Sastra Seksual dalam Masyarakat Epigon

Budi P Hatees*
http://www.infoanda.com/Republika

Ihwal tubuh menjadi pembicaraan serius di kalangan intelektual sastra akhir-akhir ini. Di satu sisi ada pandangan yang mengatakan kehadiran seks dalam karya sastra sebagai suatu keharusan, karena seks merupakan representasi kesadaran manusia tentang diri atau tubuhnya; seks adalah penegasan identitas diri dan eksistensi.

”Aku ada karena aku punya kelamin.” Kira-kira begitu semangat mereka, memberi dukungan intelektual atas perbuatan kaum sastrawan yang mengkomodifikasi seks ke dalam teks-teks sastra dan buku-buku sastra. Berbagai fakta pembenaran intelektual dikemukakan, mulai dari upaya memerdekakan kebebasan kreatif berkesenian yang lama terkekang sistem negara yang patriarkhat sampai memperkenalkan novel-novel DH Lawrens dan karya sastrawan dunia lainnya yang punya sejarah pahit ditolak oleh publik pembaca pada awalnya. Teks sastra yang vulgar dalam pandangan mereka menjadi semacam upaya menentang kekuasaan yang menindas kreativitas.

Di sisi lain, mereka yang masih percaya dan hidup dengan kualitas moral tertentu, menolak dengan tegas segala bentuk ekspresi kesenian yang mendeskripsikan secara vulgar aurat manusia. Kalangan ini meyakini bahwa, agama mengajarkan setiap manusia tidak bisa bertindak semaunya di dunia fana ini jika kelak tidak mampu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya. Bagi kalangan ini, hidup di dunia adalah kehidupan yang singkat dan harus diisi dengan segala bentuk tindakan yang bermanfaat bagi kehidupan kelak yang lebih abadi. “Aku ada karena aku menyembah-Nya,” begitu mereka menegaskan eksistensi dirinya.

Memang, ada yang acap frontal dan mengesampingkan faktor-faktor sosial, kultural, dan ekonomi, termasuk juga adanya pluralitas pendapat di kalangan agamawan. Mereka melupakan bahwa dasar tindakan keagamaan tidak bisa terlalu bertumpu kepada ‘semangat jihad’ yang militan, tetapi perlu merujuk kepada apa yang ditawarkan para ulama kuno (salaf) seperti terungkap dalam nomenklatur Ushul Fikih. Diktum amar makruf nahi mungkar ditafsirkan bukan semata sebagai upaya mencari kebenaran dengan pedang.

Dalam dunia kreativitas berkesusastraan, segala bentuk tafsir terhadap karya sastra adalah sah. Tidak ada tafsir yang bisa dipegang sebagai kebenaran paling saheh, karena tafsir lebih banyak direcoki oleh subyektivitas si penafsir. Begitu juga kedua sudut pandang tersebut di atas. Setiap orang memiliki hak atas menafsirkan teks-teks sastra, dan tidak berhak memaksakan pendapatnya bagi orang lain.

Munculnya keanekaragaman penafsiran sudah menegaskan bahwa perbedaan penafsiran itu sebuah kekayaan yang pantas dijaga, dipertahankan, dan ditradisikan. Kita tidak membutuhkan tafsir tunggal seperti ketika kaum kritikus sastra memiliki peran sangat besar untuk membeatifikasi sastrawan. Pada akhirnya, peran-peran seperti yang ‘dimainkan’ HB Jassin, tidak membunuh kreativitas.

Namun belakangan ini, disadari atau tidak pembicaraan tentang teks sastra yang membongkar di dalamnya hal ihwal tentang seks, dipandangan sebagai semacam politik berkesenian untuk menandingi kedasyatan teks sastra yang mengupas segala sesuatu tentang nilai-nilai agama (Islam). Kemunculan teks-teks sastra Islam dalam dunia kesusastraan kita begitu dasyat dan menjadi begitu menakutkan bagi banyak kalangan, terutama karena karya-karya serupa itu muncul dengan strategi pemasaran yang mampu mengkotak-kotakkan pembaca, telah membuat banyak kalangan bereaksi.

Segementasi sastra Islam yang sangat jelas, kalangan ummat Islam yang menjadi warga paling dominan di negara ini, membuat kehadiran sastra Islam menjadi semacam ‘teror’ dalam industri perbukuan. ‘Teror’ yang bakal berlanjut mengingat regenerasi penulis sastra Islam menunjukkan perkembangan yang begitu luar biasa, tiap bulan selalu muncul penulis baru dengan karya-karya yang tidak bisa diremehkan.

Memang, banyak kelemahan dari sastra Islam jika dilihat dari kualitas estetika sastrawi. Tetapi, kelemahan adalah awal dari tindakan-tindakan yang dapat dipuji. Sebab, setiap karya sastra Islam menawarkan satu perspektif: syiar agama. Mereka yang kurang memahami ini pasti menolak syiar tersebut, lalu menyebutnya sebagai ‘sok religius’.

Lagipula, soal kelemahan, itu hanya dilihat oleh mereka yang berkepentingan terhadap karya sastra sebagai produk kesenian, sedangkan para penulis sastra Islam lebih berkepentingan terhadap syiar agama Islam. Hal itu yang membuat Edy A Effendi sampai pada kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika yang diusungnya (Media Indonesia, 3 Juli 2005), dan Chavchay Syaifullah kebingungan soal estetika sastra Islam serta mempertanyakan apa itu sastra Islam (Media Indonesia, 10 Juli 2005).

Ketika pertama sekali membaca Saman, novel Ayu Utami, saya seperti Edy A Effendy maupun Chavchay Syaifullah, dan bertanya kepada diri sendiri, ”Kenapa orang bilang novel ini bagus dan penuh puja-puji.” Dalam sebuah esai, Seks: Bukan Vulgar atau Tak Vulgar (Republika, 13 Desember 2001), saya sampai pada kesimpulan bahwa Saman adalah sebuah novel yang ditulis dengan semangat mengkotak-kotakkan pembaca, hal yang sudah lama dilakukan dan terjadi dalam sastra Islam. Artinya, jika pembaca ingin teks-teks sastra berbumbu seks, tinggal membaca karya-karya Ayu Utami.

Ayu Utami membuat publik sastra kita tersegmentasi, dan secara bisnis upaya itu sangat sukses. Ayu Utami melihat realitas segmentasi pembaca yang belum tergarap (bakal tidak dapat digarap) oleh penulis sastra Islam. Sebab, mustahil bagi Ayu Utami untuk menulis sebuah novel yang dikhususkan bagi segmentasi pembaca karya sastra Islam sekalipun Ayu Utami bisa melakukannya, tetapi akan kesulitan membangun kepercayaan baru dalam diri pasar sastra Islam. Alih-alih Ayu Utami diterima, malah akan dicurigai punya maksud mau merusak citra sastra Islam.

Sebab itu, apa yang dilakukan Ayu Utami sudah pas. Realitas masyarakat kita yang oleh Yasraf Amir Piliang disebut sebagai realitas kehidupan dalam ‘dunia yang dilipat’, dimana manusia tenggelam ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. ”Keterpesonaan, ketergiuran, dan hawa nafsu yang dibangkitkan oleh kondisi ekstasi,” tulis Yasraf Amir Piliang, ”telah melanda kehidupan masyarakat konsumer di tengah-tengah kehidupan yang dikitari oleh belantara benda-benda, tanda-tanda, dan makna-makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna-makna spritual, moralitas, dan kemanusiaan.”

Ayu Utami lebih sebagai pelaku bisnis, yang tahu persis realitas masyarakat pembaca (konsumer) haus ekstasi (kepuasan), dan menyuguhkan hal-hal yang secara naluriah mampu menggelorakan libido seksual. Aurat manusia adalah piranti paling umum yang mampu menggelorakan libido seksualitas, semacam software yang memiliki sensitivitas tinggi. ”Tubuh sebagai kebudayaan adalah sebuah eksplorasi yang tidak ada habis-habisnya,” tulis Mariana Aminuddin dalam banyak esainya di media cetak akhir-akhir ini, ”begitu pula seks, adalah kegiatan tubuh. Seks tidak sekadar bicara alat kelamin atau kegiatan penetrasi.”

Mereka (konsumer) yang haus akan ekstasi menjadi pembaca setia novel Saman, sekalipun novel itu menjadi semacam kritik pedas atas perilaku sosial masyarakat yang menyimpang dari norma-norma agama. Jadi, terhadap novel Ayu Utami, yang kemudian menjadi tren dalam penulisan karya sastra akhir-akhir ini, kita harus memuji kemampuannya yang hebat dalam membaca selera pasar. Barangkali, pengalaman Ayu Utami sebagai jurnalis selama bertahun-tahun, yang membuatnya paham bahwa setiap gaya dalam penulisan jurnalistik sudah mengandaikan segmentasi pembacanya. Pengotakan pembaca semacam itu merupakan sebuah sukses dalam teori pemasaran, dan inilah yang memicu munculnya teks-teks sastra senafas.

Kita sangat paham bahwa realitas masyarakat Indonesia adalah realitas masyarakat epigon. Kita mampu menernakkan ayam-ayam potong dan mengekspor paha ayam ke Amerika Serikat tetapi tidak pernah mampu memproduksi ayam goreng dalam artian fried chicken; kita memiliki industri otomotif dan komponen yang menyerap jutaan tenaga kerja tetapi tidak mampu memproduksi sepeda motor atau mobil sendiri. Kita adalah bangsa yang ingin segala sesuatunya cepat tersaji seperti kita mengemari fast food, tetapi kita tidak perduli bagaimana segala sesuatunya bisa tersaji di hadapan kita.

Dari realitas di atas, muncul pertanyaan apakah kita akan berpolemik terus tentang sastra seks atau sastra Islam. Sebagai bangsa yang dibangun dari puing-puing yang berbeda, bangsa Indonesia menjadi semacam mozaik yang indah. Jika satu kepingan lempeng kita lepas, maka tidak ada guna karya tersebut. Sebaliknya, jika kepingan-kepingan itu kita pertahankan, akan menjadi sebuah karya seni yang pantas dihargai mahal. Begitu juga dalam ranah intelektual. Setiap perbedaan sudut pandang adalah keindahan. Alangkah indahnya perbedaan.

*) Ketua Komite Sastra DKL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *