Belajar dari Yang Telah Tiada

Judul : Mengenang Hidup orang Lain, Sejumlah Obituari
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : I, Januari 2010
Tebal : vii + 489 Halaman
Harga : Rp75.000
Peresensi : Nigar Pandrianto *
http://www.koran-jakarta.com/

Mengenang seseorang yang telah tiada seperti menjelajahi sebuah dunia dengan warna, cerita, dan kekayaannya sendiri-sendiri. Meskipun dunia tersebut sulit dipahami sepenuhnya, dari situlah sesuatu dapat dipelajari.

Begitu juga ketika kita membaca kumpulan obituari yang ditulis oleh Ajip Rosidi ini. Dalam setiap obituari yang ditulisnya, Ajip secara lugas mengisahkan berbagai hal dari tokoh tokoh yang sedang dibicarakannya, baik visi, integritas, kepribadian, maupun konsistensi memegang prinsip. Lancarnya Ajip mengemukakan hal itu karena ia mengenal dengan baik tokoh-tokoh yang ditulis dalam obituarinya.

Ajip menyatakan dirinya kerap berkorespondensi, bergaul akrab, bahkan berpolemik dengan sebagian besar dari mereka. Hal itulah yang membuat obituari tokoh-tokoh dalam buku ini menjadi lebih kaya dan bernas.

Di samping itu, Ajip menyampaikan hal-hal kecil yang bersifat human interest dari para tokoh tersebut yang mungkin tidak diketahui secara umum, misalnya Suhamir, seorang arsitek dan ahli purbakala asal Bandung.

Arsitek Taman Makam Pahlawan Cikutra di Bandung itu, menurut Ajip, ikut merencanakan pembuatan kampus Universitas Gadjah Mada (hal.254).

Sayangnya, honorarium atas jasanya itu dari pemerintah Republik Indonesia belum dibayarkan, setidaknya hingga tulisan tersebut dibuat pada tahun 1967.

Menurut Ajip, Suhamir tidak mau menerima bayaran tersebut karena banyak petugas meminta komisi jika honorarium tersebut dicairkan.

Dengan alasan tidak mau ikut ?bermain kotor?, Suhamir akhirnya memilih untuk tidak mengambil honararium yang kala itu jumlahnya sangat besar.

Di samping pujian, Ajip tidak segansegan melakukan kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Ketika Ajip menulis obituari Pramoedya Ananta Toer, ia tidak hanya menyayangkan Pramoedya yang tidak kunjung memperoleh penghargaan Nobel, namun juga mengkritik aksi Pramoedya yang menguliti seniman penanda tangan Manifesto Kebudayaan lewat ruang Lentera dari surat kabar Bintang Timur.

Sebagai budayawan, Ajip tampaknya memunyai perhatian khusus terhadap dunia sastra ataupun budaya. Tidak mengherankan jika dalam kumpulan obituari ini berkali-kali Ajip mempersoalkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra maupun kebudayaan. Tengok tulisan Arenawati, Sasterawan Negara (hal.414).

Dalam tulisan ini, Ajip mengatakan pemerintah Indonesia tidak terlalu peduli dengan dunia sastra ataupun sastrawannya.

Dalam tulisan itu, Ajip memuji pemerintah Malaysia yang mengangkat Arenawati, sastrawan asal Indonesia, menjadi Sasterawan Negara di negeri itu. Kata Ajip, beruntung Arenawati menjadi warga negara Malaysia.

Pasalnya, walaupun Arenawati berhasil menulis karya yang lebih hebat dari La Galigo, belum tentu ia mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.

Membaca tulisan-tulisan Obituari Ajip, pembaca diajak mempertanyakan eksistensinya, yakni mengapa eksistensi harus diperjuangan jika akhirnya manusia harus mati.

Tentu saja dengan begitu Ajip tidak ingin menawarakan pesimisme terhadap kehidupan. Sebaliknya, ia ingin mengajak setiap orang untuk berbuat lebih banyak agar hidupnya lebih bermakna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

*) Pemerhati buku, tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *