Erotisme Seni untuk Apa?

Maria Magdalena Bhoenomo *
suarakarya-online.com

Pertanyaan bernada gugatan seperti judul tulisan ini, mungkin bisa digeneralisasikan. Misalnya, erotisme sastra untuk apa? Dan jika pertanyaan ini disederhanakan lagi, mungkin terkesan tolol: untuk apa erotisme? Dan, ada pertanyaan yang lebih tolol lagi: untuk apa meributkan erotisme?

Demikianlah, masalah erotisme selalu mengemuka dalam karya sastra dan karya seni lainnya (seni rupa, tari, lagu, teater) sehingga memancing tanda tanya dan perdebatan yang biasanya berujung pada terbentuknya sikap ‘demokratis’ manakala semua pihak harus menghormati selera dan pendapat masing-masing.

Di Indonesia, masalah erotisme sering didefinisikan sebagai pornografi, padahal keduanya berdiri sendiri-sendiri dalam batas penalaran. Akibatnya, erotisme kehilangan harga, bahkan dianggap tidak berharga sama sekali bagi kehidupan manusia. Dan akibat selanjutnya, erotisme sering diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang menganggapnya sama dengan pornografi.

Banyak kasus-kasus konyol sering bikin runyam masalah erotisme dalam karya seni, akibat tindakan konyol pihak-pihak tertentu. Misalnya, betapa sebuah buku, patung, lukisan, nyanyian, pementasan tari atau teater yang mengusung erotisme serta-merta disensor dengan stigmatisasi porno.

Dan biasanya, tindakan penyensoran terhadap seni yang erotis didasari rumus agama yang menegaskan bahwa wilayah aurat adalah wilayah tertutup. Padahal, pada saat-saat tertentu, sesuai dengan fungsinya, wilayah aurat harus dibuka selebar-lebarnya, misalnya, dalam rangka regenerasi umat manusia.

Leonardo Da Vinci

Mungkin layak diungkapkan di sini, betapa Leonardo Da Vinci sangat gemar melukis perempuan cantik, seperti Monalisa, atau perempuan-perempuan cantik degan pose telanjang yang sangat mempesona, karena pada zamannya sedang berlangsung pemujaan terhadap heroisme di mana kaum pria berlomba-lomba untuk memperkuat otot dan memperlicik strategi perang agar bisa dinobatkan menjadi pahlawan bagi bangsanya.

Pada saat kaum pria sedang tergila-gila menikmati peperangan, maka posisi kaum perempuan sangat rentan terhadap tindakan pelecehan seksual atau bahkan kekerasan kemanusiaan yang berkaitan dengan keperempuanannya. Dan untuk menegur kaum pria agar mampu kembali menghormati perempuan, sang pelukis memilih sosok-sosok perempuan cantik sebagai obyek lukisannya.

Bahkan, sang pelukis super-realis yang melegenda tersebut juga memilih sosok laki-laki tampan dan perkasa menjadi obyek lukisannya yang bertema romantis, agar kaum pria yang kebanyakan sedang tergila-gila pada peperangan sangat menyadari bahwa di sekitarnya sedang ada gadis atau istri yang merindukannya dengan cinta.

Oleh karena itu, siapa pun akan dianggap tolol jika berpendapat bahwa lukisan-likisan sang maestro yang menggambarkan kemolekan tubuh telanjang perempuan atau keperkasaan tubuh telanjang pria sebagai pornografi. Sebab, kreativitas Leonardo Da Vinci dalam melukis sosok-sosok perempuan telanjang atau adegan mesra sepasang kekasih yang sedang bercinta semata-mata bertujuan luhur untuk menyadarkan umat manusia agar kembali menghargai kemanusiaannya.

Demi Kemanusiaan

Dalam sejarah dunia, ada saat-saat tertentu di mana semua ajaran hidup, termasuk agama, mendorong suatu bangsa untuk berperang dan saling menghancurkan, maka pada saat seperti itulah seniman bisa merasa terpanggil untuk berkarya dengan semangat menjunjung tinggi harga manusia dan perikemanusiaan, meski wujudnya ternyata mirip dengan kampanye erotisme.

Tapi jika dikaji secara sederhana, setiap manusia di muka bumi ini, setelah Adam dan Hawa, memang diproses dari sebuah relasi seksual dan kemudian dilahirkan dari lubang sama, yang kemudian oleh sementara pihak dianggap sebagai wilayah porno. Berdasarkan kajian sederhana ini, mungkin sang seniman dalam berkarya tidak mempertimbangkan hal-hal lain, misalnya, masalah moralitas. Justru moralitas mungkin telah hancur dan tidak akan muncul lagi jika tidak ada kampanye erotisme berupa karya-karya seni erotis.

Mungkin juga layak diungkapkan di sini, betapa semua seniman memiliki wilayah kerja jelas yang tidak bisa diperluas menurut selera pihak-pihak tertentu. Misalnya, pelukis akan berkarya menciptakan lukisan, sastrawan akan berkarya menciptakan karya sastra, penari akan berkarya menciptakan tarian, dan seterusnya. Dan dalam berkarya, seniman hanya setia kepada rumus-rumus moralitas. Sedangkan kreativitas intelektualitas seniman hanya untuk berkarya, dan bukan untuk menghancurkan rumus-rumus moralitas yang ada.

Oleh karena itu, sangat tolol jika ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus karya seni hanya karena sebuah anggapan sepihak berdasarkan rumus moralitas yang dipegangnya. Dan segala usaha pemberangusan terhadap karya seni dengan stigma porno layak dikaji ulang dan bahkan diharamkan, karena bisa sangat kontraproduktif bagi kepentingan perikemanusiaan.

Demi perikemanusiaan, seniman berkarya, meski karyanya sangat erotis. Dan demi perikemanusiaan pula, semua tindakan tolol yang mencoba memberangusnya, termasuk yang baru sekedar kampanye menentangnya, harus dihentikan sebelum menelan korban. Terlalu mahal jika ada karya seni yang dibiarkan menjadi korban ketololan. Memberangus karya seni erotis, dengan rumus moralitas bisa disebut sebagai kekeliruan strategis berbudaya dan juga salah sasaran. Sebab, jika sudah tidak ada lagi seniman yang mempromosikan erotisme sebagai bagian integral perikemanusiaan, lalu siapa lagi yang dapat mendidik manusia untuk menghargai dan menghormati perikemanusiaannya secara proporsional?

Karya seni erotis harus disepakati bersama untuk tidak bisa disebut porno. Dalam hal ini, deskripsi detail tentang kemesraan sebuah relasi seksual dalam sastra, detail gambar organ seks dalam lukisan, atau detail bentuk alat kelamin pada patung dan detail adegan percintaan dalam tarian atau teater, harus dianggap sebagai bentuk erotisme manusiawi, dan karenanya terlalu mahal untuk disensor.

Berita Kriminal

Berita kriminal sebenarnya lebih mengerikan atau memuakkan dibanding karya seni erotis. Sebab, apa yang diberitakan tersebut merupakan tindakan-tindakan keji yang sangat bertolak-belakang dengan kreativitas intelektual seniman ketika menciptakan karya seni yang amat sangat erotis sekalipun.

Sebenarnya ada hal-hal lain yang lebih layak dianggap berbahaya bagi perikemanusiaan, yang justru tidak pernah digugat atau disensor, sementara karya-karya seni yang tidak berbahaya bagi siapa pun justru kerap kali digugat dan disensor. Dan jika ironisme ini dianggap wajar, lalu untuk apa rumus-rumus moralitas dipertahankan? Atau layak dipertanyakan di sini: bisakah manusia hidup atau sejarah umat manusia berlanjut jika semua orang diharuskan menutup mata terus-menerus dan tidak pernah diperbolehkan mengenal wilayah-wilayah erotis dengan sikap apresiatif, yang sebenarnya merupakan bagian integral kemanusiannya?

Semoga pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan tergesa-gesa atau gegabah oleh siapa pun, terutama pihak-pihak tertentu yang berpura-pura alergi terhadap erotisme sastra atau seni lainnya.
***

*) Penulis adalah budayawan dan penikmat seni.

Leave a Reply

Bahasa ยป