Novel Grafis Tanpa Laporan

Yos Rizal
http://www.ruangbaca.com/

Trilogi Sandhora karya Teguh Santosa bercerita dengan cara yang unik dan penataan panel yang eksperimental.

Sebuah mobil berhenti di depan panti asuhan. Seorang lelaki bersepatu turun dari mobil, berikutnya disusul kaki polos seorang wanita. Wanita itu tak memakai sandal atau sepatu hak tinggi. ?Buruan!? kata sang lelaki. ?Tuan, Tega! Tega!? perempuan berkaki polos itu memprotes. Komikus Wisnoe Lee?di buku berjudul Blacan: Rindu Dendam (jilid 1) ini ia menyebut dirinya Graphics Novel Designer?menyuguhkan sekuen panel yang terasa filmis di novel grafis yang dikeluarkan penerbit Jagoan Komik itu.

Seperti kamera, ia mengambil adegan ketegangan seorang penjahat dengan seorang perempuan yang dipaksa meletakkan bayinya di panti asuhan, dari celah bawah mobil. Yang tergambar adalah sekuen kaki. Tapi gerakan kaki?kaki yang menendang, kaki yang tak ingin turun dari mobil dan kaki yang lunglai?sudah cukup berbicara bahwa drama di depan panti asuhan itu adalah adegan kekerasan yang dilakukan seorang bos mafia terhadap wanita yang telah ia perkosa.

?Saya memang ingin menonjolkan aspek sinematik dalam komik. Dengan angle gambar semacam itu aspek misteri tokoh-tokohnya langsung teraba oleh pembaca,? jawab Wisnoe. Angle, fokus gambar, bagaimana meletakkan wide screen atau close up tampak tergarap betul dalam seri pertama dari lima seri Blacan yang direncanakan.

Ceritanya, mula-mula ada sebuah adegan pembuangan anak, lalu muncul seorang tokoh pahlawan penyelamat dengan sebutan Blacan (bernama asli Bram) beberapa tahun kemudian, kemudian ada kisah roman Bram dan Maya yang ternyata anak bos mafia yang membuang anak itu, dan di ujung cerita terjadi konflik yang kompleks antartokoh.

?Dilihat dari sisi aspek dramatik cerita yang tak menonjolkan jagoan bak superhero, saya kira karya saya ini masuk dalam kategori novel grafis,? ungkap alumnus Desain Grafis Istitut Seni Rupa Yogyakarta tahun 1990 itu. Dalam Blacan?di Jawa Tengah berarti sejenis kucing hutan?ada cerita yang cukup panjang dengan 68 halaman berwarna dan akan berakhir di seri kelima.

Kemudian aspek emosional cerita menonjol dan visualisasinya memiliki berbagai angle. Materi dasarnya diambil dari Namaku Bram karya Wisnoe dan Rini Nurul sebanyak 250 halaman yang sejak 1995 hingga sekarang belum kelar digarap. Apakah dengan sejumlah data itu, Blacan bisa digolongkan sebagai novel grafis dan pengarangnya layak menyebut diri sebagai graphic novel designer (lazimkah istilah ini dalam jagat novel grafis?)?

Ataukah sesuai dengan definisi ?novel grafis? yang disebut Hikmat Darmawam, pengamat genre ini, karya Wisnoe itu sudah memenuhi kaidah ?grafis yang ceritanya memiliki ambisi sastrawi?? Jika ambisi sastra menjadi ukuran penting, Blacan tampaknya mesti meningkatkan bobot sastra pada seri berikutnya.

Hikmat menandai, kendati tak hirau dengan hiruk pikuk perdebatan definisi novel grafis di Amerika dan Eropa, komikus Indonesia secara tak langsung sudah mencipta novel grafis. Ia mencatat komik Mahabharata karya RA Kosasih pada 1950-an sebagai awal tumbuhnya novel grafis di Indonesia. Selanjutnya disusul komik Taguan Hardjo, Trilogi Sandhora milik Teguh Santosa, sebagian karya Jan Mintaraga, kisah Misteri Kematian Si Dewi Racun milik HAR, Sukab karya Seno Gumira Ajidarma, hingga Selamat Pagi Urbaz ciptaan komikus muda Beng Rahardian.

Mahabharata karya RA Kosasih, menurut Hikmat, bersumber dari karya asli yang memiliki kandungan sastra yang tak bisa dinafikan begitu saja. ?Kendati ceritanya sudah dibesut ulang oleh Kosasih, saya masih melihatnya sebagai awal periode novel grafis di Indonesia,? ucapnya. Tapi apakah ?ambisi sastrawi? itu penting bagi novel grafis? Pengelola milis Komik Alternatif Surjorimba Suroto lebih melihat bobot sastra bukanlah soal urgen bagi perkembangan novel grafis di Indonesia maupun di dunia.

?Bagi saya yang membedakan novel grafis dengan komik adalah lebih pada revolusi dalam cara bercerita dan penataan panel yang lebih eksperimental,? kata Surjo. Surjo menandai awal mulanya tumbuhnya novel grafis di Indonesia dimulai ari Trilogi Sandhora (1969) karya Teguh Santosa atau karya dia sebelumnya, Sebuah Tebusan Dosa (1967).

Ia tak memasukkan komik wayang RA Kosasih sebagai novel grafis. ?Saya sih menganggapnya komik wayang yang bercerita epos biasa,? ujarnya. Trilogi Sandhora, kata Surjo, memenuhi dua hal yang ia sebut sebagai ciri khas novel grafis: cara bercerita yang unik dan teknik gambar yang eksperimental. Trilogi ini adalah sebuah fiksi yang mengambil cerita bersejarah yang berlatar penyerbuan Spanyol ke Filipina dan Perang Diponegoro pada 1825-1830.

Karya-karya lain? Surjo memasukkan cerita ciptaan Wid NS dan Hasmi di luar komik superhero mereka ke dalam genre novel grafis. Wid NS pernah membuat Kucing (1981), sedangkan Hasmi dalam gambar yang dimuat majalah HAI mencipta Buku Tamu Museum Perjuangan (1981) dan Balada Lelaki- lelaki Tanah Kapur (1982). Cerita Hasmi yang pertama ditulis oleh penyair Taufiq Ismail, sedangkan cerita yang kedua ditulis (atau terinspirasi dari puisi?) WS Rendra.

Untuk karya-karya terbaru, Surjo sepakat menyebut Blacan (Wisnoe Lee) dan Selamat Pagi Urbaz (Beng Rahardian) sebagai novel grafis. Beng menceritakan, saat membuat Selamat Pagi Urbaz ia tak berpikir bahwa karyanya akan digolongkan sebagai novel grafis. ?Yang ada di kepala saya waktu itu cuma saya ingin ngomik,? Beng mengungkapkan. Hanya, Beng memang tak ingin membuat komik superhero, tapi komik bertema sosial. Kehidupan kota Yogyakarta yang berubah dan mitologi ?bintang jatuh? pun ia gali menjadi tema komik dalam Selamat Pagi Urbaz.

?Penerbitnya yang menamai novel grafis, karena mungkin sifat komik saya lebih mirip novel grafis,? ucapnya. Beng tak tahu sudah berapa eksemplar novel grafisnya telah laku. ?Karena sampai saat ini, sudah lebih dari setahun, tak ada laporan dari penerbit,? ucapnya. Hikmat mengatakan, sebagaimana komik, novel grafis di Indonesia tak memiliki industri. ?Tak cukup mendapat topangan dari dunia penerbitan, Jika sudah diterbitkan dan kelihatan laku, cetak ulangnya pun tersendatsendat,? ujarnya.

?Jadi Indonesia bukannya tak punya karya-karya novel grafis, tapi lebih karena tak terekspos media dan tak mendapat dukungan memadai dari dunia penerbitan,? sahut Surjo.

Leave a Reply

Bahasa ยป