Ular Betina

Teguh Winarsho AS
sinarharapan.co.id

Malam pucat di mata Tamin seperti selembar kertas kusam. Jidatnya berleleran keringat, tampak licin berkilat. Pandangan matanya remang, kabur, seperti dilingkupi kabut tebal. Tamin menggosok-gosok matanya dengan ujung jarinya yang berkuku panjang. Ada rasa perih menusuk. Juga kantuk yang masih mengutuk. Tapi Tamin tak mungkin bisa tidur lagi. Tamin akan melek sampai pagi bahkan siang hari. Sebab mimpi buruk itu pasti akan mengendap-endap mendatangi tidurnya begitu ia berhasil mengatupkan kelopak mata dan merapatkan selimut ke sekujur tubuhnya.

Begitulah, tengah malam Tamin selalu terbangun oleh mimpi buruk ketika sorenya habis bercinta dengan Linda, istrinya. Selalu begitu setiap malam hingga membuat Tamin bosan. Sejak itu Tamin tak pernah bisa tidur lagi meski matanya ia katupkan rapat-rapat. Meski lampu kamar ia padamkan dan selimut ia bentangkan menutup ke sekujur tubuhnya.

Bayangan mimpi buruk itu terus berkelebat-kelebat dalam batok kepalanya. Kenikmatan bercinta yang baru ia reguk bersama istri tercinta, yang belum hilang sepenuhnya berubah malapetaka. Tamin benar-benar tersiksa. Kecewa. Tamin iri melihat istrinya yang tidur pulas di sampingnya. Begitu nyaman seperti tanpa beban.

Kadang muncul keinginan di hati Tamin untuk membangunkan Linda yang tengah terlelap itu lalu menceritakan mimpi yang baru dialaminya. Tapi Tamin selalu ragu. Apalagi setelah melihat seraut wajah cantik yang tidur lelap itu. Begitu tenang dan damai.

Tamin sadar istrinya tentu sangat capek setelah seharian kerja banting tulang. Tamin tak tega. Diam-diam Tamin justru membetulkan letak selimut Linda yang sedikit tersingkap memperlihatkan paha mulus membuat jakunnya bergerak naik turun. Menelan ludah serak.

Tersiksa di atas ranjang, gelisah, sumpek, tak bisa tidur, Tamin bergerak ke dapur bikin kopi lantas duduk di teras depan. Berbatang-batang rokok ia habiskan di situ sambil menikmati kerlip bintang di langit kelam dan hembusan angin malam yang dingin menyegarkan. Tubuhnya memang terasa lebih segar dan enteng, tapi tidak kepalanya. Bayangan mimpi buruk itu terus menggeliat-geliat dalam batok kepalanya seperti ada puluhan serangga menggerogoti sel-sel saraf otaknya. Saking jengkelnya kadang Tamin membentur-benturkan kepalanya di dinding berharap bayangan mimpi buruk itu segera lenyap dari batok kepalanya. Tetapi bayangan mimpi buruk itu tak mau hilang. Tamin justru merasakan kepalanya nyeri seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum tajam.

Tamin sering heran sendiri kenapa dirinya selalu mimpi buruk setiap kali habis bercinta dengan istrinya. Malam-malam lain, ketika ia tak menjamah istrinya, ia tak mimpi apa-apa. la bisa tidur nyenyak. Bahkan saking nyenyaknya kadang sampai bangun kesiangan—dan hanya mendapati secarik kertas pesan Linda di atas meja dengan tulisan seperti cakar ayam yang mengabarkan bahwa ia telah berangkat kerja. Sudah lama Tamin merindukan suasana malam yang indah dengan tidurnya yang nyenyak dan panjang tanpa gangguan mimpi buruk meski sorenya ia habis bercinta habis-habisan dengan istrinya.

Tapi cita-cita itu tak pernah terlaksana. Tamin masih ingat mimpi buruk itu mulai mengusik tidurnya sejak Linda banting setir dari seorang ibu rumah tangga menjadi pekerja kantoran yang cukup sukses. Tamin tak bisa berbuat apa-apa. Sebab ia sendiri nganggur total setelah dipecat dengan tidak hormat dari perusahaan tempatnya kerja atas tuduhan korupsi uang jatah lembur milik beberapa karyawan bagian gudang.

Seperti seorang kakek tua renta, seharian Tamin hanya duduk mencangkung di teras rumah menghabiskan berbatang-batang rokok, sedikit kue dan kopi. Pikirannya kacau. Gelisah. Wajahnya muram berkerut, terlipat-lipat, membuat ia tampak jauh lebih tua dari usia seharusnya. Tak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dengan baik dalam kondisi pikiran kacau dan gelisah. Tamin sadar itu. Karenanya ia malas mencari pekerjaan sebelum kegelisahannya sirna. Tapi, dari hari ke hari kegelisahannya justru kian bertambah banyak seperti tak ada habisnya. Persoalan yang ia hadapi terus menumpuk-numpuk seperti tumpukan pakaian kotor di pojok kamar. Tamin pusing. Kepalanya berdengung-dengung, berat, seperti mau pecah.

Apalagi jika Tamin ingat gunjingan tetangga kanan kiri yang belakangan sering menyindirnya sebagai laki-laki brengsek, bodoh, pemalas, tak mau bekerja. Membuat Tamin semakin dongkol, jarang keluar rumah. Membuat Tamin malas menyapa atau sekadar menganggukkan kepala pada para tetangga yang kebetulan melintas di jalan depan rumahnya. Tamin diam-diam malu pada mereka. Tamin merasa dirinya tak berguna, gagal menjadi seorang suami yang baik.

Satu-satunya jalan yang ingin segera ditempuh Tamin adalah menceritakan mimpi buruk itu pada istrinya. Siapa tahu istrinya bisa mencarikan jalan keluar. Tapi lagi-lagi Tamin ragu, takut, khawatir, jika istrinya malah marah-marah setelah mendengar ceritanya.

Bukan tidak mungkin Linda kemudian purik, pulang ke rumah orangtuanya. Atau tiba-tiba minta cerai. Betapa celaka!

Tamin tak ingin membuat istrinya marah hanya karena persoalan sepele; mimpi. Tamin tak mau ditinggalkan istrinya. Tamin takut nanti tak akan ada lagi orang yang mengurusnya; memberi makan, minum, rokok, pakaian dan lain-lain. Siapa? Sejak di-PHK ia tak punya masukan uang sedikit pun kecuali dari Linda. Padahal ia harus merokok, makan, minum, dan sesekali jalan-jalan di akhir bulan. ltu semua sudah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Tamin sadar tanpa uluran tangan Linda, hidupnya akan berubah neraka. Bagi Tamin, Linda ibarat bank berjalan yang bisa dimintai duit kapan saja. Adalah tindakan bodoh jika sampai membuat Linda marah. Apalagi sampai minta pulang ke rumah orang tuanya. Karena itu Tamin sering mengalah, tak mau ribut-ribut apalagi bikin gara-gara.

Kecuali mimpi buruk yang terus menerus mengusik tidur setiap kali habis bercinta dengan istrinya, sebenarnya kehidupan Tamin cukup bahagia. Sangat bahagia. la tak perlu susah payah bekerja, seperti tetangga kanan kiri karena semua kebutuhan keluarga sudah dipenuhi Linda. Tamin tinggal duduk ongkang-ongkang di teras depan; menikmati hisapan demi hisapan tembakau kretek sembari menyruput kopi kental dan melahap kue sekadarnya. Bolehlah sesekali melakukan pekerjaan ringan, menyapu halaman, memotong rumput, mengecat dinding atau mengepel lantai.

Gunjingan tetangga kanan kiri yang kian deras dialamatkan kepada dirinya bisa ia anggap sebagai angin lalu. Tak perlu digubris. Bukankah hanya orang-orang iri dan yang tak punya pekerjaan saja yang masih suka bergunjing? Jadi pada dasarnya mereka sedang menertawakan diri mereka sendiri, begitu Tamin selalu menghibur diri. Tamin yakin suatu kali jika sudah capek tentu mulut-mulut nyinyir itu akan bungkam sendiri. Atau kalau memang ia sudah tak sabar dan terpaksa harus turun tangan, dengan senang hati ia akan membungkam mulut-mulut itu dengan sekop atau balok kayu. Sebagai laki-laki Tamin juga punya harga diri.

Satu-satunya persoalan yang kini mengusik ketenangan hidup Tamin adalah soal mimpi buruk itu. Tamin tak habis pikir bagaimana mungkin mimpi buruk itu selalu datang setiap kali ia habis bercinta dengan istrinya. Pada malam-malam lain ketika ia tak menyentuh istrinya, ia bisa tidur nyenyak tak mimpi apa-apa. Pernah suatu kali Tamin mencoba tidak tidur semalaman setelah sorenya bercinta habis-habisan dengan istrinya. Ia minum kopi dan menyulut rokok sebanyak-banyaknya untuk mengusir rasa kantuk. Tamin berhasil tidak tidur hingga pagi dan siang hari. Tapi ketika sore sedikit angin mulai berembus masuk, dingin memeluk, ia mulai tak kuat menahan kantuk, tertidur di atas kursi empuk, dan kembali menjumpai mimpi buruk. Lebih ganas dan liar. Tamin sontak terbangun persis orang kesurupan. Jantungnya berdebar. Matanya melotot merah. Keringat dingin mengucur deras membuat tubuhnya basah menggigil seperti orang habis kecebur kolam.
***

TAMIN merasa istrinya dari hari ke hari kian bertambah cantik. Bibirnya yang tebal dan kenyal selalu dicat lipstik wama merah muda. Menggairahkan. Sangat serasi dengan kulit wajahnya yang putih mulus. Rambutnya yang panjang juga selalu digelung rapi begitu pulang kerja hingga lehernya yang jenjang tampak cemerlang. Bau parfum bercampur keringat sesekali meruap lamat. Membuat hidung Tamin kembang kempis, gelagapan, tak kuasa menahan sesuatu yang menggelegak di dada. Membuat mata Tamin jelalatan persis mata kucing jantan yang tengah berahi. Tapi Tamin sadar, sangat sadar, mimpi buruk itu pasti akan menyergap tidurnya jika ia sampai berani menggauli istrinya. Karenanya Tamin berusaha sekuat tenaga menahan birahinya. la tak mau kenikmatan sesaat itu dibalas dengan malapetaka berkepanjangan. Paling-paling ia kemudian lari ke kamar mandi.

Tetapi suatu malam Tamin benar-benar tak kuat menahan birahi pada Linda yang tampak begitu cantik seperti bidadari baru turun dari surga. Kecantikan Linda membuat Tamin lupa akan mimpi buruk yang pasti mengusik tidurnya. Begitulah, malam itu Tamin begitu bersemangat menggauli Linda setelah sebelumnya minum dua butir viagra. Ibarat seorang petani yang sudah lama mengharapkan turun hujan lebat, Tamin menghempaskan cangkul sedalam-dalamnya di ladang Linda. Keringat dingin berleleran. Selimut dan bantal berhamburan. Tamin benar-benar kesetanan. Sementara Linda hanya bisa pasrah memenuhi kewajiban. Satu jam. Tamin terkapar. Lemas. Lelap.

Tengah malam Tamin terloncat dan atas ranjang. Wajahnya pucat. Mimpi buruk itu kembali menyergapnya! ”Ular! Ular! Ular!” Tamin berteriak-teriak. Tubuhnya menggigil basah keringat, Sontak Linda terbangun. Bengong. Menggosok-gosok mata. Letih. Perih.

”Ada ular besar! Aku takut! Takut…. Takut….” Suara Tamin berangsur pelan menyadari bahwa ular itu hanya ada dalam mimpinya.

Linda bergerak mendekati Tamin. Langkahnya hati-hati. Tamin masih menggigil, gemetar, di sudut kamar.

”Tidak usah takut. Kau hanya mimpi….” suara Linda lembut. Mesra. ”Kau mimpi apa, Sayang?”

Tamin terngungun. ”Aaaku….mimpi menggauli seekor ular betina besar….” ucap Tamin seperti tak sadar. Tapi ingatannya segera melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu saat ia menemui seorang pintar yang menafsirkan mimpi itu sebagai pengkhianatan Linda terhadap dirinya. Benarkah?

Linda tampak kaget. Tetapi dengan cepat ia bisa menguasai diri. Tersenyum merengkuh bahu Tamin. ”Sudahlah, mungkin kau terlalu lelah.”

Tamin seperti ingin berkata-kata lagi, tapi Linda telah mendaratkan satu kecupan mesra di bibirnya. Membuat bibir Tamin bergetar, tenggorokannya gatal seperti tersumpal batu. Malam larut. Tapi diam-diam Linda memendam keinginan untuk segera menelepon seseorang. Kepada orang itu Linda ingin membatalkan kencan yang telah ia sepakati esok hari. Juga esok dan esoknya lagi, sampai keadaan benar-benar aman.

”Tidurlah, Sayang. Atau, kau masih ingin…..” Linda tak melanjutkan kata-katanya melihat Tamin menggelengkan kepala. Lesu. Pucat….

Depok, November 2001.

Leave a Reply

Bahasa »