan Bonyong Munnie Ardhie. Secara formal, dia pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Republik Indonesia (STSRI) ”ASRI” Jogja, lulus 1973. Secara pribadi, Herman Beng telah menyita perhatian saya. Juga, ketika dia mengikuti Post (re)alitas, sebuah tajuk pameran seni rupa di Taman Budaya Jawa Timur, 2006.

Sebagai seniman, Herman Beng berusaha memberdayakan etos kreatifnya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Sebuah langkah yang oleh Abraham Maslow disebut ”pemenuhan diri” (self-fulfillment) menjadi realisasi seluruh potensi dan kebutuhan untuk menjadi insan kreatif (kreator).

Seseorang yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi lebih manusiawi, lebih asli dalam mengekspresikan diri, tak terpengaruh oleh persona lain meski berada pada suatu budaya tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat. Herman Beng berusaha menemukan dirinya, lepas dari kebutuhan penghargaan dan mencapai kebutuhan aktualisasi diri, sehingga memungkinkan dirinya akan memberikan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kebenaran, keindahan, keadilan, dan nilai-nilai sejenis dalam memosisikan dirinya sebagai seniman.

Pada proses berkesenian yang dilakoni Herman Beng, proses menjadi diri sendiri itu didorong etos kreatif untuk mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik. Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan belajar, khususnya dalam masa kanak-kanak. Dia akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi), seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke psikologis. Pada ke-diri-an Herman Beng telah melalui proses panjang berkesenian: setelah menjadi juru poster.

Ketika itu, pada 1970-1980 film-film Indonesia mencapai puncak kejayaan dan membutuhkan jasa-jasa juru poster. Waktu pun bergeser, seiring dengan jalan lain yang harus ditempuhnya, perkembangan mesin cetak digital foto semakin canggih, Herman Beng menemui kesepian. Dia akhirnya harus memilih untuk mempergulatkan kegelisahannya dalam berkesenian.

Kegelisahan kreatif telah mendorong kesadaran batin Herman Beng, yang telah menelan pil pahit berbagai pengalaman, berusaha untuk menemukan ke-aku-an dan coba menunjukkan persona dirinya, membedakan ”aku” dari yang ”bukan aku”. Itulah sebuah konsep diri real dan ideal.

Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Carl Rogers mengenalkan dua konsep: incongruence dan congruence. Bila kita mencermati karya-karya kreatifnya, Herman Beng berada pada konsep congruence. Pengalaman diri diungkapkan dengan saksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral, dan sejati. Jauh dari konsep incongruence, ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin.

Herman Beng menegaskan bahwa pameran tunggalnya, To be Myself, masih proses. Proses itulah yang menjadi bagian eksistensinya. Di usianya yang ke-58, Herman Beng ternyata belum berhenti. Bila anugerah kesempatan masih ada, Beng akan tetap melakukan aktivitas demi aktualisasi diri. Beng menyatakan punya banyak alasan mengapa dirinya menggunakan kertas koran. Bagi Beng, berkarya bisa di mana saja. Tak harus di kanvas putih. Tak ada batasan bagi siapa saja untuk mengungkapkan ekspresinya.

Herman Beng adalah representasi persona yang kalut, kesepian, gelisah, tapi coba menarik mata publik untuk memperhatikan betapa pada dirinya dipenuhi stamina yang kuat sekaligus keinginan menggelorakan hidup agar lebih bermakna.

Dengan karya-karyanya, Herman Beng telah menziarahi dirinya, menemukan dirinya. Lalu, adakah dia telah menemukan sepenggal kesadaran transendental: siapakah sesungguhnya aku? Benarkah dia menyadari diri sebagai seorang kreatif, manifestasi sang kreator agung?

Hanya Herman Beng yang bisa menjawabnya dengan karya-karya yang akan terus digelutinya. Tentu, sekali lagi, bila anugerah kegairahan hidup masih menyertai dirinya. Pun, bila dia intens menziarahi dirinya. (*)

*) Penulis seni rupa, tinggal di Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *