Bumi Kesunyian “Arco Etrusco”

Ribut Wijoto *
sinarharapan.co.id

Puisi memang tidak bisa dikekang. Puisi “Arco Etrusco” (antologi puisi Di Atas Umbria, 1999:7-8) dari Acep Zamzam Noor menunjukkan perilaku itu. Sebuah puisi tentang sunyi. Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan terakhir (2001) mendefinisikan “sunyi” sebagai tidak ada bunyi atau suara, tidak ada orang, dan tidak banyak transaksi. Sunyi, suatu kondisi dan situasi yang mirip dengan lengang, hening, senyap, dan sepi. Tetapi puisi Acep tampaknya melampaui artian kamus, melampaui pemahaman publik, dan memilih pemahaman yang amat pelik: sunyi bukan lagi lengang.

Dari mana asalnya sunyi? Ke mana sunyi bertempat tinggal? Bait pertama puisi “Arco Etrusco”: Kesunyian kita, dibangun dari tumpukan batu dan terowongan-terowongan gelap, lengkung-lengkung tiang dan menara katedral. Kesunyian kita, berlumut pada tembok-tembok dan menjadi undak-undakan waktu yang terus menanjak. Puisi ?Arco Etrusco? telah melampaui konsensus istilah.

Sunyi dipahami bisa terjadi dari segala benda, beragam situasi, bahkan sunyi datang dari tempat-tempat asing. Benda apa pun yang terpegang tangan manusia, seperti kejutan dalam sulap, diubah menjelma sunyi. Tiada benda mampu luput dari identitas kesunyian.

Sunyi memasuki tubuh pergerakan waktu, demikian yang diisyaratkan puisi “Arco Etrusco”. Sejak lampau, saat sekarang, dan waktu kelak; sunyi senantiasa menggelibat erat. Tidak saja mengikuti, sunyi justru menjadi alat penggerak waktu. Mesin waktu. Ke mana waktu berusaha melangkah, adakah waktu pernah berhenti, sunyi siap mengantarkan. Semisal manusia, sejak lahir hingga kematian, seluruh usianya senantiasa dilekati kesunyian, dihidupi kesunyian.

Penggambaran pola penciptaan situasi sunyi dalam puisi “Arco Etrusco”, yang bersifat bebas dan tidak terduga, berkesesuaian dengan kinerja “hyperteks” yang digagas oleh Roland Barthes. Hyperteks dihasilkan dari kompleksitas referensi dan pencitraan. Pengibaratan teks adalah mata rantai elektron yang bergerak bebas dalam lorong pengganda. Seperti sunyi, bahan penciptaan hyperteks bisa berupa bahan apa saja. Seperti sunyi, hyperteks mampu hadir dalam setiap pergerakan waktu.

Hyperteks merupakan representasi dari ketakberhinggaan. Lanjutan puisi “Arco Etrusco”: Terbaca pada dinding angin, kebisuan mega, dan hujan yang tertahan di udara. Lalu kita menyaksikan semuanya. Gedung-gedung dibangun dan dirubuhkan, jalan-jalan melingkar seperti kata-kata, pohon-pohon meregang dan menyusut. Tapi matahari tetap membakar lubuk tanah dan mayat-mayat tegak dari kematiannya. Semuanya kesunyian kita. Semuanya adalah kesunyian. Sunyi semua. Absolutisitas ini dimungkinkan karena sunyi mengalami pertumbuhan dan percepatan-percepatan. Pada peristiwa apa pun, dan bergerak ke mana pun, manusia akan menemukan kesunyian telah tegar bertengger.

Akrobatik gambaran kesunyian puisi “Arco Etrusco” menciptakan penafsiran yang amat terbuka. Karena semua adalah kesunyian, berarti semua hal dapat dipahami melalui pemahaman karakter kesunyian. Perluasan medan wacana. Sunyi menghubungkan wilayah-wilayah yang jauh, menghubungkan referensi yang berbeda-beda bahkan berlawanan. Hyperteks. Menurut Kimberly Amaral dalam Hypertext and Writing: An overview of the hypertext medium (1994), “Tersedia informasi yang berlimpah-limpah di sekitar hyperteks”. Seseorang dilegalkan untuk masuk lewat segala lorong, dan setelah sampai di dalam sunyi, tersedia pilihan lorong yang jumlahnya lebih banyak lagi untuk melanjutkan perjalanan. Semuanya berposisi horisontal, sejajar, dan setara. Tidak ada keutamaan, tidak ada yang lebih penting. Semua penting. Semuanya kesunyian kita.

Sunyi dalam puisi “Arco Etrusco”, tidak seperti kelengangan sunyi dalam pengertian kamus, dapat dianalogikan dalam kapasitas radio memanjakan pendengar. Sebuah radio menghubungkan pendengar dengan berbagai stasiun pemancar. Pendengar pun memperoleh aneka berita, informasi selebritas, informasi harga cabe, siaran pemerintah, dan pendengar diberi kesempatan berpartisipasi menentukan lagu. Semua ada di radio.

Semuanya kesunyian kita. Menurut Barthes (S/Z), “Di dalam teks ideal ini ada banyak jaringan (r?seaux) dan ada banyak interaksi, yang tidak saling mengungguli. Ini sebuah galaksi penanda, dan bukannya struktur petanda. Kode siap memperluas cakrawala sejauh pencapaian mata, bahkan melampaui kesanggupan indera manusia.” Asal mula sunyi, tempat-tempat yang disinggahi, referensi yang disajikan, akrobatik ilustrasi, aneka peristiwa yang melatari, dan seluruh penampakan kesunyian dalam puisi “Arco Etrusco” memang membentuk tamasya tanda. Sebuah galaksi penanda, mengandaikan adanya makna-makna, dan bukannya struktur petanda, kemustahilan makna paten disebabkan tajamnya sindikasi pertentangan dalam setiap materi teks. Makna hanya mungkin untuk diandaikan tetapi tidak mungkin untuk ditetapkan. Begitu banyak wujud kesunyian sehingga mustahil merangkum dalam satu kepastian konsep. Sunyi, tidak sesederhana di dalam kamus, tampil sebagai ketakberhinggaan.

Sunyi dalam puisi “Arco Etrusco” tentu bukannya tanpa struktur sama sekali. Kata-kata dalam puisi, sekali lagi perlu ditekankan, membentuk jaringan. Tanda-tandanya ada dan bisa dikenali. Berumah pada pergerakan waktu dan berpijak pada kerutan-kerutan ruang. Kesan sunyi ini mungkin cocok dengan pemikiran Jacques Derrida tentang kesatuan konstan Albert Einstein. Pada sebuah simposium di John Hopkins University (1966) Derrida menjelaskan, “Ia adalah suatu aturan permainan yang tidak menguasai permainan; ia adalah suatu peraturan permainan yang tidak mendominasi permainan”. Sunyi seperti halnya permainan, memiliki peraturan, hanya saja, sama seperti permainan-permainan yang lain tetap masih ada karakter main-main, penuh kejutan, menggoda, sublim, dan tanpa kebakuan. Tidak ada kepastian hukum dalam permainan.

Jaringan kesunyian yang berjubel ilustrasi dan mendekati pola permainan. Hyperteks, ini merupakan tantangan besar bagi strukturalisme. Para pembaca karya sastra yang strukturalis terbiasa mencari makna teks dan memastikan makna hasil pencarian ketetapan. Kerja pencarian makna yang dijalaninya terancam kesia-siaan. Menurut Leo Kleden dalam “Teks, Cerita dan Transformasi Kreatif” (Kalam, 1997), strukturalisme memang memiliki ciri khusus, “berpegang teguh pada postulat dasar bahwa arti karya wacana tidak bergantung pada maksud pembicara, pendengar atau realitas yang dibicarakan, melainkan pada struktur teks semata-mata”. Padahal pemaknaan kesunyian dalam puisi “Arco Etrusco” bergantung kepada kepentingan pembaca. Makna dapat diperoleh sejauh batas horison harapan pembaca, yang tentu saja, arah dan intensitas setiap pembaca berbeda. Makna yang diperoleh pembaca, lebih tepat disebut “seakan-akan makna”, pada perkara hyperteks, hanya berupa fragmentasi dari sekian ragam makna yang dimungkinkan oleh puisi. Masih banyak makna melingkup dalam kerahasiaan, bahkan melampaui kesanggupan indera manusia.

Bait terakhir puisi “Arco Etrusco”: Disusun dari tumpukan batu dan kebisuan pintu-pintu, lorong-lorong perkampungan dan labirin tanpa ujung. Kesunyian kita, menghitam pada patung-patung dan menjadi kalimat-kalimat gelap, tapi senantiasa dibaca waktu, dengan matanya yang retak-retak. Kompleksitas sunyi semakin tampak dalam akhir puisi tersebut. Ada disebutkan juga, labirin tanpa ujung, sebuah niat untuk selalu menghindari perhentian gerak. Menghindari makna paten. Labirin. Sunyi yang amat riuh, gaduh, penuh pertautan metafor, sekaligus antarmetafor saling merapuhkan, saling berlawanan, sekadar untuk menuju pembebasan.

Mungkin semestinya, pada setiap diksi, frase, atau penggalan larik puisi “Arco Etrusco” perlu diberi catatan kaki. Fungsinya menunjukkan keberkaitan puisi dengan segala referensi, dilema pemikiran yang diterjuni puisi, pertentangan antarilustrasi, dan penyesatannya terhadap realitas. Lebih dari itu, catatan kaki perlu untuk memaparkan bahwa segala yang dirujuk oleh puisi tidak selamanya memiliki pertautan di luar teks.

Catatan kaki terhadap puisi “Arco Etrusco”, apabila dikonkretkan, tentu akan menghasilkan pasar raya teks naratif. Jaringan referensi yang tidak membentuk keutuhan referensi, seakan hanya kebetulan bertempat dalam satu teks. Kondisi yang mirip dengan seseorang yang secara serentak membunyikan 40 radio, merk radionya sama, dengan stasiun pemancar yang berbeda-beda. Bingar. Sulit dibayangkan ada orang mampu berkonsentrasi terhadap 40 fokus suara. Memakai logika terbalik, puisi mampu merekat beragam referensi dalam satu (hyper)teks. Keajaiban, penciptaan puisi tentu bukan suatu keajaiban, hanya saja potensi referensi puisi layak untuk dihormati, layak untuk dipelajari.***

*) Penulis adalah esais sastra, tinggal di Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *