Koran Republika
MENJELANG KEBERANGKATAN YANG TERTUNDA
ada seribu tanda tanya menghujam di benak
ketika mendung lindap mengendap atas kota
setia menemani saat sendiri
menjelang keberangkatan yang tertunda
tak tahu mana yang mesti dialunkan:
kinanti, megatruh atau durma?
atau barangkali kita mesti kembali bungkam
seperti hari-hari yang telah berpacu
MENUNGGUI HARI-HARI
DAN BATU-BATU TERASING SENDIRI
ingin kupahat wajahmu pada pucat wajah bulan
sementara di batas kota ada gerbang
yang tak pernah jemu menunggui
hari-hari dan batu-batu terasing sendiri
adakah catatan telah selesai dituliskan?
sementara ruh-ruh telah mabuk di perjlanan
menghitung tetes air mata mengucur deras
membakar bumi bersama buncah-buncah lukanya
sajak-sajak turut membisu
menatap cermin menggigil retak
meratapi pertempuran demi pertempuran
dari ranjang pembantaian yang tersisa
DIALOG SENJA HARI
ijinkan aku mencuri waktumu semenit saja
bukankah telingamu tak pernah payah
dengar celoteh usang senja dan dini hari?
sejak kau beri masa berlimpah
sering senja lewat tanpa salam
(juga kini masih enggan kujabat tanganmu
meski sisa tinggal sejengkal)
kuulangi doaku
ijinkan kucuri waktumu semenit saja
dan besuk tambahi aku
sedetik waktu lagi…
HUJAN MEMBACA CINTA
menghitung rambutmu berlepasan sehelai-helai seperti menyimak perjalanan penuh reportase di antara bisik lampu taman dan bangku semen asing membeku debu dan keringat bermuara pada riwayak kelopak mata melahirkan sungai: menderas-deras, gericiknya sampai ke hulu nadi menikam waktu meronta minta kembali tempat yang dulu pernah disinggahi seperti syahwat Musa mengintip tuhannya
kini tak ada dermaga untuk mengulangnya kembali kecuali sekedar mengingat setangkai warna bunga yang dulu pernah kukirim tak sampai-sampai. juga surat cinta yang terus menggigil kehilangan sampul tempat alamat dipahat: aroma purba menguap bersama desir almanak rontok diterbangkan cuaca bersama pelaut ditakdir tak bosan berlayar mencumbu taufan lalu pecah di ceruk karang
menunggui musim berbiak membutuhkan kesabaran air kali menghayut hingga kelak samodra memilinnya menjadi sepasang kekasih seorang bocah telanjang kaki dan dada bertanya-tanya dimana letak kubur ibu bapa tempat alamat ditulis dimana mereka kembali bisa bercinta sampai kelak waktu membisikinya dengan bijaksana:
tak ada yang akan mati untuk merampungkan percakapan
Ngawi, Mei 2006
Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang 1992 ini menulis banyak puisi dan esai sastra. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media cetak, seperti Ulumul Quran, Horison, Media Indonesia, Kompas, Suara Pembaruan, Jawa Pos, dan Jurnal Perempuan, serta sejumlah antologi puisi. Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit, antara lain Monolog Ibu (1990) dan Ekstase Jemari (1995). Saudara kembar Tjahjono Widarmanto ini sering diundang membacakan sajak-sajaknya dalam berbagai acara sastra di berbagai kota.