Sajak Sahaya Sengaja Bersahaja

Zen Hae *
korantempo.com

M. AAN MANSYUR (semoga Allah memuliakan namanya) adalah satu dari sedikit penyair muda usia yang layak dibicarakan. Ia telah menerbitkan tiga buku, yaitu kumpulan sajak Hujan Rintih-Rintih (2005) dan novel Perempuan, Rumah Kenangan (2007), dan kumpulan sajak Aku Hendak Pindah Rumah (Nala Cipta Litera, Makassar, 2008), yang dibicarakan dalam tulisan ini. Sajak-sajaknya, terutama dalam buku terbarunya, adalah seperangkat upaya yang cukup menjanjikan: sepenggal jawaban atas problematika persajakan Indonesia mutakhir.

Jika mayoritas puisi kita hari ini, sebagaimana dikatakan Nirwan Dewanto lebih dari 2,5 tahun lalu, berupa tumpukan dan kocokan kata untuk mencapai keajaiban dan keganjilan, maka sajak-sajak Aan adalah komposisi untuk mencapai kesederhanaan dan kewajaran. Jika kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas), kritik Nirwan pada kesempatan yang lain lagi, maka penyair kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982 ini menyuguhkan kemudahan pemaknaan.

Begitulah, mengambil bentuk sajak bebas Aan sesekali menampilkan permainan rima, yang ternyata bukan bayangan pantun atau syair. Gemar pada bait-bait yang membengkak, ia juga bisa berhemat dengan semacam epigram dan haiku. Dengan keharuan kaum Romantik, Aan menggunakan semua bentuk itu untuk membicarakan hampir seluruh isi dunia, dari kasih tak sampai hingga kasih pada ibu, dari hujan pagi hingga kafe pada sebuah benteng, dari kritik sosial sampai hakikat sajak itu sendiri.

Sajak “Engkau dan Sajakku” bisa dibaca sebagai ancangan si penyair, sebuah “pernyataan politis” tentang puisi dan tradisi yang melingkupinya. Posisinya sebagai urutan pertama di buku Aku Hendak Pindah Rumah (182 halaman) menjadi penting. Ia bisa dibaca sebagai sajak yang berdiri sendiri yang tidak berkaitan dengan 100 sajak lainnya, tetapi juga dapat dilihat sebagai sajak-model yang akan membayang-bayangi sajak-sajak berikutnya dalam buku itu. “Engkau selalu sengaja memilih busana yang sederhana /agar kecantikanmu tidak karam dalam kemewahan. / Aku selalu sengaja memilih bahasa yang bersahaja saja / agar makna sajakku tidak lenyap di perangkap ungkapan.”

Lihatlah, betapa paradoksalnya si “penyair”. Ia menggunakan bahasa kiasan tetapi juga cemas, merasa makna sajaknya terancam dan akan lumpuh dalam bangunan sajak yang penuh dengan ungkapan, metafora dan sejenisnya. Sebab bahasa kiasan, kita tahu, cenderung mengalihkan makna kepada sesuatu yang lain sehingga menimbulkan makna baru–dan bisa jadi bukan itu yang diinginkan penyairnya. Karena itu ia lebih memilih “bahasa yang bersahaja” saja agar makna sajaknya bisa sampai dengan selamat kepada pembaca. Agar selamat dari nonsense.

Jika bahasa yang bersahaja dipercaya bisa menyelamatkan makna sebuah sajak, maka itu baru separuh kebenaran. Separuhnya lagi adalah terpenuhinya kewajiban moral sajak: ia harus jujur–dengan bahasa yang bersahaja atau dengan bahasa yang penuh kiasan. Bait ke-3 dan ke-4 sajak “Kepada Seorang Perempuan di Kuala” menegaskan: “Ketahuilah puisi harus jujur, katanya, / meskipun harus bicara dengan bahasa asing, bahasa yang hening atau yang paling bising. // Puisi enggan menanggung rahasia.” Tidak penting benar, sebagaimana Hermes, apakah ia akan menyampaikan seluruh rahasia atau hanya yang dituntut darinya.

Sementara “Dunia yang Lengang” mesti dicatat sebagai sajak yang paling berhasil menjalankan siasat si penyair: sajak yang bersahaja sekaligus jujur. Berikut ini kutipan utuhnya:

Sebuah usaha, agar orang-orang
lebih banyak bicara dengan mata,
pemerintah membuat aturan ketat:
setiap orang hanya berhak memakai
seratus tiga puluh kata per hari, pas.

Jika telepon berdering, aku meletakkan
gagangnya di telingaku tanpa menyebut Halo.
Di restoran aku menggunakan jari telunjuk
memesan mi atau Coto Makassar. Aku secermat
mungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.

Tengah malam, aku telepon nomor kekasihku
di Jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:
Aku menggunakan delapan puluh sembilan
kata hari ini. Sisanya kusimpan untukmu.

Jika ia tak menjawab, aku tahu, pasti
ia telah menghabiskan semua jatahnya,
maka aku pelan-pelan berbisik: Aku
mencintaimu, sebanyak lima belas kali.

Setelah itu, kami hanya duduk membiarkan
gagang telepon di telinga kami dan saling
mendengar dengus napas masing-masing

Demikianlah, sajak ini menampilkan dirinya dengan penuh kewajaran. Makna kata-katanya gampang dipahami, sintaksisnya lumayan kokoh, jaringan semantiknya mudah dilacak. Tidak ada bahasa kiasan. Samar-samar kita bisa mendengar permainan rima, juga enjambement yang dirancang sedemikian rupa, tetapi bukan itu yang penting. Yang kita dapatkan bukanlah godaan musikal atau tamasya metaforis sebagaimana banyak kita temukan dalam sajak Indonesia hari ini, tetapi sebuah cerita yang mengandung makna tertentu. Keharuan yang menyisakan humor. Adukan likat antara ortodoksi, amuk cinta, dan hening: ia yang ternyata mengatakan lebih banyak hal ketimbang 130 kata yang telah terpakai. Sebuah ironi yang muncul dari ambisi untuk lebih mendayagunakan bahasa visual dan pembatasan bahasa verbal.

Namun, waspadalah. Sajak-sajak model begini adalah kaum minoritas di dalam “empat rumah dan dua taman” yang dibangun Aan. Jumlah mereka di bawah sepuluh jari. Selebihnya, sajak-sajak yang lahir dari keterombang-ambingan penyairnya: antara hasrat akan kebersahajaan dan godaan keajaiban dan keganjilan, antara tekad merintis jalan sendiri dan bernaung di bawah bayangan penyair-model, baik dari khazanah nusantara maupun khazanah dunia. Antara menemukan dan kehilangan.

Bisa jadi, kebersahajaan tidak menarik lagi. Ia hanyalah jalan sunyi di tengah kekayaan dan keriuhan pengucapan sajak mutakhir kita–sesuatu yang justru cukup berhasil dicoba Joko Pinurbo di masa sebelumnya. Ia ibarat orang yang berpakaian sederhana di tengah mal yang mirip panggung peragaan busana. Ia bisa tenggelam dan dilupakan orang jika saja penyairnya tidak punya siasat yang lebih jitu lagi. Harus segera dibuktikan kebersahajaan bukanlah kata ganti untuk kemiskinan tapi cerminan dari “kekayaan jurus dan bentuk” penyairnya.

Sebagaimana terbukti secara permanen pada Wislawa Szymborska. Peraih Hadiah Nobel Sastra 1996 ini membangun kecemerlangan sajak-sajaknya justru dengan menyuling setiap kata, memangkas metafora, dan meninggalkan tradisi sajak lirik-murni. Tetapi ia kemudian membunyikan renungan intelektual (sebagaimana yang terjadi pada sajak Polandia modern umumnya), di samping menyusupkan ironi dan humor. “Ia dengan sadar menempuh risiko, menampilkan muslihat magisnya lewat larik-larik tajam antara sajak dan esai,” begitu pujian Czeslaw Milosz.

Aan tidak mengejar sajak esaistis, hanya prosais. Ia suka pada ironi tapi kurang tertarik pada humor. Ia gampang sekali terharu tapi masih bisa memoles keharuan itu dengan semacam “intelektualitas”. Ia merumuskan pengertian, menguraikan makna terdalam sebuah kata, untuk memperluas jangkauan sajak itu sendiri. Sajak “Riwayat Dinding dan Dingin” akan terperosok ke dalam kecengengan kalau saja aku liriknya tidak “berfilsafat” tentang hal-hal sederhana semisal “dinding” dan “dingin”. Misalnya, dinding dibuat “untuk memisah-misahkan” aku dan kau, sementara dingin diciptakan agar “yang terpisah direkatkan, agar yang aku dan yang kau disatukan kembali”. Begitulah kemesraan intelektualistis itu tercipta dalam suasana yang sebenarnya biasa-biasa saja, nyaris klise.

Jika membunyikan renungan intelektual, “berfilsafat”, masih menjadi kebutuhan mewah sajak-sajak Aan, juga sajak-sajak kita pada umumnya, maka mencoba berbagai bentuk perumpamaan sudah menjadi kebutuhan dasar. Yang paling sederhana adalah menampilkan peralihan makna, dari yang harfiah menjadi yang metaforis (sajak “Walau Waktu Telah Jauh, Juga Kau). Atau, menampilkan sejumlah perumpamaan dan itu diupayakan sewajar dan semudah mungkin. Jika perlu dituntun oleh bait sebelumnya supaya pembaca tidak kesulitan mencari maknanya. Seperti bait ke-3 dan ke-4 sajak “Sajak buat Istri yang Buta dari Suaminya yang Tuli” berikut ini:

Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, bulunya juga berwarna putih.

Aku selalu mengenangkan, hari itu, kita
adalah sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.

Maksud sajak ini sungguh sederhana. Ia ingin mempertentangkan secara ironis pengalaman indrawi, penglihatan yang lebih dominan ketimbang pendengaran dan penginderaan lainnya, sebagaimana kerap terjadi dalam bentuk-bentuk citraan sajak dan prosa kita. Seorang pengantin laki-laki yang tuli mencoba menceritakan serinci mungkin suasana pesta pernikahannya kepada pengantin perempuan yang buta. Tetapi karena ketuliannya ia tidak mendengar apa sih yang diperbincangkan para tamu dan ia sangat ingin tahu itu semua dari istrinya. Dengan kata lain, sebuah lukisan suasana baru berhasil ketika ia menggabungkan berbagai hasil pengindraan. Sajak ini ditutup dengan sebuah apostrof yang memancing humor sekaligus haru:

Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?

*) Buku-bukunya; Rumah Kawin (kumpulan cerita, 2004) dan Paus Merah Jambu (kumpulan puisi, 2007). Tulisan di atas, yang bersambung ke minggu depan, pernah disampaikan versi awalnya pada Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh, Sumatera Barat, 27-29 April 2008.

Leave a Reply

Bahasa ยป