A.A. Ariwibowo
oase.kompas.com
Disulut bara sensasi khas media massa Inggris, publik sejagat coba-coba dikompori oleh pernyataan dari seorang ahli fisika.
Topik yang diangkat soal hubungan penciptaan alam semesta dan peran Tuhan. “Tidak perlu pertolongan Tuhan untuk menciptakan alam semesta,” kata fisikawan itu.
Penulisnya, Stephen Hawking, ilmuwan Inggris berusia 68 tahun. Pernyataan itu termuat dalam buku The Grand Design yang dikerjakan bersama ahli fisika AS, Leonard Mlodinow.
Menurut penuturan harian The Times, keduanya mengungkapkan bahwa serangkaian teori baru membuat penciptaan jagat raya tidak memerlukan pencipta.
Sebelumnya. publik sejagat sempat diliputi tanda tanya ketika Hawking menulis buku A Brief History of Time. Buku itu memuat sebuah kisah penciptaan alam semesta.
Tahun 1988, Hawking – yang menderita penyakit neuromuskular sejak berusia 21 tahun yang membuatnya lumpuh dan bergantung pada synthesizer suara – memberi nuansa bernas mengenai problem kosmologi dalam bingkai keberadaan Sang Pencipta Alam Semesta. Mencuatlah Teori Dentuman Besar (The Big Bang).
Pada tahun yang sama juga, Hawking tampaknya merespons secara positif kemungkinan adanya Pencipta, dengan mengatakan bahwa penemuan sebuah teori yang utuh menyeluruh akan merupakan- kejayaan akal budi manusia, karena kita akan mengetahui pikiran Tuhan? Wow…
Dihela oleh rasa ingin tahu sebagai dorongan purba dari setiap manusia, sejumlah komentar berkelabat sarat isyarat bahwa dentuman besar mengalamatkan kepada sebuah waktu di mana segala materi dan energi ada dan berasal dari sebuah keadaan tertentu.
Yang teronggok di dalamnya tinggal misteri sarat tanda tanya bahwa sebenarnya apa yang menyebabkan semuanya itu terjadi?
Bagi Hawking, alam semesta ini memang seharusnya tidak remuk. Alam semesta itu mengembang. Arti pertama, segala sesuatu yang ada dalam alam semesta tampil sebagai peristiwa kebetulan belaka.
Alam semesta mengatur dirinya sendiri sebagaimana layaknya sebuah mesin raksasa. Arti kedua, penciptaan alam semesta mempunyai tujuan bagi kehidupan manusia.
Dua pernyataan itu mengerucut kepada pertanyaan, bagaimana peran dan keberadaan Tuhan dalam alam raya ini? Menurut penulis buku Sains dan Problem Ketuhanan, Greg Soetomo, pertanyaan itu dapat dibaca sebagai “Tuhan yang dicampakkan dalam alam semesta”.
Sejumlah pemikir telah coba membuat peta jalan seputar “Tuhan yang dicampakkan dalam alam semesta”. Ahli fisika Newton memandang adanya Tuhan yang berperan dalam menggerakkan planet-planet dan sistem tata surya.
Sementara seorang ahli matematika, Carl F. Gauss berpendapat bahwa segala persoalan mengenai Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas kemampuan pikiran dan ruang lingkup sains.
Implikasinya, menurut ahli psikoanalisa Sigmund Freud, dalam agama, manusia melarikan diri dari kenyataan. Dalam agama, manusia bertingkahlaku seperti bocah yang membutuhkan seorang “bapa” yang digadang-gadang mampu melindungi dari keganasan alam. Sains lantas mempertanyakan keberadaan agama untuk membela keberadaan sains.
Bagi Hawking, dalam bukunya A Brief History of Time, Big Bang tampil sebagai konsekuensi dari hukum gaya berat.
“Karena adanya hukum seperti gaya berat, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari ketiadaan. Penciptaan spontan adalah alasan bahwa ada sesuatu dan bukannya tidak ada, mengapa alam semesta ada, mengapa kita ada,” tulis Hawking.
Amatan Hawking itu punya rentetan pijakan sejarah. Bagi filsuf Yunani kuno, Plato, dunia yang dipahami sebagai alam semesta (cosmos), telah mulai bersamaan dengan adanya waktu.
Plato menulis, “Ia baik, dan dari yang baik, tak pernah dapat lahir sebuah kecemburuan apapun terhadap siapapun. Karena terbebas dari iri hati, Ia menghendaki bahwa segala sesuatu terjadi. Segalanya itu sejauh mungkin serupa dengan diri-nya sendiri”.
Sedangkan bagi Aristoteles, alam semesta itu kekal adanya. Alam semesta itu ada sejak masa yang tidak terbatas. Peredaran langit tidak pernah mengenal permulaan. Karena itu, dunia yang tidak mengenal permulaan itu tidak diciptakan Tuhan.
Nah, bagaimana menyikapi judul besar “Tuhan dalam buku Stephen Hawking”? Apakah ilmuwan Inggris itu memang tidak taat asas ketika membangun teori pertolongan Tuhan dalam alam semesta? Apakah Hawking sedang menjual dan menjajakan sensasi kepada publik?
Hawking kiranya memahami dan mengetahui bahwa segala persoalan mengenai keberadaan dan peran Tuhan sungguh-sungguh berada di luar batas kemampuan pikiran (rasio) dan ruang lingkup sains.
Apakah Hawking mau merambah ke wilayah telaah mengenai Tuhan, sementara ia terus membangun teorinya dengan landasan teori-teori ketat mengenai alam semesta?
Jawaban Hawking ini sepadan dengan pernyataan staf pengajar STF Driyakarka, Louis Leahy yang mengatakan alam semesta bukan merupakan ilusi, alam semesta bukan berasal dari kemerosotan. Alam semesta adalah hasil dari anugerah cuma-cuma dari kemurahan hati Tuhan semata-mata.
Ketika mewacanakan Tuhan dan alam semesta secara filosofis, Leahy meluncurkan dua kata yakni “cinta menciptakan”. Ciri cinta salah satunya menghormati orang yang dikasihi. Cinta mencapai nilai tertinggi ketika orang yang dikasihi mencapai realisasi diri yang tertinggi pula.
Implikasinya, cinta Tuhan yang menciptakan alam semesta, semata-mata bersifat tanpa pamrih, sebab Tuhan sempurna adanya.
Soal Tuhan dan alam semesta, kolumnis MAW Brouwer (alm) menulis, Tuhan bukan benda, bukan bayangan, bukan proyeksi, bukan ide. Dia itu suatu perspektif, suatu matriks yang muncul sebagai sumber yang seratus persen serba baru.
Ia mengibaratkan bahwa buku baru tidaklah baru sebagai buku, karena manusia sudah melihat banyak buku.
Soalnya, manusia kerapkali merasa bosan berada di dunia, sementara Tuhan yang mencintai alam semesta dan mengasihi manusia, justru tidak pernah bosan.
Dalam Tuhan, manusia tidak pernah akan merasa bosan. IA selalu mengherankan (The Big Surprise). Bagi filsuf Agustinus, tempat kelahiran Tuhan ialah keheranan (situs originos Dei est miratio).
Dari Big Bang milik ilmuwan Hawking, sampai Big Surprise milik filsuf Agustinus.
***